Putri yang begitu aku inginkan itu akhirnya lahir juga ke dunia. Kulitnya putih seperti salju, bibirnya kecil dan merah seperti darah, bulu matanya yang lentik, rambutnya lurus dan hitam, dia bagikan bidadari. Bukan aku berlebihan hingga mendiskripsikan seperti putri dari negeri dongeng. Tapi bayi itu memang secantik itu, bagiku."Taruh, Mas, jangan digedong terus. Nanti kalau kebiasaan siapa yang repot," ucap Husniah saat melihatku masih saja mengendong bayi yang belum bernama itu. Baru dua kali dua puluh empat jam yang lalu bayi itu terlahir di dunia, dan aku terus saja mengaguminya. Kami masih ada di rumah sakit, di ruang rawat inap. Si kembar ada di rumah dalam pengawasan Ibu dan Bapak. Mereka berdua sengaja datang dari kampung menjelang kelahiran bayi yang dikandung Husniah. "Nanti aku yang bakalan gendong," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari bayi mungil itu."Kalau kamu kerja?""Nanti ada pengasuhnya."Husniah menghela nafas panjang. Mendengar helaan nafasnya, aku segera
Suara ibu-ibu membaca ayat suci Alquran terdengar di ruang depan. Ibu-ibu pengajian komplek yang datang untuk syukuran rumah baru kami. Anak-anak berada di halaman belakang untuk mengadakan acara ulang tahun putri kami sembari menunggu orang tua mereka yang masih mengadakan pengajian. Husniah, Ibu dan Syifa ada di ruang tengah menemani ibu-ibu di sana, sedangkan aku dan Wisnu menemani anak-anak. Hanya acara sederhana saja, mendoakan agar si kecil Hulya sehat selalu dan bahagia. Kami sengaja melakukan di hari yang sama, sekalian reportnya, begitu yang kami pikirkan. Lagipula tanggal dimana kami pindahan memang tidak jauh-jauh dari tanggal Hulya ulang tahun. Acara berjalan dengan lancar, baik pengajian maupun ulang tahun. Semua orang pulang saat acara selesai di jam empat sore. Tadi kami memulainya sekitar jam dua siang. Tinggallah keluarga kami saja yang ada. Ibu dan Bapak serta Syifa sekeluarga, masih akan menginap di sini.***Tawa anak-anak bergema di ruang bermain. Sengaja aku s
POV Husniah"Om, kenapa gak bikin anak kembar seperti Mama dan Papa, lihat aku gak bisa main dengan mereka. Mereka lebih asyik main berdua saja, bertiga sih dengan Hulya." Nata, putra kecilku yang kini berusia delapan tahun datang dengan wajah cemberut. Pasti dia merasa tersisihkan lagi saat main dengan saudara kembarnya dan juga Queena. Kemarahannya dari semalam masih saja berlanjut hingga pagi hari saat mereka mulai bermain lagi. Kali ini mereka bermain air di kolam renang. Sedangkan aku dan Kak Wisnu mengawasi sambil duduk di kursi yang ada di pinggir kolam."Membuat anak itu bukan seperti membuat adonan kue, Nata. Bikin banyak lalu dibagi dua, jadi deh dua kue dengan besar yang sama," jawab Kak Wisnu. "Memangnya kenapa Om harus punya anak langsung dua," sambung Kak Wisnu, bertanya alasan Nata mengatakan hal seperti itu. "Kalau ada dua, kan aku gak berebut sama Atma. Queena lebih suka main sama Atma," terang Nata."Masa?" tanya Kak Wisnu tak percaya. "Lihat saja sendiri, saat ak
Waktu begitu cepat berlalu, rumah kami yang dulu ramai dengan tawa dan tangisan anak-anak, rumah kami yang dulu berisik dengan derap kaki anak-anak yang berlarian, kini mulai sepi. Hanya ada aku dan Mas Hanan, juga Hulya di rumah yang cukup luas ini. Nata dan Atma, mereka lebih memilih untuk kuliah di luar kota. Lebih tepatnya di kampusku dulu. Katanya, mereka ingin menikmati kampus yang sama dengan kampus dimana mamanya kuliah. Nata memilih untuk mengambil jurusan management bisnis sedangkan Atma memilih jurusan tarbiyah. Mereka kembar identik tapi sangat jauh berbeda sifat maupun keinginannya. Kak Wisnu bilang, Atma dan Nata cerminan aku dan Mas Hanan. Satu kalem dan yang satu bekasaan. Tentu saja aku yang kalem. Nata akan menggantikan papanya di perusahaan keluarga kami, sejak dulu hingga kini dialah yang menjadi wakilku di cabang perusahaan yang dimiliki oleh Kakek. Aku memilih untuk mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga seperti perkataanku dulu. Sedangkan Atma, dia ingin m
Pesona Istri Season 3POV NATAKupandangi foto gadis yang sekarang sudah beranjak dewasa, Shaqueena. Teman yang aku jahili sejak kecil, nyatanya bertahta di hatiku. Bukan hanya sebagai teman ataupun saudara, tapi lebih dari itu. Tahun ini adalah tahun terakhirnya kuliah di luar negeri. Ini adalah foto satu-satunya yang kumiliki, itupun aku harus membujuknya setengah mati agar dia mau memberikannya. Selama kuliah di Australia, dia tak pernah sekalipun pulang ke Indonesia. Hanya saja Om Wisnu dan Tante Syifa sering ke sana menengok putri satu-satunya itu. Atau mungkin aku yang tak tahu kalau dia pulang ke Indonesia untuk berlibur. Gara-gara kejadian malam itu, semua hancur berantakan. Queena langsung di kirim keluar negeri begitu lulus SMA. Sedangkan aku, Mama memohon dengan air matanya agar aku tak mendekati Queena lagi untuk alasan apapun. Hari itu sepulang kuliah, aku pergi ke sekolah Queen dan mengajaknya jalan-jalan. Hari memang sudah sore saat kami pergi ke mall bersama. Kami m
Pesona Istri Season 3Mendengar pertanyaan Mama yang berulang, aku bingung hendak menjawab apa. Mama tak pernah melarangku jatuh cinta pada Queena, hanya saja karena kejadian itu, Mama melarangku mendekati Queena lagi. Wanita yang sudah melahirkanku itu bilang, sekuat apapun dikejar dan diperjuangkan, jika bukan jodoh maka tak akan bisa bersama. Cinta sejati itu mendatangkan bahagia, bukan menyakiti hati. Termasuk hari orang tua, jika dia jodohmu, maka akan menjadi milikmu bagaimanapun jalannya. Aku memilih untuk duduk bersimpuh di hadapan Mama, meletakkan kepalaku di pangkuannya. Posisi ini adalah posisi ternyaman bagiku. Dalam pangkuannya seakan ada sihir yang menenangkan. Membuat beban yang ada di dalam hatiku sekaan menghilang. Wanita berhati lembut ini, seakan memiliki sesuatu yang tidak dimiliki siapapun di dunia ini. Dia sumber kebahagiaan di rumah kami. Baik Papa maupun kami anak-anaknya sangat bergantung padanya. Kebahagiaan Mama adalah kebahagiaan kami, dukanya adalah duk
"Jadi kamu pilih siapa, Queen?" Aku ikut bertanya, dengan berdiri di belakang Atma dan Hulya, aku bisa ikut melihat wajahnya yang selama ini hanya bisa kupandangi lewat gambar saja. Keseruan mereka langsung terhenti karena kedatanganku. Queena juga langsung diam seketika begitu melihatku. Tak lama kemudian, layar monitor mengelap. Gadis itu mematikan sambungan panggilan videonya. "Ah, Abang Nata. Usil aja sih, Queen jadi kabur, kan." Hulya memberengut. Gadis itu langsung menutup laptopnya dan bangkit dari kursi. Kemudian berlalu meninggalkanku dan Atma. "Kalian sering telepon bersama?" Tanyaku pada saudara kembarku itu. Aku memilih duduk di kursi yang tadi di duduki oleh Hulya tadi. "Tumben belum tidur?" Atma malah balik bertanya. Aku memang lebih cepat masuk kamar jika esok harinya adalah hari Senin. Sehari akan kuhabiskan waktu dengan Mama atau Papa jika tidak kuliah. Aku sangat jarang berkumpul dengan teman-teman, usiaku bukan lagi usia untuk bermain-main. Dua puluh enam tahun
Aku tak berniat melepaskan pegangan tanganku pada tangan Queena, tak peduli jika Om Wisnu akan melihat semua yang terjadi saat ini. "Abang Nata, tolong lepaskan. Papa akan marah jika melihatnya," pinta Queena. "Aku sudah tak peduli lagi pada apapun, jika memang semua harus berakhir sekarang maka hari ini adalah saatnya," jawabku. Seperti apa yang dikatakan Mama, jika jodoh pasti akan bersama, maka hari ini akan kupastikan Queena jodohku atau bukan. Tak lama berselang, sudah berdiri di hadapan kami Om Wisnu dengan pandangan mata menatap pada kami berdua. Melihat dengan tajam padaku yang tengah memegang pergelangan tangan putrinya. "Ngapain di sini?" tanya Om Wisnu dengan suara rendah. Kupikir dia akan meledak-ledak seperti malam itu."Queen yang mengajak Abang Nata bertemu di sini," jawab quina.Aku menatap tak percaya pada jawaban gadis itu. Dia membelaku?"Jangan berdua-duaan saja itu tak baik, apalagi kalian berlawanan jenis. Tak peduli sebaik apapun seorang lelaki, dia tetapla