Suara keras Rey tampaknya menarik perhatian dari para staf yang berada di dekat ruang kerja Queen, hingga mereka segera mendatangi dan melihat apa yang sedang terjadi. Beruntung, karena terburu-buru, Rey tidak sempat menutup mengunci pintu ruang kerja, sehingga dengan mudah sekretaris serta beberapa staf berlari masuk."Pak Rey, hentikan!" teriak sekretaris, mencoba menarik Rey menjauh dari Queen.Staf-staf lain ikut membantu, menahan Rey yang masih meronta-ronta. "Lepaskan aku! Ini urusanku dengan adikku!" teriak Rey, suaranya serak oleh amarah.Queen dibantu bangkit oleh sekretarisnya, wajahnya pucat tapi tetap mencoba tegar. "Terima kasih, semuanya. Tolong bawa Kak Rey keluar dan tenangkan dia," ucap Queen dengan suara bergetar, tapi tetap berwibawa.Staf yang lain membawa Rey keluar dari ruangan, meskipun ia masih berteriak-teriak marah. Sementara itu Queen duduk kembali di kursinya, mencoba mengatur napasnya yang tersengal. Wajahnya terlihat pucat pasi, tetapi Queen berusaha tamp
Ageng duduk di kursi ruang tunggu, tangannya mencengkeram kuat sandaran kursi di depannya. Laras berdiri tak jauh dari sana, sorot matanya tajam penuh curiga menatap putranya.“Apa yang terjadi pada Queen?” tanya Laras dengan suara tegas. “Kau memaksanya untuk melayanimu?”Ageng menggeleng lemah. Tuduhan dari sang mama layaknya tusukan pisau yang begitu nyeri ke ulu hatinya. Dia tidak memiliki kata-kata untuk menjawab, pikirannya terlalu kalut memikirkan keadaan Queen dan calon anaknya.Laras menghela napas, matanya masih penuh kecurigaan. Tampaknya Laras tidak percaya begitu saja dengan jawaban tanpa kata dari putranya. Sebenarnya Laras bisa memahami gairah Ageng pada usianya sekarang, tetapi dia juga harus mengetahui situasi dan kondisi istrinya yang sedang hamil muda.Waktu terasa begitu lambat berjalan, beberapa menit saja yang terasa seperti seabad berlalu sebelum Dokter Amira keluar dari ruang pemeriksaan. Wajahnya serius, tapi tetap menenangkan. Laras dan Ageng segera mendekat,
Saat hati sedang dikuasai oleh amarah, kadang akal sehat dengan mudah tersisihkan. Seperti apa yang sedang terjadi pada Ageng saat ini. Tanpa berpikir panjang dia langsung mendatangi Rey. Informasi yang dia dapat dari Selo Ardi, saat ini Rey sedang bersantai di rumahnya. Rai sama sekali tidak memiliki tanggung jawab dengan perkembangan perusahaan. Tetapi dia selalu menuntut haknya sebagai anak Eddy, meski dengan kinerja yang buruk atau bahkan tanpa kerja sama sekali. Setelah tiba di rumah Rey, akan bergegas turun dari mobilnya. Meskipun melihat ada tulisan bel di dekat pintu, tetapi Ageng memilih menggedor-gedor pintu dengan keras. Pukulannya keras dan berirama, menggetarkan daun pintu. Hingga membuat orang yang berada di dalam rumah merasa sangat terganggu "Sialan ... bangsat ...!" Berbagai caci maki keluar begitu lancar dari mulut Rey. Dia begitu kesal dengan suara berisik di depan rumahnya, benar-benar mengganggu. Dengan terpaksa dan menahan amarah Rey sendiri yang membuka p
"Awalnya aku tidak percaya jika Kakak adalah dalang dari semua kekacauan ini tetapi setelah Papa menunjukkan semua bukti-buktinya ...." Mike menghembuskan napas secara kasar, menutupi rasa kecewa yang berkecamuk di hatinya.Kakak yang selama ini dia banggakan ternyata orang yang ingin menghancurkan perusahaan yang dirintis dengan darah dan keringat oleh leluhur mereka. Bahkan sampai saat ini, Mike belum mengetahui secara pasti alasan Zachary melakukan hal itu."Lalu ... Setelah kau tahu, apa tujuanmu datang ke sini?" tanya Zachary dengan nada tenang, tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Ingin melaporkan aku ke pihak yang berwajib? Atau menyerahkan semua bukti yang kau miliki kepada warga negara?" tantang Zachary dengan tersenyum menyeringai, seolah mengejek dan merendahkan adiknya.Mike menggelengkan kepalanya, menyangkal semua tuduhan dari sang kakak."Aku hanya ingin Kakak kembali. Aku mohon ... kita bisa menjalankan perusahaan bersama."Bukan tanpa sebab jika Mike akhirnya menghubungi
“Mama akan menemani Queen sampai keluar dari rumah sakit,” ucap Laras dengan ketus. Tatap matanya tertuju kepada Ageng, tampak ada kemarahan dan rasa kecewa.Baik Queen maupun Ageng tidak menceritakan masalah tentang kedatangan Rey ke kantor Queen. Sehingga sampai saat ini Laras masih menganggap pendarahan yang terjadi pada Queen karena kesalahan Ageng.“Kalau mama di sini bagaimana dengan papa? Siapa yang akan menemani papa di rumah?” Bukan Ageng yang membantah sebagai orang yang dipersalahkan, tetapi Arya Suta yang merasa selama ini terbiasa dengan dilayani oleh istrinya.“Ini gara-gara anak kamu yang nakal, di rumah sakit saja dia nyusul tidur di ranjang.” Laras pernah mendengar laporan dari Arum jika saat di rumah sakit sebelumnya, Ageng dan Queen tidur bersama di brankar.“Nanti pulangnya juga ke rumah, bukan ke apartemen!” sambung Laras dengan tegas.Queen dan Ageng saling melempar pandang, merasa harus mendiskusikan hal tersebut berdua. Ageng merasa tentu akan ada perasaan tida
Queen dan Ageng kembali ke apartemen. Meskipun harus berdebat alot dengan Laras akhirnya mereka diberi kepercayaan untuk kembali berdua di apartemen. Apa lagi hasil pemeriksaan terakhir menunjukkan jika kandungan Queen baik-baik saja.Di apartemen, Queen dan Ageng duduk berdua di sofa sambil menyaksikan drama favorit mereka. Ageng memeluk Queen dengan lembut, memastikan bahwa istrinya merasa aman dan nyaman. Queen merebahkan kepalanya di dada Ageng, merasakan ketenangan dari kehadiran suaminya.“Terima kasih untuk semua yang kau berikan kepadaku,” bisik Queen, suaranya hampir tak terdengar.Mahar lima miliar yang membuat banyak temannya merasa iri, kemapanan finansial yang Queen dapat setelah menikah dengan Ageng, dan tentunya ditambah dengan cinta dan kasih sayang yang dia dapatkan dari keluarga Wardana adalah kebahagiaan yang tak terhingga.Ageng mengelus rambut Queen, memberikan senyuman hangat. “Tidak perlu berterima kasih, karena yang aku berikan sudah merupakan tanggung jawabku.
Kesehatan Queen sebenarnya sudah pulih, bahkan Dokter Amira mengatakan jika keadaan janinnya juga tumbuh dengan baik dan sehat. Tetapi Ageng dan Laras tetap tidak mengizinkan Queen kembali ke perusahaannya dalam waktu dekat.Selain masalah kesehatan, Ageng sangat mengkhawatirkan jika sampai Rey kembali meneror Queen. Tentu Ageng tidak ingin mengambil risiko yang bisa membahasakan Queen dan calon anak mereka.Atas arahan dan petunjuk dari Ageng, Queen pun segera menunjuk orang yang bisa dipercaya untuk menjalankan perusahaan yang baru saja kembali bangkit. Perusahaan itu harus tetap menghasilkan uang, agar Queen bisa membiayai pengobatan sang papa.Terasa suntuk dan menjenuhkan saat harus sendiri di apartemen menunggu Ageng pulang. Ingin mencari pekerjaan secara online lagi, tetapi Queen takut jika tidak bisa menyelesaikan tepat waktu. Tidak mungkin juga dia menghabiskan waktu dengan bermain game online bersama Bryan lagi, Queen tidak ingin ada masalah dengan Victoria.Queen duduk di s
Ageng terkejut saat melihat Miranti berada di apartemennya. Dari sorot matanya, terlihat jelas jika Ageng merasa tidak nyaman dengan keberadaan ibu mertuanya tersebut."Besok papa dan Tante Mira mau berangkat ke Singapura." Queen berinisiatif untuk segera memberitahukan tujuan kedatangan Miranti. Dia bisa merasakan jika suasana terasa begitu kaku setelah kedatangan Ageng."Lalu?" tanya singkat Ageng dengan nada ketus."Tante Mira cuma mau pamitan saja."Miranti hanya tersenyum sumir kala mengiyakan ucapan Queen. Dia bisa memahami sikap sinis dan ketus dari Ageng.Saat masih sehat dan mengurus perusahaan, Eddy sering mengajukan pinjaman untuk modal usaha. Berulang kali dan harus kembali merugi, hingga akhirnya Eddy tidak mampu membayar dan diambil alih oleh Ageng. Lalu sekarang perusahaan itu diserahkan kepada Queen."Uang pemberian Queen masih kurang?""Ti tidak," jawab Miranti dengan segera. Dia sudah menduga, Ageng pasti mengira kedatangannya kali ini untuk meminta uang pada Queen.
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l