Pagi ini, Naina sedang membereskan tempat tidurnya. Ia baru saja selesai mandi dan berpakaian. Sebuah baju terusan berwarna peach dengan motif bunga-bunga, membuat kesan anggun penampilannya.
Ketika tangan Naina sibuk menepuk-nepuk bantal, terdengar suara dering ponsel yang mengusik telinga. Naina menoleh pada benda pipih yang tergeletak di atas nakas itu lalu meraihnya.“Ammar?” Naina berseru melihat nama Ammar yang terpampang di layar. Tanpa ragu lagi, Naina menerima panggilan itu dan duduk di tepi ranjang sambil menempelkan ponselnya ke telinga.“Hallo, Ammar?”“Hai, Naina. Enghh … maaf sudah mengganggumu pagi-pagi.”Naina tersenyum kecil.“Tidak, kau tidak menggangguku. Ada apa, Ammar?” tanya Naina, yang ingin tahu apa yang hendak disampaikan oleh Ammar.“Tidak ada, sebenarnya aku hanya sedang ingin mendengar suaramu,” kata Ammar dari seberang telpon. Ucapannya itu soPagi ini, Naina datang ke rumah sakit untuk melihat keadaan Raffan. Maurin pun ikut bersamanya karena ia mengatakan ingin menemani Naina.Setelah sampai di ruang rawat Raffan, ternyata tubuh Raffan sedang dilap oleh seorang suster.Mereka berdua pun diam dan memperhatikan, menunggu sampai suster itu selesai membersihkan tubuh Raffan.Mata Naina menatap sendu pada wajah terpejam adiknya.“Andai dibolehkan, rasanya Kakak ingin mengelap tubuhmu dengan tangan Kakak sendiri, Raffan,” desah Naina dalam hati.Tapi Naina mengerjap saat melihat suster itu berbalik menatapnya.“Apakah sudah selesai, Sus?”“Sudah, Nyonya. Anda ingin menjenguk Tuan Raffan?” suster itu bertanya dengan ramah.Dan Naina mengangguk cepat.“Kalau begitu, saya permisi.”“Terima kasih, Suster.”Suster itu menjawab ucapan Naina dengan senyum dan anggukan pelan, lantas ia berla
Karena berkelahi, Maurin dan Liana pun dibawa ke pos keamanan. Keduanya duduk saling berhadapan di bangku plastik.Sampai detik ini pun, mereka masih menatap dengan sorot permusuhan.“Jadi, di antara kalian berdua, tidak ada satu pun yang mau meminta maaf?” tanya satpam yang menjaga di pos itu, menatap bergantian pada Liana dan Maurin.“Tidak. Aku tidak mau meminta maaf pada nenek lampir seperti dia!” Liana berkata sinis.Maurin mengangkat bahu seraya berpangku tangan.“Aku juga tidak sudi meminta maaf pada wanita manja seperti dia,” cetus Maurin tak mau kalah.Lalu mereka kembali saling mencibir, membuat satpam itu menggaruk kepalanya, bingung.Di saat yang sama, sebuah mobil yang cukup mewah, terparkir di dekat pos satpam.Liana langsung sumringah saat melihat siapa yang datang. Dia adalah Rustam, yang secara kebetulan sedang mengunjungi rumah sakit itu. Namun, ia menghentikan mobil saat melihat Lian
Liana melangkah menuruni anak tangga, di bawah sana, ia melihat Rustam sudah duduk di balik meja makan sambil menatapnya.Kali ini tatapan ayahnya sangat tajam, seolah menyiratkan kemarahan.“Duduk Liana!” perintah Rustam.Liana hanya mendesah pelan dan sedikit mempercepat langkahnya lalu menarik kursi dan duduk di seberang Rustam.Tetapi Liana menundukan kepala, enggan melihat wajah ayahnya. Ia pun sedang kesal pada Rustam karena Rustam lebih percaya dengan ucapan Maurin.“Papa sudah putuskan agar kau ditemani oleh sopir ke mana pun kau pergi. Dan sopir itu sudah Papa tugaskan untuk mengawasimu. Papa tidak akan mengizinkanmu datang ke rumah sakit itu lagi untuk menemui Raffan. Jika kau sampai mencoba menjenguknya, sopir Papa akan langsung memberitahu Papa,” jelas Rustam yang seketika membuat Liana mengangkat kepala menatapnya.“Apa? Jadi Papa menyuruh orang untuk mengawasiku? Pa, aku merasa seperti tahanan, jik
Arka baru saja pulang dari kantor. Seorang sopir membantu membukakan pintu mobil.Tanpa kata, Arka turun dan melangkah begitu saja melewati pintu utama.Langkahnya terhenti di ruang tengah. Sosok Aina telah menyita perhatiannya.Wanita itu sedang berdiri memunggunginya, sementara kedua tangannya sibuk menata masakan di atas meja makan.Aroma sup ayam langsung menggoda indera penciuman Arka. Tapi mata Arka terpaku pada pinggul Naina, lalu pada kaki jenjangnya.Sialnya, sekarang pikiran liar sudah menggeliat di dalam otaknya.Tubuh Naina yang mengenakan terusan berwarna biru muda itu, mampu membangkitkan sesuatu yang bersembunyi di balik celananya."Arka, kau sudah pulang? Enghh ... sejak kapan kau berdiri di sana?" saat berbalik ke belakang, Naina terkejut melihat Arka.Arka balas menatap datar. Hati kecilnya sedikit terpana melihat Naina yang malam ini kelihatan berbeda.Mungkin karena
Besoknya, Naina terbangun dan ia sudah tak melihat Arka di samping ranjangnya. Ia hanya sendirian di sana.Dan Arka? Mungkin lelaki itu sudah kembali ke kamarnya beberapa jam yang lalu.Naina beringsut duduk, merapatkan selimutnya ke dada. Menatap nanar pada bajunya yang telah tercecer di lantai. Ada sedikit robekan di baju itu, bekas pembelaan Naina yang berakhir dalam kesia-siaan.Karena untuk yang kesekian kali, Arka merenggut kehormatannya kembali."Mengapa dia kembali melakukan ini? Mengapa dia kembali menyentuhku?" bisik Naina lirih.Matanya berkaca-kaca, merasakan pedih yang amat dalam di hatinya.Semalam Arka memaksanya lagi, bedanya kali ini ia melakukannya dalam keadaan sadar dan tak terpengaruh obat apa pun.Saat Naina tenggelam dalam tangis, ponselnya yang berada di atas kasur pun berdering.Segera Naina mengusap pipinya yang basah dan meraih ponsel itu untuk melihatnya."L
Di ruang kerjanya, Ammar memegangi cermin yang berukuran sedang, mengamati parasnya yang cukup tampan. Lalu tersenyum saat merasa tidak ada yang buruk dengan penampilannya.“Baru kali ini aku membuat rambutku klimis dan mencukur semua bulu di rahangku sampai habis, hanya demi membuatnya sedikit terkesan. Haah … kadang cinta memang membuat gila, Ammar,” gumamnya lalu kembali tersenyum lebar pada pantulan wajahnya di cermin itu.Merasa sudah puas dengan penampilannya, Ammar menaruh cermin itu ke meja, lalu meraih kacamata dan memakainya.Tak lupa ia membawa dompet dan ponsel saat akan meninggalkan ruang kerjanya.Namun, ketika langkahnya bergerak melewati sekumpulan para pekerjanya, suara siul mereka membuat Ammar mendelik sebal.“Ekhem … sepertinya, ada yang sedang jatuh cinta,” ucap salah seorang pegawai Ammar, lalu menyikut pegawai lain yang sedang memperbaiki mesin mobil.Saat ini, semua mata tertuju pada Am
Mobil Ammar tiba di parkiran sebuah taman yang cukup luas di kota Jakarta.Bersikap seperti seorang lelaki yang gentle, Ammar turun lebih dulu untuk kemudian membukakan pintu untuk Naina.“Silakan turun, tuan putri!” ucap Ammar, yang memancing senyum manis di bibir Naina.“Jangan berlebihan, Ammar! Bercandamu tidak lucu!” Naina mendelik, tapi bibirnya tetap tersenyum.Dan Ammar tak peduli. Ia memang menyukai senyum itu.Bahkan bisa dibilang, senyum Naina adalah salah satu favoritnya di dunia ini.“Taman ini sudah mengalami banyak perubahan.” Naina berkomentar, ketika langkahnya terhenti di pintu masuk taman kota yang di sekitarnya banyak ditumbuhi pohon dan beraneka macam bunga.Ammar berdiri di samping Naina, membenamkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lantas mengangguk setuju.“Ya, taman ini banyak berubah. Menjadi lebih cantik.” ketika mengucapkan kata ‘cantik’, entah m
Setelah itu, Ambar kembali berterima kasih pada Arka dan menarik dirinya berlalu keluar dari ruangan itu.Namun, seperginya Ambar, Arka mengusap wajah dengan sebelah tangan dan mengacak rambutnya pelan.“Jika hari ini hari terakhir Ambar bekerja, itu artinya aku harus mencari sekretaris baru. Akan membutuhkan waktu lama jika mencari sekretaris dengan cara membuka lowongan. Aku harus mencari cara lain yang lebih cepat,” gumam Arka memijit keningnya sambil berpikir.Kemudian sebuah ide terlintas di kepala, Arka menyipitkan mata.“Paman Rustam pasti bisa membantuku. Mengapa tidak kuminta dia untuk mencarikan karyawan wanita yang cerdas dan berpenampilan menarik untuk dinaikan jabatan menjadi sekretaris. Agar aku bisa mendapat pengganti Ambar,” lanjut Arka bergumam sambil mengangguk-anggukan kepala.***“Baiklah, nanti akan kucoba carikan karyawan wanita seperti yang kau minta. Tentu saja yang kerjanya cekatan seper