Hari ini Naina merasa ada yang aneh. Tadi pagi ia sempat keluar rumah sebentar untuk menyiram tanaman. Akan tetapi, ia tak melihat Pak Sardi.
Padahal biasanya setiap pagi lelaki setengah baya itu selalu duduk di dekat garasi, atau sedang meminum kopi dan akan menyapa Naina saat mata mereka berpapasan.Tapi hari ini, Naina tak melihat batang hidung Pak Sardi. “Nyonya, mengapa melamun?” tepukan pelan Bik Atin di pundak kirinya membuat Naina terhenyak dan mengerjap menatapnya.“Ah, tidak Bik. Tidak apa-apa.” Naina menggeleng, kemudian tersenyum kecil.Tapi ia tak bisa menahan rasa penasarannya untuk tak bertanya pada Bik Atin yang kini kembali menyibukkan diri mencuci sayuran.“Bik, mengapa aku tidak melihat Pak Sardi pagi ini ya? Apa hari ini Pak Sardi tidak bekerja?” tanya Naina dengan raut penasaran menatap Bik Atin.Pertanyaan Naina itu berhasil membuat Bik Atin menghentikan gerakannya mencuci sayuran. BiSampai detik ini, Naina masih merasa bersalah atas apa yang menimpa Pak Sardi.Sambil melamun, Naina membereskan kamar Arka."Kasihan, Pak Sardi. Aku merasa tidak punya wajah saat bertemh dengannya nanti. Tapi bagaimana pun aku harus datang ke rumahnya dan meminta maaf. Karena aku lah penyebab mengapa Arka memecatnya." Naina mendesah pelan, sambil membereskan ranjang kamar Arka dan menepuk-nepuk bantalnya hingga menggembung.Namun, di saat yang sama, Naina menemukan sebuah benda yang berada di bawah bantal.Keningnya berkerut menatap pada benda itu yang tak lain adalah sebuah bingkai foto."Ini 'kan foto Pak Guntur." Naina meraihnya, sejenak menghentikan kegiatannya merapikan ranjang Arka.Kini ia sibuk memandangi foto Guntur yang ditemukannya.Perlahan, seulas bibir Naina mengukir senyum."Apa semalam Arka merindukan ayahnya hingga ia tidur dengan memeluk foto Pak Guntur?" gumam Naina sambil manik matanya masih menatap pada foto mendian
Sepulang dari rumah Pak Sardi, entah mengapa ada perasaan hangat yang perlahan menyelinap ke dalam hati Naina.Naina menyunggingkan senyum tipis membayangkan bahwa Arka telah menyediakan tempat usaha untuk lelaki setengah baya itu, juga uang yang cukup banyak sebagai tanda jasanya yang telah mengabdi selama puluhan tahun di keluarga Arka.“Aku tidak tahu kalau ternyata di balik sifatnya yang sesuka hati, Arka masih memiliki sisi baik dalam dirinya,” gumam Naina sambil mengaduk sup yang sedang ia masak.Naina memang sedang di dapur, menyiapkan makan malam untuk Arka. Ini sudah pukul tujuh malam. Masih ada waktu sampai Arka pulang dari kantor.Akan tetapi, saat Naina masih sibuk mengaduk supnya yang mengepulkan uap panas, tiba-tiba tangan kekar seseorang terasa memeluknya dari belakang. Membuat Naina terhenyak dan menoleh ke belakang.“Arka?!” pekik Naina melebarkan mata, ia tak menyangka jika Arka ternyata pulang lebih cepat
Di sebuah aula megah yang dipenuhi bunga di sekelilingnya, ratusan tamu datang dan memenuhi aula ini. Bukan untuk perjamuan yang membahagiakan, tetapi untuk sebuah upacara kematian yang menyedihkan.Naina terlihat kuyu dan tak henti menangis, sementara itu orang lain sedang berbisik-bisik. “Aku yakin air mata Naina itu palsu. Naina pasti sedang sangat bahagia sekarang. Belum juga lama menikah dengan Pak Guntur, dia sudah bisa mewarisi harta dan properti suaminya.”"Usia Naina masih sangat muda. Tidak mungkin dia mau menikah dengan Pak Guntur yang lebih cocok menjadi ayahnya, kecuali karena harta kekayaan Pak Guntur."Bisik-bisik mereka masih bisa terdengar sampai ke telinga Naina. Naina tidak tahu bagaimana mengklarifikasi semua tuduhan itu. Dia sudah terlalu rapuh. Matanya masih menatap lekat pada tubuh kaku suaminya. Memori dalam ingatannya pun berkelebat. Awalnya, Guntur yang saat itu sedang pergi ke bengkel tempat dimana dulu Naina bekerja, tanpa sengaja mendengar keluh kesa
“Kau! Apa yang kau katakan?”Naina merasa terkejut, ini pertama kalinya dia bertemu dengan anak dari suaminya yang sudah meninggal. Sebelumnya dia sudah mengetahui kalau hubungan ayah dan anak itu sangat tidak harmonis, bahkan Arka tidak menghadiri pernikahan Naina dengan ayahnya. Namun, Naina sudah membicarakan soal Arka dengan Guntur. Dan dia paham bahwa Guntur menaruh harapan besar pada anaknya. Sosok Arka yang diceritakan Guntur adalah sosok pria yang sopan dan terpelajar. Bukan pria yang kasar seperti pria di hadapannya ini. Arka bangkit berdiri, mengedarkan pandangannya pada semua orang yang ada di sana, kecuali Naina. "Aku minta pada kalian semua, tinggalkan rumahku sekarang juga!"Naina terkejut, mengerutkan keningnya. Begitupun dengan orang-orang yang menatap bingung sekaligus takut pada Arka. "Mengapa kau mengusir mereka?" tanya Naina, dia sudah berdiri di depan Arka. Tubuhnya yang mungil seperti terintimidasi oleh tubuh Arka yang jangkung.Tinggi Naina hanya sampai dagu
"Jangan mencoba menyentuhku!" tekan Naina memberikan tatapan tajamnya kepada Arka sebagai peringatan agar lelaki itu tidak lancang menyentuhnya. "Apa kau tidak tahu kalau ayahku telah menuliskan sebuah wasiat bahwa dia mewariskan hartanya sekaligus dirimu kepadaku? Bukankah itu artinya kau juga menjadi milikku? Aku berhak menikmati tubuhmu dan melakukan apapun kepadamu dengan sesuka hatiku," jelas Arka. Sebelum kecelakaan itu terjadi, Guntur memang membuat sebuah surat wasiat yang dia serahkan kepada pengacaranya. Lalu setelah Guntur meninggal, pengacara itu pun memberitahukan soal wasiat yang dituliskan untuknya. Dimana isi surat wasiat itu adalah Guntur memiliki jumlah besar kekayaan sebanyak 10 triliun. Yang kemudian akan diberikan tiga puluh persen kepada Naina, dan tujuh puluh persennya untuk Arka. Begitupun dengan real estate yang dimilikinya, Guntur memberikan masing-masing apartmen dan lahan miliknya kepada mereka berdua. Guntur berharap istri dan anaknya bisa saling menduk
Sebelum Guntur kecelakaan, perusahaan Retro sedang berada diambang kebangkrutan. Karena menumpuknya barang hasil produksi di gudang, sementara target penjualan mereka kian menurun.Hari ini seluruh karyawan diperintahkan untuk berkumpul di aula kantor. Mereka berbaris dengan rapi. Menurut kabar yang berhembus, kantor ini akan kedatangan CEO baru. Yang tak lain adalah putra tunggal dari Guntur Sebastian.“Bukankah putra presiden ada di Amerika?”“Aku tidak peduli siapa CEO berikutnya, aku hanya peduli jika gajiku akan naik!"“Aku pikir Rustam akan menggantikan kakaknya sebagai CEO baru.”Segelintir dari mereka saling berbisik-bisik, penasaran dengan sosok pemimpin baru di perusahaan mereka.Termasuk dengan Maurin yang juga ikut berbaris di antara ratusan karyawan itu.Saat itu pintu aula terbuka, semua mata langsung tertuju ke sana. Semua orang yang berdiri di aula terkesiap melihat sosok tampan yang saat ini berjalan tegas dan berwibawa. Sosok tampan itu adalah Arka. Di samping kirin
Tadinya Naina pikir Arka begitu baik saat mencegah dua orang security yang akan mengusirnya. Tetapi sekarang Naina menarik kembali pemikirannya, Arka tetap lah seorang lelaki berhati iblis. Naina terdiam, menimang-nimang keputusannya. Tetap tinggal di rumah besar itu bersama dengan Arka? Naina sudah melihat sifat iblis dalam diri lelaki itu. Naina ragu apakah dirinya akan sanggup berhadapan dengan Arka setiap hari? Lelaki itu pasti akan terus menyusahkannya.“Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak tahu apakah aku harus menerima tawaran Arka atau menolaknya. Tapi jika aku menolak, bagaimana dengan Raffan? Saat ini dia masih berjuang untuk sembuh. Sementara biaya pengobatannya sangat mahal,” desah Naina dalam hati.Naina sangat tidak tega melihat tubuh Raffan yang hanya bisa terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Dia teringat bagaimana ceria dan semangatnya Raffan dalam menjalani hidupnya sebelum kecelakaan nahas itu menimpanya dan merenggut nyawa Guntur.Mengingat Guntur, sek
Bola mata Arka melebar, Naina menjatuhkan foto kedua orang tuanya hingga pecahan kacanya berserakan di lantai. Rahangnya langsung merapat marah, tatapannya tajam mengarah pada Naina yang tubuhnya sudah membeku di tempatnya.“Arka?” pekik Naina. Dia segera berjongkok dan memunguti foto-foto itu dari lantai. “Bagus, Naina. Tanah kuburan ayahku masih basah, tapi kau sudah menurunkan foto kedua orang tuaku dari dinding!” sentak Arka dengan murka. Urat lehernya bertonjolan, menandakan kemarahannya.Naina tergugu. Dia tidak ingin Arka salah paham dengan apa yang dilakukannya.“Bukan begitu. Aku hanya ingin mengumpulkan foto mereka—““Untuk apa?” bentak Arka lagi. “Oh. Aku tahu. Kau mengumpulkan foto-foto itu karena ingin membuangnya, ‘kan? Kau tidak sanggup menatap foto-foto itu karena merasa bersalah sudah mencelakai ayahku dan berniat menguasai kekayaannya?” lagi-lagi Arka menuduhnya dengan keji.Naina mengepalkan tangannya, hatinya sakit mendapat tuduhan seperti itu.“Kau pasti ingin