Bola mata Arka melebar, Naina menjatuhkan foto kedua orang tuanya hingga pecahan kacanya berserakan di lantai. Rahangnya langsung merapat marah, tatapannya tajam mengarah pada Naina yang tubuhnya sudah membeku di tempatnya.
“Arka?” pekik Naina. Dia segera berjongkok dan memunguti foto-foto itu dari lantai.
“Bagus, Naina. Tanah kuburan ayahku masih basah, tapi kau sudah menurunkan foto kedua orang tuaku dari dinding!” sentak Arka dengan murka. Urat lehernya bertonjolan, menandakan kemarahannya.
Naina tergugu. Dia tidak ingin Arka salah paham dengan apa yang dilakukannya.
“Bukan begitu. Aku hanya ingin mengumpulkan foto mereka—“
“Untuk apa?” bentak Arka lagi. “Oh. Aku tahu. Kau mengumpulkan foto-foto itu karena ingin membuangnya, ‘kan? Kau tidak sanggup menatap foto-foto itu karena merasa bersalah sudah mencelakai ayahku dan berniat menguasai kekayaannya?” lagi-lagi Arka menuduhnya dengan keji.
Naina mengepalkan tangannya, hatinya sakit mendapat tuduhan seperti itu.
“Kau pasti ingin sepenuhnya memantapkan posisimu di rumah ini seolah ini adalah keluargamu sendiri. Jangan harap itu terjadi, Naina! Aku tidak akan pernah membiarkan wanita licik sepertimu menguasai kekayaan ayahku,” desis Arka, matanya makin berkilat tajam. Serasa menusuk hingga ke jantung Naina.
“Kau salah paham! Aku hanya ingin menyatukan foto mereka, tapi kau datang dan aku tak sengaja menjatuhkannya. Kenapa kau masih menuduhku yang bukan-bukan? Aku juga tidak merencakan kecelakaan ayahmu.” Naina mencoba membela diri, tetapi Arka tidak mendengarkannya.
Arka malah merebut foto-foto itu dari tangan Naina dengan gerakan kasar, lalu melangkah ke kamar utama.
Setelah sampai, Arka membuka pintu kamar utama yang tak lain adalah kamar milik Guntur.
Akan tetapi, keningnya berkerut heran saat menyadari bahwa di dalam kamar itu hanya ada jejak ayahnya saja. Seolah Guntur hanya hidup sendiri di sana.
Tidak ada satu pun peralatan make-up perempuan di atas meja rias itu. Saat Arka membuka lemari, tidak ada selembar pun pakaian wanita.
Arka pun merasa aneh. “Kenapa tidak ada jejak Naina di kamar ini?” gumamnya bertanya-tanya
***
Pagi hari, Naina memulai hidupnya sebagai ibu tiri yang baik seperti yang Arka perintahkan. Dia masuk ke dapur dan mulai menyiapkan sarapan untuk lelaki itu.
Bik Atin—pembantu yang sudah bekerja selama sepuluh tahun di rumah itu pun terkejut melihat Naina yang sedang memasak nasi goreng.
“Nyonya! Apa yang Nyonya lakukan? Ini pekerjaan pembantu. Nyonya duduk saja di ruang makan, nanti saya akan antarkan sarapannya kalau sudah siap. Nyonya tidak pantas mengerjakan pekerjaan pembantu. Tuan Guntur pasti akan marah jika melihat ini.”
Naina tersenyum pahit, nyatanya Guntur tidak ada di sini. Yang ada sekarang hanya Arka, putra tirinya yang sangat membencinya.
“Siapa bilang Naina tidak pantas mengerjakan pekerjaan pembantu?” suara Arka yang terdengar membuat bola mata Naina dan Bik Atin sama-sama mengarah ke sana.
Ternyata lelaki itu sudah berdiri di ambang pintu dengan melipat kedua tangannya di depan dada. Kaki panjangnya melangkah, mendekati Naina dan menatapnya dengan tatapan mengejek.
“Justru Naina sangat pantas. Bukankah dia adalah ibu tiriku? Sudah seharusnya dia mengerjakan pekerjaan rumah dan berperan sebagai ibu tiri yang baik,” kata Arka.
Naina terdiam, namun matanya membalas tatapan Arka dengan lurus dan tajam. Rasa kesal sudah menumpuk dalam dadanya, tetapi dia tidak bisa melawan Arka karena teringat dengan Raffan yang membutuhkan biaya pengobatan yang mahal.
“Tapi Tuan Guntur akan marah jika Nyonya Naina melakukan itu—“ Bik Atin akan membantah lagi. Bibirnya langsung terkatup rapat ketika Arka melotot ke arahnya.
“Ayahku sudah meninggal. Dan aku ada di sini untuk menggantikannya. Kau tidak berhak ikut campur. Hanya aku saja yang punya hak untuk mengatur semua hal di rumah ini! Jika ada yang berani membantahku, aku tidak akan segan memecatnya saat itu juga!” desis Arka yang langsung membuat tubuh Bik Atin menciut.
Naina yang merasa tidak suka melihat Arka memarahi pembantu yang jauh lebih tua darinya, langsung menyela.
“Sudah. Kau tidak perlu memarahi Bik Atin. Aku akan melakukan pekerjaan rumah seperti yang kau inginkan,” tegas Naina yang ingin segera mengakhiri perdebatan di antara mereka.
Mendengar itu, sebelah ujung bibir Arka terangkat dan membentuk senyum miring.
“Itu baru ibu tiri yang baik,” sindir Arka dengan senyum puas. “Aku akan mandi. Aku minta sarapannya harus sudah siap sebelum aku turun,” lanjutnya.
Setelah mengatakan itu, Arka pun keluar dari dapur dan pergi ke kamarnya.
Naina kembali menoleh, menatap kesal pada punggung lebar Arka yang menghilang dari pandangannya.
“Nyonya. Anda harus bersabar dengan Tuan Arka. Sifatnya sangat jauh berbeda dengan Tuan Guntur,” ucap Bik Atin memandang iba pada Naina.
Naina mengangguk dan tersenyum kecil pada pembantu itu.
“Iya, Bik. Dia sangat jauh berbeda dengan ayahnya,” balasnya membuang napas pelan. Kemudian kembali sibuk mengaduk nasi gorengnya agar cepat matang.
Jika Arka turun lebih dulu dari kamarnya sebelum sarapannya siap, lelaki itu pasti akan kembali menindasnya dengan mulutnya yang pedas.
***
Naina lega, nasi goreng mata sapinya sudah siap. Aroma harum menguar di penjuru dapur.
Dengan hati-hati Naina menyiapkan sarapan di atas meja makan. Tak lupa dia meletakan dua gelas air putih di samping masing-masing piring.
Bertepatan dengan itu, tubuh jangkung Arka bergerak menuruni tangga.
“Kau sudah menyiapkan sarapanku?” tanya Arka, menyingsingkan kemeja bagian lengannya namun matanya lurus menatap ke arah Naina.
Naina mengangguk. “Sudah. Kau bisa melihatnya sendiri. Sarapannya sudah siap di atas meja.”
Arka melirik ke arah meja, lalu mendudukan dirinya di kursi yang biasa diduduki oleh Guntur. Baru saja tangannya akan meraih sendok, gerakannya terhenti saat di seberang tempat duduknya, Naina juga menarik kursi untuk duduk di depan Arka. Arka baru sadar kalau di atas meja itu ada dua piring nasi goreng.
“Siapa yang menyuruhmu duduk di sana?” tanya Arka, menatap Naina dengan mata dinginnya.
Naina tertegun. Dia merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Tapi tatapan Arka seolah menunjukan ketidaksukaannya saat Naina ikut duduk untuk sarapan.
“Memangnya kenapa? Biasanya aku selalu duduk di kursi ini setiap kali makan bersama.” Naina balik bertanya.
“Itu dulu, sebelum ayahku meninggal.
Naina menautkan kedua alisnya mendengar ucapan Arka. “Apa maksudmu? Aku ibu tirimu. Bukankah sudah seharusnya kita berada di satu meja makan yang sama?” tanya Naina dengan polosnya. Sepertinya dia lupa kalau Arka adalah seorang lelaki berhati iblis.Arka tersenyum sinis. “Saat ayahku masih hidup, kau bebas mendapatkan kemewahan dan kenyamanan di rumah ini. Kau bisa duduk di kursi mana pun sesukamu ketika makan. Bahkan kau bisa duduk santai seharian dan menghabiskan waktumu dengan hanya ongkang-ongkang kaki saja. Aku yakin, dulu ayahku pasti sangat memanjakanmu,” ucap Arka sambil memasang raut mengejek.“Tapi sayangnya yang ada di hadapanmu saat ini bukan lah Guntur Sebastian, melainkan putranya yang akan menjadi pemimpin baru di keluarga ini. Kita baru beberapa hari bertemu, tapi kurasa kau cukup tahu seperti apa sifat anak tirimu. Aku tidak sebaik ayahku dan aku tidak akan memanjakanmu seperti yang dilakukannya. Dan ada satu hal penting yang harus kau catat, aku tidak sudi duduk di
Ini adalah kali pertama bagi Arka menempati meja kerja mendiang ayahnya. Arka mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Tangannya meraih sebuah foto yang ada di atas meja kerjanya. Di foto itu, tampak Guntur sedang tersenyum dan menatap ke arah kamera. Senyumnya lebar, menampilkan deretan giginya yang rapi. Melihat foto Guntur, seketika Arka teringat dengan masa lalunya. Dimana Guntur selalu mendidiknya dengan keras. Hal itu lah yang membuat Arka memutuskan untuk menjauh dan melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.Arka mengenang saat-saat dia masih bersama dengan Guntur. Selama mengenal ayahnya, Arka hanya tahu bahwa Guntur adalah ayah yang keras. Tetapi meski begitu, sebagai seorang anak, dia tetap menyayangi ayah kandungnya itu. Maka ketika Guntur mengalami kecelakaan, Arka sangat terkejut dan langsung mengarahkan tuduhannya kepada Naina. Arka merasa ada sesuatu yang janggal dengan kecelakaan yang menimpa ayahnya. “Meskipun aku tidak tahu pasti seperti apa kecelakaan yang membua
Seperti yang Arka perintahkan, Naina akan berdiri di dekat meja makan dan menunggui Arka menghabiskan makanannya. Arka menarik kursi, lalu duduk dan menatap pada makanan yang terhidang di hadapannya. “Fajitas dan Salmon Fish. Bagus! Kau menuruti perintahku untuk belajar memasak makanan luar,” kata Arka saat melihat menu makanan yang dimasak oleh Naina. Matanya melirik ke arah wanita itu sambil melempar senyum miring.Naina terdiam, enggan menanggapi ucapan lelaki itu. Arka mulai memasukkan makanannya ke dalam mulut, lalu mengunyahnya. Namun tak berselang lama, Arka kembali memuntahkannya ke atas piring sambil terbatuk-batuk.“Aarggh! Makanan apa ini?” Arka meringis, segera meneguk air sebanyak-banyaknya. Naina terkejut melihat reaksi Arka. Keningnya berkerut, berpikir apa lagi yang salah dengan makanannya.“Itu makanan luar negeri yang kau minta. Kau bilang lidahmu tidak cocok dengan makanan lokal, bukan? Kau terbiasa makan makanan luar negeri. Lalu kenapa kau masih saja memuntahka
“Apa yang kau bawa itu? Hmm?” mata Arka melirik ke arah rantang makanan yang ada di tangan Naina.Naina mengangkat rantangnya, mendekap di perutnya, kemudian menjawab. “Ini makan siang yang kubawa untukmu.”“Tapi aku tidak pernah minta dibawakan makan siang olehmu. Lagipula aku yakin kalau makanan kantor jauh lebih enak daripada makanan yang kau buat,” sinis Arka.“Kalau begitu, kau tinggal memberikan makanan ini pada OB atau sekretarismu. Tadinya aku hanya ingat kalau aku harus menjadi ibu tiri yang baik, yang melayanimu dan menyiapkan semua keperluanmu. Tapi jika kau tidak suka, terserah. Yang penting aku sudah melakukannya.” Naina menaruh rantang makanan itu di atas meja kerja Arka, mata Arka memperhatikan gerakannya.Setelah itu, Naina kembali berdiri di depan tubuh Arka yang jangkung. Matanya menatap lelaki itu dengan lurus.“Kemarin kau bilang aku harus datang ke kantormu siang ini untuk m
Naina merasa lega begitu melihat Arka datang, dia bisa meminta bantuan lelaki itu untuk membuat semua orang percaya bahwa dirinya tidak bersalah.Dengan langkah tegasnya, Arka berjalan menghampiri mereka.“Presdir, Nyonya Naina telah mencuri uang dari atas mejaku. Uang itu adalah uang yang kau suruh untuk kuberikan kepada anak panti asuhan. Tapi Nyonya Naina tetap tidak mau mengaku, padahal amplop ini adalah buktinya.” Ambar menunjukkan amplop cokelat itu di depan Arka.Arka menatap amplop itu dengan wajah terkejut.Naina mengelak. Menggelengkan kepalanya cepat. “Arka. Tolong katakan pada mereka kalau aku tidak pernah mencuri uang itu. Uang itu aku dapatkan darimu. Kau yang sudah memberikannya untuk biaya pengobatan Raffan. Tolong katakan yang sebenarnya!” pinta Naina, mendekati Arka dan memohon pada lelaki itu.Naina sangat berharap besar pada pembelaan Arka. Naina tahu, hanya Arka yang bisa mengeluarkannya dari masalah ini
Karena tidak tahan, Naina mendorong dada Arka hingga mundur selangkah dan dia segera pergi dari kantor itu.Arka menatap punggung Naina yang menghilang dari pandangannya. Tadi dia melihat air mata Naina yang nyaris tumpah. Wanita itu pasti sakit hati karena dipermalukan olehnya.Dan sialnya, melihat air mata itu, ada sedikit rasa kasihan dalam hati Arka. Tapi Arka segera menepis perasaan itu dan memutuskan untuk kembali ke ruang kerjanya.Arka membuang napas pelan, sebelum akhirnya dia berbalik dan masuk ke dalam kantornya.Tanpa Arka tahu, Rustam tadi mengikutinya dari belakang saat dia merangkul Naina ke luar dari kantor.Rustam menatap pada kepergian Arka yang menghilang di pintu lift, kemudian dia berpikir. “Ternyata Arka juga membenci wanita yang hanya mencari harta keluarga ini.”***Karena jam makan siang sudah tiba, Maurin segera bangkit berdiri dari duduknya dan berjalan cepat. Langkahnya tidak men
Arka baru saja melakukan meeting dengan beberapa karyawan dan petinggi perusahaan. Meeting kali ini membahas tentang bagaimana cara mendapat target pasar yang tepat untuk produk yang akan mereka luncurkan. Dan tak disangka, semua orang yang ada di ruang meeting itu mengangguk dengan tatapan kagum ketika mendengar dan melihat cara berpikir Arka untuk memajukan perusahaan.“Meeting kita selesai. Semuanya boleh bubar dan kembali ke tempat masing-masing. Sampai bertemu di meeting selanjutnya,” ucap Arka mengedarkan pandangannya pada seluruh peserta meeting, sambil sedikit memungkukan tubuh dengan kedua telapak tangan yang bertumpu di tepi meja.“Baik, Presdir.” semuanya berdiri, satu per satu meninggalkan ruang meeting itu. Selesai mereka pergi, barulah Arka keluar dari sana dan disusul oleh Ambar.Arka berjalan menuju ruang kerja CEO. Langkahnya begitu tegas. Orang yang tak mengenal siapa Arka, mungkin akan langsung menyimpulkan jika A
Minggu pagi ini, Naina membuatkan sarapan untuk Arka. Hanya setangkup roti panggang dengan ditambahkan selai kacang di atasnya. Lalu segelas air putih hangat. Menu sarapan yang selalu menjadi kesukaan lelaki itu.Naina menyunggingkan senyum tipis sembari menatap sarapan buatannya yang sudah ia tata sedemikian rupa.“Sudah siap. Sekarang sarapannya tinggal dihidangkan di atas meja!”Baru saja Naina mengangkat nampannya, hendak berjalan keluar dapur saat Bik Atin tiba-tiba datang dan bertemu pandang dengannya.“Nyonya Naina. Syukurlah sarapannya sudah siap. Tuan Arka sudah menanyakan sarapannya dan dia meminta Nyonya segera mengantarnya ke ruang olahraga,” ucap Bik Atin. Ada sedikit raut lega di wajahnya ketika melihat sebuah nampan siap di tangan Naina.“Ruang olahraga?” Naina mengerutkan kening.“Iya, Nyonya. Setiap hari minggu, biasanya Tuan Arka memang melakukan olahraga pag