Naina menautkan kedua alisnya mendengar ucapan Arka.
“Apa maksudmu? Aku ibu tirimu. Bukankah sudah seharusnya kita berada di satu meja makan yang sama?” tanya Naina dengan polosnya. Sepertinya dia lupa kalau Arka adalah seorang lelaki berhati iblis.
Arka tersenyum sinis. “Saat ayahku masih hidup, kau bebas mendapatkan kemewahan dan kenyamanan di rumah ini. Kau bisa duduk di kursi mana pun sesukamu ketika makan. Bahkan kau bisa duduk santai seharian dan menghabiskan waktumu dengan hanya ongkang-ongkang kaki saja. Aku yakin, dulu ayahku pasti sangat memanjakanmu,” ucap Arka sambil memasang raut mengejek.
“Tapi sayangnya yang ada di hadapanmu saat ini bukan lah Guntur Sebastian, melainkan putranya yang akan menjadi pemimpin baru di keluarga ini. Kita baru beberapa hari bertemu, tapi kurasa kau cukup tahu seperti apa sifat anak tirimu. Aku tidak sebaik ayahku dan aku tidak akan memanjakanmu seperti yang dilakukannya. Dan ada satu hal penting yang harus kau catat, aku tidak sudi duduk di meja yang sama denganmu. Jadi sekarang bangkitlah dari kursimu!” Arka menunjuk kursi yang masih diduduki oleh Naina, lalu mengibas-ngibaskan sebelah tangannya di udara, mengisyaratkan agar Naina segera berdiri dari duduknya.
Naina dibuat terperangah dengan perkataan Arka. Kedua tangannya sudah meremas di atas paha, menumpahkan kekesalannya. Mendengar kata tidak sudi yang diucapkan lelaki itu, membuat Naina menahan napas. Tapi kemudian dia memutuskan untuk mengalah dari Arka. Karena Naina tahu kalau Arka lah yang akan membiayai pengobatan adiknya.
Mendorong kursinya ke belakang, Naina pun bangkit berdiri. Dia membalikan badannya, hendak pergi meninggalkan ruang makan. Namun suara baritone milik Arka lebih dulu terdengar memanggil di telinganya hingga membuat langkahnya terhenti.
“Tunggu! Siapa yang menyuruhmu pergi?”
Naina menghembuskan napasnya kasar, berdecak dalam hati.
“Tuhan! Sebenarnya apa mau lelaki ini?” jeritnya dalam hati. Tapi Naina tak urung berbalik dan menoleh pada Arka.
“Apa lagi? Bukankah tadi kau bilang tidak sudi berada di meja yang sama denganku?” tanya Naina yang tidak habis pikir dengan Arka.
“Benar. Tapi aku tidak pernah menyuruhmu pergi meninggalkan ruang makan,” bantah Arka.
“Lalu apa yang harus kulakukan sebenarnya?” Naina semakin kesal. Sayangnya dia tidak bisa meluapkan kekesalannya kepada lelaki itu.
“Aku ingin kau berdiri di dekat kursi itu dan menungguku sampai selesai sarapan,” suruh Arka sambil mengarahkan telunjuknya pada kursi yang berada di depannya.
Bola mata Naina melebar mendengar perintah lelaki itu. “Untuk apa aku menunggumu sampai selesai sarapan?” Naina menatap Arka dengan menyipitkan matanya.
Melihat kerutan di kening wanita itu, Arka mengangkat sebelah ujung bibirnya, kemudian bersidekat di tepi meja, matanya lurus menatap ke arah Naina dengan wajah tanpa dosa.
“Apa kau lupa, kalau aku ingin kau tinggal di rumah ini bukan hanya untuk merawatku sebagai seorang ibu, tetapi juga untuk melayaniku seperti pembantu. Jika aku menyuruh sesuatu, maka kau harus melakukannya tanpa bantahan apapun. Dan sekarang aku menginginkan kau berdiri di dekat meja makan, lalu menungguiku sarapan. Setelah aku selesai, baru kau boleh duduk dan menyentuh sarapanmu,” cetus Arka, batinnya merasa sangat puas melihat raut terkejut di wajah Naina.
“Aku tidak mau. Aku lebih memilih sarapan di dapur. Aku tidak setuju dengan peraturan aneh yang kau buat,” tolak Naina menggelengkan kepalanya.
“Jangan berani membantahku! Kau lupa kalau hidup dan mati adikmu bergantung padaku? Jika aku mengusirmu dari sini tanpa uang sepeser pun, bagaimana adikmu akan tetap hidup?” seketika Naina tergugu mendengar perkataan Arka.
Ancaman Arka berhasil membuat Naina mengalah. Dia berdiri di tempat yang tadi ditunjuk oleh lelaki itu. Naina tidak percaya kalau Arka akan mempermalukannya seperti ini. Dia ingin marah, tetapi harus menahannya demi adiknya.
Tersenyum sinis, Arka pun memulai sarapannya. Dia mengambil sendok dan mencicipi nasi goreng yang dibuat oleh Naina. Akan tetapi, baru saja satu sendok nasi goreng masuk tiga detik ke dalam mulutnya, tiba-tiba Arka menghentikan gerakan mengunyahnya.
“Apa yang kau lakukan? Kenapa kau malah memuntahkannya?” tanya Naina dengan heran.
Arka mengambil beberapa lembar tissue, lalu mengelap mulutnya. Setelah itu, matanya naik membalas tatapan Naina dengan sorot marah.
“Apa kau tidak becus memasak? Rasa masakanmu aneh sekali.” Arka malah balik bertanya dan melemparkan ejekan pedasnya.
“Apanya yang aneh? Aku sudah mencicipi nasi goreng itu sebelum menghidangkannya di atas meja. Dan menurutku tidak ada yang salah dengan rasanya.” Naina membantah.
“Aku tidak suka dengan makanan indonesia buatanmu. Aku biasa makan makanan Amerika. Lain kali belajarlah membuat masakan yang cocok dengan lidahku!” perintah Arka lalu menyambar tas kerjanya yang ada di kursi sebelahnya.
“Karena kau, aku jadi sudah tidak berselera untuk sarapan pagi ini. Terserah kau mau melakukan apapun pada nasi goreng itu. Mau kau menghabiskannya sendirian, memberikannya pada kucing, atau pun membuangnya ke tong sampah, aku tidak peduli! Yang jelas, aku tidak ingin lagi melihatnya ada di atas mejaku,” cetus Arka yang sepertinya tak pernah puas melontarkan kata-kata pedasnya pada Naina.
Naina menahan napasnya yang terasa berat, ucapan Arka begitu menyakiti hatinya. Tetapi saat ini tidak ada yang bisa dilakukannya selain mengalah terhadap lelaki itu. Kesembuhan Raffan adalah yang paling utama dibanding penderitaan yang dibuat oleh Arka.
***
“Selamat pagi, Tuan Arka!” dua orang security yang berdiri di samping pintu masuk, langsung menyapa sosok pemimpin baru mereka.
Arka hanya mengangguk. Meski dianugerahi wajah tampan, Arka cenderung jarang tersenyum. Mungkin karena dia sudah terlalu banyak mendapat didikan keras dari ayahnya saat kecil, hingga membuatnya tumbuh menjadi seorang lelaki yang tegas.
Arka memasuki kantornya dengan langkahnya yang lebar. Sementara itu, Ambar—sekretarisnya terlihat mengekori dari belakang.
Seperti yang biasa dilakukan saat Guntur masih memimpin sebagai CEO di perusahaan, saat Arka lewat di hadapan mereka, semua karyawan akan bangkit berdiri dan setengah membungkukan badan kepada Arka lalu menyapanya.
Maurin sampai menggigit bibir bawahnya, pesona Arka berhasil membuatnya terjerat.
Setelahnya tubuh Arka menghilang di balik pintu lift, Maurin beserta semua karyawan langsung kembali duduk di kubikel mereka masing-masing. Tetapi tidak ada satu pun yang menyadari bahwa Maurin masih tak bisa melepaskan matanya dari pintu lift itu.
“Dia benar-benar pria paling sempurna yang pernah aku temui. Tampan dan kaya.” Maurin menatap wajah Arka di layar ponselnya sambil tersenyum.
“Aku wanita paling cantik di kantor. Aku pasti akan mendapatkan Arka.”
Tapi bagaimana cara mendekati Arka?
Ini adalah kali pertama bagi Arka menempati meja kerja mendiang ayahnya. Arka mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Tangannya meraih sebuah foto yang ada di atas meja kerjanya. Di foto itu, tampak Guntur sedang tersenyum dan menatap ke arah kamera. Senyumnya lebar, menampilkan deretan giginya yang rapi. Melihat foto Guntur, seketika Arka teringat dengan masa lalunya. Dimana Guntur selalu mendidiknya dengan keras. Hal itu lah yang membuat Arka memutuskan untuk menjauh dan melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.Arka mengenang saat-saat dia masih bersama dengan Guntur. Selama mengenal ayahnya, Arka hanya tahu bahwa Guntur adalah ayah yang keras. Tetapi meski begitu, sebagai seorang anak, dia tetap menyayangi ayah kandungnya itu. Maka ketika Guntur mengalami kecelakaan, Arka sangat terkejut dan langsung mengarahkan tuduhannya kepada Naina. Arka merasa ada sesuatu yang janggal dengan kecelakaan yang menimpa ayahnya. “Meskipun aku tidak tahu pasti seperti apa kecelakaan yang membua
Seperti yang Arka perintahkan, Naina akan berdiri di dekat meja makan dan menunggui Arka menghabiskan makanannya. Arka menarik kursi, lalu duduk dan menatap pada makanan yang terhidang di hadapannya. “Fajitas dan Salmon Fish. Bagus! Kau menuruti perintahku untuk belajar memasak makanan luar,” kata Arka saat melihat menu makanan yang dimasak oleh Naina. Matanya melirik ke arah wanita itu sambil melempar senyum miring.Naina terdiam, enggan menanggapi ucapan lelaki itu. Arka mulai memasukkan makanannya ke dalam mulut, lalu mengunyahnya. Namun tak berselang lama, Arka kembali memuntahkannya ke atas piring sambil terbatuk-batuk.“Aarggh! Makanan apa ini?” Arka meringis, segera meneguk air sebanyak-banyaknya. Naina terkejut melihat reaksi Arka. Keningnya berkerut, berpikir apa lagi yang salah dengan makanannya.“Itu makanan luar negeri yang kau minta. Kau bilang lidahmu tidak cocok dengan makanan lokal, bukan? Kau terbiasa makan makanan luar negeri. Lalu kenapa kau masih saja memuntahka
“Apa yang kau bawa itu? Hmm?” mata Arka melirik ke arah rantang makanan yang ada di tangan Naina.Naina mengangkat rantangnya, mendekap di perutnya, kemudian menjawab. “Ini makan siang yang kubawa untukmu.”“Tapi aku tidak pernah minta dibawakan makan siang olehmu. Lagipula aku yakin kalau makanan kantor jauh lebih enak daripada makanan yang kau buat,” sinis Arka.“Kalau begitu, kau tinggal memberikan makanan ini pada OB atau sekretarismu. Tadinya aku hanya ingat kalau aku harus menjadi ibu tiri yang baik, yang melayanimu dan menyiapkan semua keperluanmu. Tapi jika kau tidak suka, terserah. Yang penting aku sudah melakukannya.” Naina menaruh rantang makanan itu di atas meja kerja Arka, mata Arka memperhatikan gerakannya.Setelah itu, Naina kembali berdiri di depan tubuh Arka yang jangkung. Matanya menatap lelaki itu dengan lurus.“Kemarin kau bilang aku harus datang ke kantormu siang ini untuk m
Naina merasa lega begitu melihat Arka datang, dia bisa meminta bantuan lelaki itu untuk membuat semua orang percaya bahwa dirinya tidak bersalah.Dengan langkah tegasnya, Arka berjalan menghampiri mereka.“Presdir, Nyonya Naina telah mencuri uang dari atas mejaku. Uang itu adalah uang yang kau suruh untuk kuberikan kepada anak panti asuhan. Tapi Nyonya Naina tetap tidak mau mengaku, padahal amplop ini adalah buktinya.” Ambar menunjukkan amplop cokelat itu di depan Arka.Arka menatap amplop itu dengan wajah terkejut.Naina mengelak. Menggelengkan kepalanya cepat. “Arka. Tolong katakan pada mereka kalau aku tidak pernah mencuri uang itu. Uang itu aku dapatkan darimu. Kau yang sudah memberikannya untuk biaya pengobatan Raffan. Tolong katakan yang sebenarnya!” pinta Naina, mendekati Arka dan memohon pada lelaki itu.Naina sangat berharap besar pada pembelaan Arka. Naina tahu, hanya Arka yang bisa mengeluarkannya dari masalah ini
Karena tidak tahan, Naina mendorong dada Arka hingga mundur selangkah dan dia segera pergi dari kantor itu.Arka menatap punggung Naina yang menghilang dari pandangannya. Tadi dia melihat air mata Naina yang nyaris tumpah. Wanita itu pasti sakit hati karena dipermalukan olehnya.Dan sialnya, melihat air mata itu, ada sedikit rasa kasihan dalam hati Arka. Tapi Arka segera menepis perasaan itu dan memutuskan untuk kembali ke ruang kerjanya.Arka membuang napas pelan, sebelum akhirnya dia berbalik dan masuk ke dalam kantornya.Tanpa Arka tahu, Rustam tadi mengikutinya dari belakang saat dia merangkul Naina ke luar dari kantor.Rustam menatap pada kepergian Arka yang menghilang di pintu lift, kemudian dia berpikir. “Ternyata Arka juga membenci wanita yang hanya mencari harta keluarga ini.”***Karena jam makan siang sudah tiba, Maurin segera bangkit berdiri dari duduknya dan berjalan cepat. Langkahnya tidak men
Arka baru saja melakukan meeting dengan beberapa karyawan dan petinggi perusahaan. Meeting kali ini membahas tentang bagaimana cara mendapat target pasar yang tepat untuk produk yang akan mereka luncurkan. Dan tak disangka, semua orang yang ada di ruang meeting itu mengangguk dengan tatapan kagum ketika mendengar dan melihat cara berpikir Arka untuk memajukan perusahaan.“Meeting kita selesai. Semuanya boleh bubar dan kembali ke tempat masing-masing. Sampai bertemu di meeting selanjutnya,” ucap Arka mengedarkan pandangannya pada seluruh peserta meeting, sambil sedikit memungkukan tubuh dengan kedua telapak tangan yang bertumpu di tepi meja.“Baik, Presdir.” semuanya berdiri, satu per satu meninggalkan ruang meeting itu. Selesai mereka pergi, barulah Arka keluar dari sana dan disusul oleh Ambar.Arka berjalan menuju ruang kerja CEO. Langkahnya begitu tegas. Orang yang tak mengenal siapa Arka, mungkin akan langsung menyimpulkan jika A
Minggu pagi ini, Naina membuatkan sarapan untuk Arka. Hanya setangkup roti panggang dengan ditambahkan selai kacang di atasnya. Lalu segelas air putih hangat. Menu sarapan yang selalu menjadi kesukaan lelaki itu.Naina menyunggingkan senyum tipis sembari menatap sarapan buatannya yang sudah ia tata sedemikian rupa.“Sudah siap. Sekarang sarapannya tinggal dihidangkan di atas meja!”Baru saja Naina mengangkat nampannya, hendak berjalan keluar dapur saat Bik Atin tiba-tiba datang dan bertemu pandang dengannya.“Nyonya Naina. Syukurlah sarapannya sudah siap. Tuan Arka sudah menanyakan sarapannya dan dia meminta Nyonya segera mengantarnya ke ruang olahraga,” ucap Bik Atin. Ada sedikit raut lega di wajahnya ketika melihat sebuah nampan siap di tangan Naina.“Ruang olahraga?” Naina mengerutkan kening.“Iya, Nyonya. Setiap hari minggu, biasanya Tuan Arka memang melakukan olahraga pag
Naina datang ke rumah sakit dengan membawa uang seratus juta yang didapatnya dari Arka. Setelah melunasi biaya pengobatan Raffan bulan ini, Naina segera beranjak menuju ruang rawat adiknya.Duduk di sampingnya dan menatapnya dengan tatapan sendu.“Apa kabar, Raffan. Hari ini kakak datang lagi dan kakak sudah melunasi biaya pengobatanmu bulan ini. Dokter di sini pasti akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhanmu,” ucap Naina, mengusap kening Raffan dan menyunggingkan senyum tipis penuh rindu ke arahnya.Senyum itu sedikit memudar ketika kejadian di kantor tadi kembali berkebatan dalam ingatannya. Naina menghela napas sejenak, melepaskan sedikit beban yang terasa menghimpit di dadanya. Hari-harinya menjadi sangat sulit semenjak Arka hadir dalam kehidupannya.Sementara di ambang pintu, Liana berdiri dengan menatap iba pada punggung Naina. Dia bisa merasakan kesedihan yang dirasakan oleh wanita itu.Menghembuskan napas pelan, Liana mencoba berdeham