Minggu pagi ini, Naina membuatkan sarapan untuk Arka. Hanya setangkup roti panggang dengan ditambahkan selai kacang di atasnya. Lalu segelas air putih hangat. Menu sarapan yang selalu menjadi kesukaan lelaki itu.
Naina menyunggingkan senyum tipis sembari menatap sarapan buatannya yang sudah ia tata sedemikian rupa.
“Sudah siap. Sekarang sarapannya tinggal dihidangkan di atas meja!”
Baru saja Naina mengangkat nampannya, hendak berjalan keluar dapur saat Bik Atin tiba-tiba datang dan bertemu pandang dengannya.
“Nyonya Naina. Syukurlah sarapannya sudah siap. Tuan Arka sudah menanyakan sarapannya dan dia meminta Nyonya segera mengantarnya ke ruang olahraga,” ucap Bik Atin. Ada sedikit raut lega di wajahnya ketika melihat sebuah nampan siap di tangan Naina.
“Ruang olahraga?” Naina mengerutkan kening.
“Iya, Nyonya. Setiap hari minggu, biasanya Tuan Arka memang melakukan olahraga pag
Naina datang ke rumah sakit dengan membawa uang seratus juta yang didapatnya dari Arka. Setelah melunasi biaya pengobatan Raffan bulan ini, Naina segera beranjak menuju ruang rawat adiknya.Duduk di sampingnya dan menatapnya dengan tatapan sendu.“Apa kabar, Raffan. Hari ini kakak datang lagi dan kakak sudah melunasi biaya pengobatanmu bulan ini. Dokter di sini pasti akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhanmu,” ucap Naina, mengusap kening Raffan dan menyunggingkan senyum tipis penuh rindu ke arahnya.Senyum itu sedikit memudar ketika kejadian di kantor tadi kembali berkebatan dalam ingatannya. Naina menghela napas sejenak, melepaskan sedikit beban yang terasa menghimpit di dadanya. Hari-harinya menjadi sangat sulit semenjak Arka hadir dalam kehidupannya.Sementara di ambang pintu, Liana berdiri dengan menatap iba pada punggung Naina. Dia bisa merasakan kesedihan yang dirasakan oleh wanita itu.Menghembuskan napas pelan, Liana mencoba berdeham
Naina sedang duduk di atas sofa kamarnya, ketika Bik Atin datang mengetuk pintu. Naina beranjak membukanya, raut canggung dari wajah tua itu langsung memenuhi indera penglihatannya.“Ada apa, Bik?” tanya Naina, sebelah alisnya terangkat. Bik Atin menunduk, menautkan jemarinya di depan perut.“Maaf, Nyonya Naina. Tuan Arka meminta dibuatkan kopi. Tapi beliau ingin kopi itu dibuat oleh tangan Nyonya sendiri dan harus Nyonya yang mengantarkannya,” ucap Bik Atin memberitahu.Mendengar itu, Naina membuang napas. Benarkah hanya dibuatkan kopi saja? Malam ini Arka tak akan melemparkan hinaan dan semacamnya, bukan?Naina mengangguk, tersenyum dan menutup pintu. Lantas dia beranjak menuju dapur untuk membuatkan kopi pesanan Arka.***Selayaknya pekerja keras, bahkan meski malam sudah larut pun, Arka masih saja sibuk berkutat dengan sisa pekerjaannya yang belum selesai. Karena tak sempat menyelesaikan di kantor, maka Arka mengerjakan
Naina berlari ke kamarnya, membawa serta perasaannya yang hancur karena ucapan Arka.Membuka pintu, Naina langsung mendudukan dirinya di sisi ranjang. Sesaat matanya berkaca-kaca, bibirnya merapat, sedikit bergetar. Setiap untaian kalimat yang terucap dari bibir lelaki itu, terasa menusuknya.Suara panggilan masuk di ponselnya, menarik mata Naina untuk menatap pada benda pipih yang tergeletak di atas nakas itu.“Hallo, Maurin!”“Hallo, Naina. Maaf menganggumu malam-malam. Aku hanya ingin menanyakan soal keadaan Raffan. Kemarin aku tak sempat mengunjunginya di rumah sakit. Tapi aku tahu kau sering ke sana. Apakah Raffan sudah mengalami kemajuan?” tanya Maurin dari seberang telpon.“Kondisi Raffan masih tetap sama. Belum ada kemajuan apapun,” desah Naina.“Naina? Apa yang terjadi, mengapa suaramu terdengar seperti habis menangis? Kau baik-baik saja, ‘kan?”Sua
“Naina, segera ganti pakaianmu dengan pakaian yang rapi dan formal sekarang juga!” Arka menghampiri Naina yang sedang mencuci piring di dapur.Naina sedikit terkejut saat suara Arka terdengar di belakang punggungnya. Dia mematikan keran, lalu menoleh menatap pada lelaki itu yang saat ini sedang menatapnya dengan wajah datar.“Memangnya aku akan ke mana?”“Jangan banyak tanya, ganti saja pakaianmu! Setelah itu ikut denganku. Aku tunggu di dalam mobil.” setelah memerintah, Arka berbalik dan pergi begitu saja.Meninggalkan Naina dengan pertanyaan yang bercokol dalam benaknya.“Ke mana dia akan membawaku?” tapi melihat bagaimana tajamnya tatapan Arka, Naina tak ingin memancing kemarahan lelaki itu.Dia bergegas menyelesaikan cuci piringnya yang tinggal sedikit lagi. Lantas segera masuk kamar dan berganti pakaian sesuai perintah Arka.Naina mengenakan baju terusan berwarna peach, dengan sedikit
Tuan Gwen tak menyadari ada mata tajam yang mengintainya sebab ia terlalu fokus memusatkan perhatiannya pada Naina.Arka pun mendorong kursi ke belakang, lantas bangkit berdiri seraya membenarkan kelepak jasnya. Memancing perhatian Tuan Gwen yang kini menatapnya penuh tanya.Belum sempat Tuan Gwen bertanya akan pergi ke mana Arka, Arka lebih dulu melangkah menjauhi meja mereka, sepasang mata Tuan Gwen masih memperhatikannya. Sedikit membeliak saat ternyata Arka menaiki panggung dan berdiri di samping Naina sambil mengambil alih microfon dan merangkul bahunya. “Terima kasih atas tepuk tangannya! Karena lagunya sudah selesai, maka kami pamit. Sampai jumpa!” ucap Arka sambil mengedarkan pandangan pada pengunjung restoran yang tadi bertepuk tangan untuk Naina.Sementara Naina menatap Arka dengan alis yang bertaut, bingung dengan apa yang Arka lakukan.Tapi sepertinya Arka pun tak memberi Naina kesempata
Pukul empat sore, Naina pergi ke café karena ada janji bertemu dengan Maurin hari ini. Ia tak perlu meminta izin pada Arka, sebab lelaki itu sedang tak ada di rumah. Arka tak memberitahu akan ke mana dia pergi. Naina hanya berpesan pada Bik Atin untuk segera memberitahunya jika Arka sudah pulang.“Sebelum ke sini, tadi aku sempat ke rumah sakit untuk menjenguk Raffan. Dan aku melihat ada buket bunga di samping ranjangnya. Suster di sana mengatakan kalau itu darimu,” ucap Naina pada Maurin yang duduk di seberangnya.Sebuah meja menjadi pembatas di tengah-tengah mereka. Maurin tersenyum kecil, menganggukan kepala.“Ya, itu benar. Aku lah yang membawa bunga itu. Bunga mawar. Dulu saat kita masih kuliah bersama, Raffan pernah bercerita kalau mendiang ibunya adalah penyuka bunga. Terutama bunga mawar. Setiap kali dia mencium aroma bunga mawar, dia selalu teringat dengan ibunya. Aku hanya berinisiatif membawakan bunga itu dengan harapan
“Kau akan pulang dengan menggunakan taksi, Naina?” tanya Maurin, ketika sebuah taksi berhenti tepat di depan mereka.Naina menoleh, lantas tersenyum kecil dan menganggukan kepala. Maurin merasa sedikit heran, mengingat Naina adalah istri dari mendiang Guntur. Seharusnya ada seorang sopir yang bertugas mengantar jemputnya ke mana pun.“Iya. Aku pulang sekarang ya.” Naina pamit lebih dulu, melambaikan tangannya pada Maurin, lalu masuk ke dalam taksi.“Baik, hati-hati.” pada Naina, Maurin bilang ia pun akan segera pulang dan menunggu jemputan teman. Tapi tentu saja ia hanya berbohong.Karena begitu taksi itu melaju dan membawa Naina pergi, Maurin tetap berdiri di depan café dengan melipat kedua tangan di depan dada. Senyum lebar tersungging di wajah cantiknya.***Mobil mewah berwarna hitam metalik milik Arka, terparkir rapi di depan sebuah café ya
“Arka, kau akan membawaku ke mana? Ini bukan jalan pulang menuju rumah.” Naina menatap pada Arka dengan alis yang bertaut, menatap bingung sekaligus takut pada lelaki yang duduk di balik setir itu.Arka tak menjawab. Matanya tajam menatap ke depan, sementara dadanya yang bidang itu tampak naik-turun, seolah menandakan deru napasnya yang makin cepat.Naina tidak mengerti mengapa Arka tiba-tiba menyeretnya ke mobil. Tapi saat Naina menyadari bahwa jalan yang diambil oleh Arka bukan yang mengarah ke rumah, ia pun mulai panik.“Turunkan aku di sini! Aku akan pulang naik taksi saja,” pinta Naina, entah mengapa perasaannya merasa tidak enak.Arka tetap bergeming, tapi ia menambah kecepatan laju mobilnya. Arka tak memperdulikan permintaan Naina agar menurunkannya di pinggir jalan.Saat ini, hawa panas itu sudah semakin menjalar ke tubuhnya, membuat Arka makin gerah. Dan yang lebih membuatnya resah, sesuatu di balik ce