Naina berlari ke kamarnya, membawa serta perasaannya yang hancur karena ucapan Arka.
Membuka pintu, Naina langsung mendudukan dirinya di sisi ranjang. Sesaat matanya berkaca-kaca, bibirnya merapat, sedikit bergetar. Setiap untaian kalimat yang terucap dari bibir lelaki itu, terasa menusuknya.
Suara panggilan masuk di ponselnya, menarik mata Naina untuk menatap pada benda pipih yang tergeletak di atas nakas itu.
“Hallo, Maurin!”
“Hallo, Naina. Maaf menganggumu malam-malam. Aku hanya ingin menanyakan soal keadaan Raffan. Kemarin aku tak sempat mengunjunginya di rumah sakit. Tapi aku tahu kau sering ke sana. Apakah Raffan sudah mengalami kemajuan?” tanya Maurin dari seberang telpon.
“Kondisi Raffan masih tetap sama. Belum ada kemajuan apapun,” desah Naina.
“Naina? Apa yang terjadi, mengapa suaramu terdengar seperti habis menangis? Kau baik-baik saja, ‘kan?”
Sua
“Naina, segera ganti pakaianmu dengan pakaian yang rapi dan formal sekarang juga!” Arka menghampiri Naina yang sedang mencuci piring di dapur.Naina sedikit terkejut saat suara Arka terdengar di belakang punggungnya. Dia mematikan keran, lalu menoleh menatap pada lelaki itu yang saat ini sedang menatapnya dengan wajah datar.“Memangnya aku akan ke mana?”“Jangan banyak tanya, ganti saja pakaianmu! Setelah itu ikut denganku. Aku tunggu di dalam mobil.” setelah memerintah, Arka berbalik dan pergi begitu saja.Meninggalkan Naina dengan pertanyaan yang bercokol dalam benaknya.“Ke mana dia akan membawaku?” tapi melihat bagaimana tajamnya tatapan Arka, Naina tak ingin memancing kemarahan lelaki itu.Dia bergegas menyelesaikan cuci piringnya yang tinggal sedikit lagi. Lantas segera masuk kamar dan berganti pakaian sesuai perintah Arka.Naina mengenakan baju terusan berwarna peach, dengan sedikit
Tuan Gwen tak menyadari ada mata tajam yang mengintainya sebab ia terlalu fokus memusatkan perhatiannya pada Naina.Arka pun mendorong kursi ke belakang, lantas bangkit berdiri seraya membenarkan kelepak jasnya. Memancing perhatian Tuan Gwen yang kini menatapnya penuh tanya.Belum sempat Tuan Gwen bertanya akan pergi ke mana Arka, Arka lebih dulu melangkah menjauhi meja mereka, sepasang mata Tuan Gwen masih memperhatikannya. Sedikit membeliak saat ternyata Arka menaiki panggung dan berdiri di samping Naina sambil mengambil alih microfon dan merangkul bahunya. “Terima kasih atas tepuk tangannya! Karena lagunya sudah selesai, maka kami pamit. Sampai jumpa!” ucap Arka sambil mengedarkan pandangan pada pengunjung restoran yang tadi bertepuk tangan untuk Naina.Sementara Naina menatap Arka dengan alis yang bertaut, bingung dengan apa yang Arka lakukan.Tapi sepertinya Arka pun tak memberi Naina kesempata
Pukul empat sore, Naina pergi ke café karena ada janji bertemu dengan Maurin hari ini. Ia tak perlu meminta izin pada Arka, sebab lelaki itu sedang tak ada di rumah. Arka tak memberitahu akan ke mana dia pergi. Naina hanya berpesan pada Bik Atin untuk segera memberitahunya jika Arka sudah pulang.“Sebelum ke sini, tadi aku sempat ke rumah sakit untuk menjenguk Raffan. Dan aku melihat ada buket bunga di samping ranjangnya. Suster di sana mengatakan kalau itu darimu,” ucap Naina pada Maurin yang duduk di seberangnya.Sebuah meja menjadi pembatas di tengah-tengah mereka. Maurin tersenyum kecil, menganggukan kepala.“Ya, itu benar. Aku lah yang membawa bunga itu. Bunga mawar. Dulu saat kita masih kuliah bersama, Raffan pernah bercerita kalau mendiang ibunya adalah penyuka bunga. Terutama bunga mawar. Setiap kali dia mencium aroma bunga mawar, dia selalu teringat dengan ibunya. Aku hanya berinisiatif membawakan bunga itu dengan harapan
“Kau akan pulang dengan menggunakan taksi, Naina?” tanya Maurin, ketika sebuah taksi berhenti tepat di depan mereka.Naina menoleh, lantas tersenyum kecil dan menganggukan kepala. Maurin merasa sedikit heran, mengingat Naina adalah istri dari mendiang Guntur. Seharusnya ada seorang sopir yang bertugas mengantar jemputnya ke mana pun.“Iya. Aku pulang sekarang ya.” Naina pamit lebih dulu, melambaikan tangannya pada Maurin, lalu masuk ke dalam taksi.“Baik, hati-hati.” pada Naina, Maurin bilang ia pun akan segera pulang dan menunggu jemputan teman. Tapi tentu saja ia hanya berbohong.Karena begitu taksi itu melaju dan membawa Naina pergi, Maurin tetap berdiri di depan café dengan melipat kedua tangan di depan dada. Senyum lebar tersungging di wajah cantiknya.***Mobil mewah berwarna hitam metalik milik Arka, terparkir rapi di depan sebuah café ya
“Arka, kau akan membawaku ke mana? Ini bukan jalan pulang menuju rumah.” Naina menatap pada Arka dengan alis yang bertaut, menatap bingung sekaligus takut pada lelaki yang duduk di balik setir itu.Arka tak menjawab. Matanya tajam menatap ke depan, sementara dadanya yang bidang itu tampak naik-turun, seolah menandakan deru napasnya yang makin cepat.Naina tidak mengerti mengapa Arka tiba-tiba menyeretnya ke mobil. Tapi saat Naina menyadari bahwa jalan yang diambil oleh Arka bukan yang mengarah ke rumah, ia pun mulai panik.“Turunkan aku di sini! Aku akan pulang naik taksi saja,” pinta Naina, entah mengapa perasaannya merasa tidak enak.Arka tetap bergeming, tapi ia menambah kecepatan laju mobilnya. Arka tak memperdulikan permintaan Naina agar menurunkannya di pinggir jalan.Saat ini, hawa panas itu sudah semakin menjalar ke tubuhnya, membuat Arka makin gerah. Dan yang lebih membuatnya resah, sesuatu di balik ce
Ternyata Maurin tak tinggal diam saat melihat Arka menarik Naina ke mobilnya. Maurin langsung pergi dari café itu dan mengikuti ke mana mobil Arka pergi.Saat menyadari mobil itu berhenti di sebuah hotel, Maurin langsung berdecak kesal. Ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.Arka dan Naina, mereka pasti akan tidur bersama.Maka di sini lah Maurin, berdiri di depan teras hotel, sambil meremas kuat tali tas selempangnya. Embusan angin malam membuat rambutnya yang terikat ekor kuda itu bergerak pelan.Tetapi angin malam itu tak mampu membuat sejuk hatinya sama sekali. “Naina, kenapa harus kau? Kenapa? Aku sudah mati-matian menyusun rencana ini agar semuanya berjalan mulus. Tapi akhirnya, Arka malah tidur dengan Naina. Arka milikku, seharusnya malam ini dia tidur denganku.”Maurin mengentakkan sebelah kakinya ke paving, wajahnya sudah memerah. Terlebih saat mendengar informasi dari resepsionis ho
Di kantornya, Arka terlihat gelisah. Meski ia berusaha fokus pada pekerjaannya, namun lagi dan lagi bayangan tubuh indah Naina berkelebat dalam benaknya. Membuat Arka berdecak kesal seraya memijit keningnya."Apa yang kupikirkan? Kenapa kejadian semalam malah mengganggu pikiranku. Bagaimana bisa aku membayangkan tubuh Naina? Ck! Ini sial!"Mendengkus sebal, Arka menyentak bolpoint ke atas meja, menjeda pekerjaannya yang malah membuat berbagai macam pikiran di benaknya makin bergejolak.Arka menepikan punggung, membuang napasnya kasar, kemudian mendongkak menatap pada plafon ruang kerjanya. Matanya menatap lurus, namun benaknya jauh berkelana.Kejadian malam itu membuat Arka ingat dengan bagaimana rasa tubuh Naina.Arka tak memungkiri jika menyentuu Naina begitu membuatnya nikmat, bahkan sampai membuatnya ingin kembali merasakannya lagi. Tubuh Naina serupa candu bagi Arka."Mungkin otakku sudah tidak waras. Tidak seharusnya aku memikirkan tentang a
“Bagaimana, Naina? Kau setuju dengan keputusanku?” tanya Arka, menatap dengan senyum yang tersungging puas.Naina terdiam sejenak, menatap Arka dengan tatapan kesalnya.Rasanya hati kecil Naina menolak dengan keras. Tapi masalahnya, hanya Arka yang bisa memberikannya uang untuk biaya pengobatan Raffan.Maka dari itu, Naina mengangguk samar dan memberikan jawaban.“Ya, aku setuju.” suara itu begitu lirih saat mengatakannya, hingga nyaris tak terdengar.Seketika senyum di bibir Arka makin merekah lebar. Ia tahu kalau Naina takkan bisa melepaskan diri darinya. Wanita itu terikat karena ketidakberdayaan untuk membiayai pengobatan adiknya.“Bagus. Aku senang mendengar persetujuanmu,” kata Arka melipat kedua tangannya di depan dada, bibirnya masih tersenyum penuh kemenangan.Naina memejamkan mata sesaat, menetralkan napasnya yang memburu kesal karena terus direndahkan.“Kalau begitu aku per