“Bagaimana, Naina? Kau setuju dengan keputusanku?” tanya Arka, menatap dengan senyum yang tersungging puas.
Naina terdiam sejenak, menatap Arka dengan tatapan kesalnya. Rasanya hati kecil Naina menolak dengan keras. Tapi masalahnya, hanya Arka yang bisa memberikannya uang untuk biaya pengobatan Raffan. Maka dari itu, Naina mengangguk samar dan memberikan jawaban.“Ya, aku setuju.” suara itu begitu lirih saat mengatakannya, hingga nyaris tak terdengar.Seketika senyum di bibir Arka makin merekah lebar. Ia tahu kalau Naina takkan bisa melepaskan diri darinya. Wanita itu terikat karena ketidakberdayaan untuk membiayai pengobatan adiknya.“Bagus. Aku senang mendengar persetujuanmu,” kata Arka melipat kedua tangannya di depan dada, bibirnya masih tersenyum penuh kemenangan.Naina memejamkan mata sesaat, menetralkan napasnya yang memburu kesal karena terus direndahkan. “Kalau begitu aku perMaurin berdecak kesal sambil melangkahkan kakinya menyusuri koridor rumah sakit. Hari ini ia ada janji bertemu dengan Naina, sekaligus untuk menjenguk Raffan.Dari perbincangan mereka di telpon pagi tadi, Maurin bisa menyimpulkan jika sebenarnya Naina sedang dirundung masalah dan wanita itu butuh teman bicara.“Huh! Kalau saja bukan karena ingin mendapatkan Arka, aku sudah malas bertemu dan bicara dengan Naina.” ingatan tentang malam dimana Arka dan Naina tidur bersama, membuat Maurin merasa muak.Tapi untuk sampai pada tujuannya, tentu ia harus berusaha menampilkan sikap seperti biasa, dan tak menunjukkan ketidaksukaanya pada Naina. Karena Maurin tahu bahwa Naina adalah satu-satunya jalan untuk ia bisa mendekati Arka.Langkah Maurin terhenti tak jauh dari ruang rawat Raffan.Di depan sana, terlihat Naina sedang duduk di kursi besi yang letaknya ada di depan ruang rawat Raffan. Kepalanya menunduk, sambil memainkan kedua jemariny
Malam ini Arka tak bisa tidur, entah kenapa. Matanya sulit terpejam, meski ia telah berusaha menenggelamkan dirinya dalam mimpi. Namun usahanya tetap saja tak membuahkan hasil.Membaca buku bisnis pun percuma, matanya masih saja terjaga, sementara rasa kantuk tak kunjung menyergapnya.Sialnya benaknya malah memikirkan sesuatu yang beberapa waktu ini kerap mengusik otaknya.Sepertinya Arka mulai tidak waras. Lagi dan lagi, rasa nikmat tubuh Naina seakan menggodanya untuk kembali mencecap rasa itu."Aarghh. Ya Tuhan, akuu hanya ingin tidur, mengapa rasanya sulit sekali," rutuk Arka sambil menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, ia beringsut duduk, lalu mengacak rambut dengan kesal."Padahal aku sudah melakukan segala cara agar bisa tidur. Besok ada meeting pagi di kantor. Ini sial! Jika seperti ini terus, aku bisa gila," lanjut Arka mendengkus kesal.Jangan sampai besok pagi ia mengantuk di saat meeting. Itu bisa merus
Minggu ini, Arka sedang mengerjakan sisa pekerjaannya di rumah.Sambil duduk di sofa ruang tengah, matanya fokus menatap pada layar laptop di hadapannya. Jemarinya asyik menari di atas keyboard, sementara di depan sana, layar televisi menyala, menampilkan gambar-gambar yang bergerak tanpa suara.Tadi Arka menyalakan televisi, tapi sekarang ia mematikan volumenya agar tak membuat fokusnya terganggu.Sampai suara bel terdengar mendenting di telinga."Bik Atin! Coba lihat siapa yang datang, Bik!" Arka sedikit berteriak memanggil Bik Atin.Dengan langkah tergopoh-gopoh, Bik Atin berjalan dari arah dapur menuju ke ruang tamu.Tak berselang lama, Bik Atin kembali. Tetapi kali ini tangannya memegang sebuah buket bunga. Hal itu tentu memancing perhatian Arka."Siapa yang datang, Bik?" Arka bertanya."Tukang bunga, Tuan. Katanya ada buket bunga untuk Nyonya Naina," jawab pembantu itu.Arka mengerutka
Sepertinya, Deni adalah yang paling penasaran akan sosok Naina. Terbukti, sejak tadi matanya tak bisa fokus, terus saja melirik ke arah pintu dapur.Sementara benaknya seperti sedang merangkai sesuatu. Jemarinya bergerak gelisah di atas paha.Sampai sebuah ide terlintas di atas kepalanya."Engh … Arka, boleh aku menumpang ke toilet?" tanya Deni, membuat mata Arka menoleh padanya.Arka mengangguk tanpa curiga. "Tentu saja. Toiletnya ada di sebelah sana. Jika kau tidak tahu, bisa tanyakan saja pada pembantuku."Senyum lebar langsung tercetak di wajah Deni. Ini adalah kesempatan besar untuknya. Entah kenapa wajah natural dari wanita sederhana itu membuatnya sangat penasaran akan sosoknya.Padahal Deni bukanlah lelaki yang minim pengalaman tentang wanita. Banyak wanita yang rela menghangatkan ranjangnya demi uang. Dan Deni tak akan terlalu memperhatikan mereka, ia hanya ingin mendapat kepuasan, lalu memberika
Arka meninggalkan dapur, bertepatan ketika Bik Atin masuk ke dapur, matanya langsung tertuju pada Naina yang berdiri sambil memegangi baju bagian atasnya.Ternyata, tadi Deni sempat menarik bagian atas baju yang Naina kenakan. Hingga dua kancing atasnya lepas.“Nyonya Naina! Nyonya tidak apa-apa?” tanya pembantu tua itu, raut khawatir jelas tergambar di wajahnya.Dia menghampiri Naina, meneliti tubuh Naina dari atas ke bawah, mungkin ingin memastikan bahwa majikannya itu tak terluka.“Maaf, Nyonya. Apa yang terjadi, Nyonya? Tadi saya sedang membersihkan kamar tamu di atas. Tapi tiba-tiba mendengar suara ribut di dapur, jadi saya langsung ke sini. Apa mereka menyakiti Nyonya?” tanya Bik Atin lagi.Letak kamar tamu memang tepat di atas dapur, pantas jika Bik Atin mendengar suara teriakan Arka dan Deni saat berkelahi. Naina menggeleng pelan, lalu tersenyum hambar. Entah bagaimana menjelaskannya, tidak mungkin ia
Setelah mendapatkan gaun dan jas yang dicarinya, Arka dan Naina memutuskan untuk pulang ke rumah.Akan tetapi, saat perjalanan pulang, mobil itu tiba-tiba saja mogok, membuat Arka berdecak kesal seraya memukul pelan setirnya.“Sial! Pak Min pasti lupa servis mobil ini. Tahu begini, seharusnya aku tadi membawa mobil yang lain saja,” dengkusnya.Naina menoleh, melihat ke arah Arka yang menggerutu memarahi sopirnya.“Kurasa tidak ada gunanya kau marah-marah. Akan lebih baik jika kau membawa mobil ini ke bengkel. Di depan sana ada sebuah bengkel. Nanti mereka akan mengatasi masalah mobilmu,” ucap Naina, mengusulkan.Arka balas menoleh, mengernyitkan alis. “Darimana kau tahu kalau ada bengkel di sekitar sini?” tanya Arka, curiga.Namun sebelah Naina menjawab, Arka segera membuka safety beltnya dan turun dari mobil. Kemudian Arka berjalan ke depan sana, mungkin untuk meminta orang-orang bengkel agar memperbaiki mobiln
Naina memicingkan mata. Ia merasa heran, mengapa cara berpikir Arka sepicik itu.“Apakah kau tidak bosan, selalu berpikiran buruk tentangku?” tanya Naina mengerutkan keningnya pada Arka.Sambil berusaha tetap fokus menyetir, Arka tersenyum kecut.“Aku hanya akan berpikir sesuai dengan apa yang kulihat,” jawab Arka, yang membuat Naina menggeleng pelan.Naina tidak tahu harus bagaimana menjelaskan pada lelaki itu tentang Ammar. Karena ketika ia mengatakan yang sebenarnya pun, Arka tetap menepis penjelasannya.“Aku juga melihatmu seperti sangat nyaman saat bicara dengannya. Kau banyak tersenyum dan tertawa, sampai lupa bahwa ada seseorang yang menunggumu di dalam mobil. Sejak kapan kau dekat dengan lelaki itu? Sejak kapan kalian mulai menjalin hubungan? Apakah sejak ayahku masih hidup?” tanya Arka, mengangkat sebelah ujung bibirnya pada Naina, tersenyum miring.“Arka! Hentikan! Mengapa kau selalu mengatakan s
Mobil hitam itu baru saja berhenti di depan teras.Tanpa menunggu sopir mendekat dan membukakan pintu, Naina lebih dulu membuka safety belt dan turun dari mobil.Arka memperhatikan bagaimana Naina berlari memasuki rumah, sambil mengusap sudut air di matanya. Bekas tangis yang diakibatkan oleh dirinya."Selamat malam, Tuan Arka!" sopir menyapa dengan sedikit membungkukan bahu ketika Arka turun dari mobilnya."Malam, Pak Sardi." Arka membalas tanpa memberikan senyum sedikit pun. Lalu ia melangkah menapaki teras dan bergerak memasuki rumah megah itu.Saat akan melangkah menuju tangga, sesaat Arka menghentikan langkahnya. Demi menoleh ke samping, dimana pintu kamar Naina berada.Dari dalam sana, terdengar suara terisak yang begitu lirih. Mencubit ulu hatinya, hingga begitu saja rasa sesal menyelinap ke dalam dada.Arka menggeleng, berusaha abai dengan suara terisak yang mengusik indera pendengaran, kemudian mel