Naina memicingkan mata. Ia merasa heran, mengapa cara berpikir Arka sepicik itu.
“Apakah kau tidak bosan, selalu berpikiran buruk tentangku?” tanya Naina mengerutkan keningnya pada Arka.Sambil berusaha tetap fokus menyetir, Arka tersenyum kecut.“Aku hanya akan berpikir sesuai dengan apa yang kulihat,” jawab Arka, yang membuat Naina menggeleng pelan.Naina tidak tahu harus bagaimana menjelaskan pada lelaki itu tentang Ammar. Karena ketika ia mengatakan yang sebenarnya pun, Arka tetap menepis penjelasannya.“Aku juga melihatmu seperti sangat nyaman saat bicara dengannya. Kau banyak tersenyum dan tertawa, sampai lupa bahwa ada seseorang yang menunggumu di dalam mobil. Sejak kapan kau dekat dengan lelaki itu? Sejak kapan kalian mulai menjalin hubungan? Apakah sejak ayahku masih hidup?” tanya Arka, mengangkat sebelah ujung bibirnya pada Naina, tersenyum miring.“Arka! Hentikan! Mengapa kau selalu mengatakan sMobil hitam itu baru saja berhenti di depan teras.Tanpa menunggu sopir mendekat dan membukakan pintu, Naina lebih dulu membuka safety belt dan turun dari mobil.Arka memperhatikan bagaimana Naina berlari memasuki rumah, sambil mengusap sudut air di matanya. Bekas tangis yang diakibatkan oleh dirinya."Selamat malam, Tuan Arka!" sopir menyapa dengan sedikit membungkukan bahu ketika Arka turun dari mobilnya."Malam, Pak Sardi." Arka membalas tanpa memberikan senyum sedikit pun. Lalu ia melangkah menapaki teras dan bergerak memasuki rumah megah itu.Saat akan melangkah menuju tangga, sesaat Arka menghentikan langkahnya. Demi menoleh ke samping, dimana pintu kamar Naina berada.Dari dalam sana, terdengar suara terisak yang begitu lirih. Mencubit ulu hatinya, hingga begitu saja rasa sesal menyelinap ke dalam dada.Arka menggeleng, berusaha abai dengan suara terisak yang mengusik indera pendengaran, kemudian mel
Pagi ini, Naina sedang membereskan tempat tidurnya. Ia baru saja selesai mandi dan berpakaian. Sebuah baju terusan berwarna peach dengan motif bunga-bunga, membuat kesan anggun penampilannya.Ketika tangan Naina sibuk menepuk-nepuk bantal, terdengar suara dering ponsel yang mengusik telinga. Naina menoleh pada benda pipih yang tergeletak di atas nakas itu lalu meraihnya.“Ammar?” Naina berseru melihat nama Ammar yang terpampang di layar. Tanpa ragu lagi, Naina menerima panggilan itu dan duduk di tepi ranjang sambil menempelkan ponselnya ke telinga.“Hallo, Ammar?”“Hai, Naina. Enghh … maaf sudah mengganggumu pagi-pagi.”Naina tersenyum kecil.“Tidak, kau tidak menggangguku. Ada apa, Ammar?” tanya Naina, yang ingin tahu apa yang hendak disampaikan oleh Ammar.“Tidak ada, sebenarnya aku hanya sedang ingin mendengar suaramu,” kata Ammar dari seberang telpon.Ucapannya itu so
Pagi ini, Naina datang ke rumah sakit untuk melihat keadaan Raffan. Maurin pun ikut bersamanya karena ia mengatakan ingin menemani Naina.Setelah sampai di ruang rawat Raffan, ternyata tubuh Raffan sedang dilap oleh seorang suster.Mereka berdua pun diam dan memperhatikan, menunggu sampai suster itu selesai membersihkan tubuh Raffan.Mata Naina menatap sendu pada wajah terpejam adiknya.“Andai dibolehkan, rasanya Kakak ingin mengelap tubuhmu dengan tangan Kakak sendiri, Raffan,” desah Naina dalam hati.Tapi Naina mengerjap saat melihat suster itu berbalik menatapnya.“Apakah sudah selesai, Sus?”“Sudah, Nyonya. Anda ingin menjenguk Tuan Raffan?” suster itu bertanya dengan ramah.Dan Naina mengangguk cepat.“Kalau begitu, saya permisi.”“Terima kasih, Suster.”Suster itu menjawab ucapan Naina dengan senyum dan anggukan pelan, lantas ia berla
Karena berkelahi, Maurin dan Liana pun dibawa ke pos keamanan. Keduanya duduk saling berhadapan di bangku plastik.Sampai detik ini pun, mereka masih menatap dengan sorot permusuhan.“Jadi, di antara kalian berdua, tidak ada satu pun yang mau meminta maaf?” tanya satpam yang menjaga di pos itu, menatap bergantian pada Liana dan Maurin.“Tidak. Aku tidak mau meminta maaf pada nenek lampir seperti dia!” Liana berkata sinis.Maurin mengangkat bahu seraya berpangku tangan.“Aku juga tidak sudi meminta maaf pada wanita manja seperti dia,” cetus Maurin tak mau kalah.Lalu mereka kembali saling mencibir, membuat satpam itu menggaruk kepalanya, bingung.Di saat yang sama, sebuah mobil yang cukup mewah, terparkir di dekat pos satpam.Liana langsung sumringah saat melihat siapa yang datang. Dia adalah Rustam, yang secara kebetulan sedang mengunjungi rumah sakit itu. Namun, ia menghentikan mobil saat melihat Lian
Liana melangkah menuruni anak tangga, di bawah sana, ia melihat Rustam sudah duduk di balik meja makan sambil menatapnya.Kali ini tatapan ayahnya sangat tajam, seolah menyiratkan kemarahan.“Duduk Liana!” perintah Rustam.Liana hanya mendesah pelan dan sedikit mempercepat langkahnya lalu menarik kursi dan duduk di seberang Rustam.Tetapi Liana menundukan kepala, enggan melihat wajah ayahnya. Ia pun sedang kesal pada Rustam karena Rustam lebih percaya dengan ucapan Maurin.“Papa sudah putuskan agar kau ditemani oleh sopir ke mana pun kau pergi. Dan sopir itu sudah Papa tugaskan untuk mengawasimu. Papa tidak akan mengizinkanmu datang ke rumah sakit itu lagi untuk menemui Raffan. Jika kau sampai mencoba menjenguknya, sopir Papa akan langsung memberitahu Papa,” jelas Rustam yang seketika membuat Liana mengangkat kepala menatapnya.“Apa? Jadi Papa menyuruh orang untuk mengawasiku? Pa, aku merasa seperti tahanan, jik
Arka baru saja pulang dari kantor. Seorang sopir membantu membukakan pintu mobil.Tanpa kata, Arka turun dan melangkah begitu saja melewati pintu utama.Langkahnya terhenti di ruang tengah. Sosok Aina telah menyita perhatiannya.Wanita itu sedang berdiri memunggunginya, sementara kedua tangannya sibuk menata masakan di atas meja makan.Aroma sup ayam langsung menggoda indera penciuman Arka. Tapi mata Arka terpaku pada pinggul Naina, lalu pada kaki jenjangnya.Sialnya, sekarang pikiran liar sudah menggeliat di dalam otaknya.Tubuh Naina yang mengenakan terusan berwarna biru muda itu, mampu membangkitkan sesuatu yang bersembunyi di balik celananya."Arka, kau sudah pulang? Enghh ... sejak kapan kau berdiri di sana?" saat berbalik ke belakang, Naina terkejut melihat Arka.Arka balas menatap datar. Hati kecilnya sedikit terpana melihat Naina yang malam ini kelihatan berbeda.Mungkin karena
Besoknya, Naina terbangun dan ia sudah tak melihat Arka di samping ranjangnya. Ia hanya sendirian di sana.Dan Arka? Mungkin lelaki itu sudah kembali ke kamarnya beberapa jam yang lalu.Naina beringsut duduk, merapatkan selimutnya ke dada. Menatap nanar pada bajunya yang telah tercecer di lantai. Ada sedikit robekan di baju itu, bekas pembelaan Naina yang berakhir dalam kesia-siaan.Karena untuk yang kesekian kali, Arka merenggut kehormatannya kembali."Mengapa dia kembali melakukan ini? Mengapa dia kembali menyentuhku?" bisik Naina lirih.Matanya berkaca-kaca, merasakan pedih yang amat dalam di hatinya.Semalam Arka memaksanya lagi, bedanya kali ini ia melakukannya dalam keadaan sadar dan tak terpengaruh obat apa pun.Saat Naina tenggelam dalam tangis, ponselnya yang berada di atas kasur pun berdering.Segera Naina mengusap pipinya yang basah dan meraih ponsel itu untuk melihatnya."L
Di ruang kerjanya, Ammar memegangi cermin yang berukuran sedang, mengamati parasnya yang cukup tampan. Lalu tersenyum saat merasa tidak ada yang buruk dengan penampilannya.“Baru kali ini aku membuat rambutku klimis dan mencukur semua bulu di rahangku sampai habis, hanya demi membuatnya sedikit terkesan. Haah … kadang cinta memang membuat gila, Ammar,” gumamnya lalu kembali tersenyum lebar pada pantulan wajahnya di cermin itu.Merasa sudah puas dengan penampilannya, Ammar menaruh cermin itu ke meja, lalu meraih kacamata dan memakainya.Tak lupa ia membawa dompet dan ponsel saat akan meninggalkan ruang kerjanya.Namun, ketika langkahnya bergerak melewati sekumpulan para pekerjanya, suara siul mereka membuat Ammar mendelik sebal.“Ekhem … sepertinya, ada yang sedang jatuh cinta,” ucap salah seorang pegawai Ammar, lalu menyikut pegawai lain yang sedang memperbaiki mesin mobil.Saat ini, semua mata tertuju pada Am
Sepulang dari rumah Pak Sardi, entah mengapa ada perasaan hangat yang perlahan menyelinap ke dalam hati Naina.Naina menyunggingkan senyum tipis membayangkan bahwa Arka telah menyediakan tempat usaha untuk lelaki setengah baya itu, juga uang yang cukup banyak sebagai tanda jasanya yang telah mengabdi selama puluhan tahun di keluarga Arka.“Aku tidak tahu kalau ternyata di balik sifatnya yang sesuka hati, Arka masih memiliki sisi baik dalam dirinya,” gumam Naina sambil mengaduk sup yang sedang ia masak.Naina memang sedang di dapur, menyiapkan makan malam untuk Arka. Ini sudah pukul tujuh malam. Masih ada waktu sampai Arka pulang dari kantor.Akan tetapi, saat Naina masih sibuk mengaduk supnya yang mengepulkan uap panas, tiba-tiba tangan kekar seseorang terasa memeluknya dari belakang. Membuat Naina terhenyak dan menoleh ke belakang.“Arka?!” pekik Naina melebarkan mata, ia tak menyangka jika Arka ternyata pulang lebih cepat
Sampai detik ini, Naina masih merasa bersalah atas apa yang menimpa Pak Sardi.Sambil melamun, Naina membereskan kamar Arka."Kasihan, Pak Sardi. Aku merasa tidak punya wajah saat bertemh dengannya nanti. Tapi bagaimana pun aku harus datang ke rumahnya dan meminta maaf. Karena aku lah penyebab mengapa Arka memecatnya." Naina mendesah pelan, sambil membereskan ranjang kamar Arka dan menepuk-nepuk bantalnya hingga menggembung.Namun, di saat yang sama, Naina menemukan sebuah benda yang berada di bawah bantal.Keningnya berkerut menatap pada benda itu yang tak lain adalah sebuah bingkai foto."Ini 'kan foto Pak Guntur." Naina meraihnya, sejenak menghentikan kegiatannya merapikan ranjang Arka.Kini ia sibuk memandangi foto Guntur yang ditemukannya.Perlahan, seulas bibir Naina mengukir senyum."Apa semalam Arka merindukan ayahnya hingga ia tidur dengan memeluk foto Pak Guntur?" gumam Naina sambil manik matanya masih menatap pada foto mendian
Hari ini Naina merasa ada yang aneh. Tadi pagi ia sempat keluar rumah sebentar untuk menyiram tanaman. Akan tetapi, ia tak melihat Pak Sardi.Padahal biasanya setiap pagi lelaki setengah baya itu selalu duduk di dekat garasi, atau sedang meminum kopi dan akan menyapa Naina saat mata mereka berpapasan.Tapi hari ini, Naina tak melihat batang hidung Pak Sardi. “Nyonya, mengapa melamun?” tepukan pelan Bik Atin di pundak kirinya membuat Naina terhenyak dan mengerjap menatapnya.“Ah, tidak Bik. Tidak apa-apa.” Naina menggeleng, kemudian tersenyum kecil.Tapi ia tak bisa menahan rasa penasarannya untuk tak bertanya pada Bik Atin yang kini kembali menyibukkan diri mencuci sayuran.“Bik, mengapa aku tidak melihat Pak Sardi pagi ini ya? Apa hari ini Pak Sardi tidak bekerja?” tanya Naina dengan raut penasaran menatap Bik Atin.Pertanyaan Naina itu berhasil membuat Bik Atin menghentikan gerakannya mencuci sayuran. Bi
Dalam perjalanan pulang menuju rumahnya, Arka melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Darahnya mendidih saat benaknya kembali teringat pada video yang tadi Rustam tunjukan padanya.rka meremas setir dengan kuat, rahangnya yang tegas itu kini merapat. Bahkan urat-urat lehernya pun bertonjolan, menampilkan emosi yang meluap-luap.“Lihat saja, Naina. Lihat. Apa yang akan kulakukan padamu nanti setelah aku sampai rumah.” Arka mengepalkan sebelah tangannya di atas paha, menarik napas panjang kemudian menghembuskannya dengan kasar.“Sopir itu juga harus mendapatkan balasannya. Beraninya dia tak menjalankan perintahku dengan benar.” Arka masih menggerutu sepanjang jalan, ia mempercepat laju mobilnya, menyalip kendaraan-kendaraah roda empat yang merambat di depan sana.Sampai kemudian ia tiba di depan gerbang rumahnya yang berwarna hitam dan kokoh. Satpam langsung membukakan pintu, membiarkan mobil Arka masuk ke dalam.“Selamat m
Meski telah mengatakan pada Rustam agar tak ikut campur dalam urusannya, tapi Arka tak memungkiri bahwa setelah melihat video itu ia sangat geram. Sekarang sudah waktunya jam makan siang. Namun Arka tak berniat untuk keluar dari ruang kerjanya sedikit pun. Ia lebih memilih menetralkan amarahnya di balik meja kerjanya. Sambil menatap tajam ke depan sana dengan bola mata yang menggelap karena amarah.“Naina, kau berani bermain-main denganku. Lihat saja akibat apa yang akan kau dapatkan karena berani bertemu dengannya di belakangku,” gumam Arka sambil menautkan kedua tangannya di bawah dagu.***Di jam makan siang, biasanya Maurin makan siang di pantry yang khusus untuk para pekerja di lantai atas.api karena hari ini Maurin sudah janji bertemu dengan teman-temannya dulu ketika ia masih menjadi karyawan biasa, maka Maurin pun memutuskan untuk makan siang di kantin perusahaan dan bergabung dengan mereka.Ada sekitar empat oran
Arka baru saja selesai meeting. Ia melangkah keluar dari ruang meeting, dan berjalan menuju lift untuk naik ke ruang kerja CEO.Akan tetapi, Rustam yang juga ikut meeting, segera mempercepat langkah dan menyusul Arka dari belakang.Sampai kemudian ia bisa menyentuh pundak kanan Arka dan membuat Arka menghentikan langkah sejenak lalu menatapnya dengan kening yang berkerut.“Paman?” “Arka, kita ke ruang kerjamu sekarang. Ada sesuatu yang ingin Paman beritahukan padamu.” Rustam berkata, wajahnya terlihat begitu serius.Hingga menubuhkan kernyitan di kening Arka. Benak Arka menebak-nebak tentang apa yang ingin dikatakan oleh pamannya itu.“Sepenting apa?” Arka cukup sibuk hari ini, tentu jika apa yang hendak dikatakan Rustam tidaklah penting, lebih baik Arka mengerjakan pekerjaannya.“Ini sangat penting. Kau harus mengertahuinya.” namun wajah Rustam masih terlihat serius, membuat Arka mengang
Sepulang dari rumah sakit, Ammar memutuskan untuk mengajak Naina makan siang di sebuah restoran yang jaraknya tak jauh dari rumah sakit.“Restorannya bagus,” komentar Naina sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling, saat mereka jalan bersisian mencari meja yang kosong dan nyaman.“Kau belum pernah ke sini?” tanya Ammar, membuat Naina menoleh dan menggeleng sebagai jawaban.“Belum.”“Kebetulan sekali. Berarti sangat tepat aku mengajakmu kemari. Karena menu di restoran ini rasanya sangat enak.” Ammar menyunggingkan senyum lebar.Sebenarnya Naina merasa tidak enak hati dengan Pak Sardi karena ia pergi diam-diam bersama Ammar untuk makan siang. Tadinya Naina mau menolak ajakan Ammar, tapi Ammar membujuknya dan menatapnya dengan sorot memohon.Naina akhirnya setuju juga. Selain karena letak restorannya juga tak jauh dari rumah sakit dan Ammar berjanji akan mengantarnya kembali ke rumah sakit karena Pak Sar
Maurin akan mengantarkan laporan ke ruang kerja Arka. Ia pun mengetuk pintu sebanyak tiga kali, setelahnya terdengar sahutan dari dalam.Maurin mendorong daun pintu dan melangkah masuk. Akan tetapi, gerakan kakinya terhenti sejenak saat melihat pemandangan di depannya.Maurin meneguk ludahnya susah payah. Naina dan Arka sedang duduk di sofa panjang yang ada di pojok ruangan, tapi dengan keadaan kemeja Arka yang sedikit kusut, juga rambut Naina yang tampak tak serapi sebelumnya.Bahkan sekilas Maurin melihat lipstick Naina yang agak berantakan, sebelum Naina cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain.“Kenapa, Maurin?” pertanyaan Arka membuyarkan lamunan Maurin.Maurin menahan kesal di dalam hati, semua yang terlihat saat ini cukup menguatkan kecurigaannya. Seketika cemburu makin menguasai dirinya.Meski begitu, Maurin tetap menampilkan wajah biasa saja, seakan tak mengerti apa-apa.“Maaf, Pak Presdir. Aku ingin mengan
Selama perjalanan menuju ke kantor, Naina merasa resah dalam hatinya. Bertanya-tanya tentang apa yang akan Arka lakukan kali ini?Naina melamun sembari membuang pandangan ke kaca mobil, menatap pada pohon-pohon tinggi yang berjejer dan menjulang di pinggir jalan.Tanpa sadar, mobil pun berhenti di depan loby perusahaan Arka.“Maaf, Nyonya. Kita sudah sampai,” ucap sopir membuyarkan Naina dari lamunannya.Mengerjap pelan, Naina kemudian menatap pada Pak Sardi lantas menganggukan kepala.“Iya, Pak. Terima kasih.” Naina pun turun saat Pak Sardi membukakan pintu untuknya.Kini tungkai yang jenjang dan mulus itu menginjak teras depan kantor Arka yang terlihat megah.Naina sempat memberikan senyum kecil pada kedua security yang berdiri di depan dan menyapanya dengan ramah. Sebelum kemudian Naina mengayun langkah memasuki perusahaan itu.Naina menaiki lift untuk sampai di lantai atas, tempat di mana ruang ker