Karena berkelahi, Maurin dan Liana pun dibawa ke pos keamanan. Keduanya duduk saling berhadapan di bangku plastik.
Sampai detik ini pun, mereka masih menatap dengan sorot permusuhan.“Jadi, di antara kalian berdua, tidak ada satu pun yang mau meminta maaf?” tanya satpam yang menjaga di pos itu, menatap bergantian pada Liana dan Maurin.“Tidak. Aku tidak mau meminta maaf pada nenek lampir seperti dia!” Liana berkata sinis.Maurin mengangkat bahu seraya berpangku tangan.“Aku juga tidak sudi meminta maaf pada wanita manja seperti dia,” cetus Maurin tak mau kalah.Lalu mereka kembali saling mencibir, membuat satpam itu menggaruk kepalanya, bingung.Di saat yang sama, sebuah mobil yang cukup mewah, terparkir di dekat pos satpam.Liana langsung sumringah saat melihat siapa yang datang. Dia adalah Rustam, yang secara kebetulan sedang mengunjungi rumah sakit itu. Namun, ia menghentikan mobil saat melihat LianLiana melangkah menuruni anak tangga, di bawah sana, ia melihat Rustam sudah duduk di balik meja makan sambil menatapnya.Kali ini tatapan ayahnya sangat tajam, seolah menyiratkan kemarahan.“Duduk Liana!” perintah Rustam.Liana hanya mendesah pelan dan sedikit mempercepat langkahnya lalu menarik kursi dan duduk di seberang Rustam.Tetapi Liana menundukan kepala, enggan melihat wajah ayahnya. Ia pun sedang kesal pada Rustam karena Rustam lebih percaya dengan ucapan Maurin.“Papa sudah putuskan agar kau ditemani oleh sopir ke mana pun kau pergi. Dan sopir itu sudah Papa tugaskan untuk mengawasimu. Papa tidak akan mengizinkanmu datang ke rumah sakit itu lagi untuk menemui Raffan. Jika kau sampai mencoba menjenguknya, sopir Papa akan langsung memberitahu Papa,” jelas Rustam yang seketika membuat Liana mengangkat kepala menatapnya.“Apa? Jadi Papa menyuruh orang untuk mengawasiku? Pa, aku merasa seperti tahanan, jik
Arka baru saja pulang dari kantor. Seorang sopir membantu membukakan pintu mobil.Tanpa kata, Arka turun dan melangkah begitu saja melewati pintu utama.Langkahnya terhenti di ruang tengah. Sosok Aina telah menyita perhatiannya.Wanita itu sedang berdiri memunggunginya, sementara kedua tangannya sibuk menata masakan di atas meja makan.Aroma sup ayam langsung menggoda indera penciuman Arka. Tapi mata Arka terpaku pada pinggul Naina, lalu pada kaki jenjangnya.Sialnya, sekarang pikiran liar sudah menggeliat di dalam otaknya.Tubuh Naina yang mengenakan terusan berwarna biru muda itu, mampu membangkitkan sesuatu yang bersembunyi di balik celananya."Arka, kau sudah pulang? Enghh ... sejak kapan kau berdiri di sana?" saat berbalik ke belakang, Naina terkejut melihat Arka.Arka balas menatap datar. Hati kecilnya sedikit terpana melihat Naina yang malam ini kelihatan berbeda.Mungkin karena
Besoknya, Naina terbangun dan ia sudah tak melihat Arka di samping ranjangnya. Ia hanya sendirian di sana.Dan Arka? Mungkin lelaki itu sudah kembali ke kamarnya beberapa jam yang lalu.Naina beringsut duduk, merapatkan selimutnya ke dada. Menatap nanar pada bajunya yang telah tercecer di lantai. Ada sedikit robekan di baju itu, bekas pembelaan Naina yang berakhir dalam kesia-siaan.Karena untuk yang kesekian kali, Arka merenggut kehormatannya kembali."Mengapa dia kembali melakukan ini? Mengapa dia kembali menyentuhku?" bisik Naina lirih.Matanya berkaca-kaca, merasakan pedih yang amat dalam di hatinya.Semalam Arka memaksanya lagi, bedanya kali ini ia melakukannya dalam keadaan sadar dan tak terpengaruh obat apa pun.Saat Naina tenggelam dalam tangis, ponselnya yang berada di atas kasur pun berdering.Segera Naina mengusap pipinya yang basah dan meraih ponsel itu untuk melihatnya."L
Di ruang kerjanya, Ammar memegangi cermin yang berukuran sedang, mengamati parasnya yang cukup tampan. Lalu tersenyum saat merasa tidak ada yang buruk dengan penampilannya.“Baru kali ini aku membuat rambutku klimis dan mencukur semua bulu di rahangku sampai habis, hanya demi membuatnya sedikit terkesan. Haah … kadang cinta memang membuat gila, Ammar,” gumamnya lalu kembali tersenyum lebar pada pantulan wajahnya di cermin itu.Merasa sudah puas dengan penampilannya, Ammar menaruh cermin itu ke meja, lalu meraih kacamata dan memakainya.Tak lupa ia membawa dompet dan ponsel saat akan meninggalkan ruang kerjanya.Namun, ketika langkahnya bergerak melewati sekumpulan para pekerjanya, suara siul mereka membuat Ammar mendelik sebal.“Ekhem … sepertinya, ada yang sedang jatuh cinta,” ucap salah seorang pegawai Ammar, lalu menyikut pegawai lain yang sedang memperbaiki mesin mobil.Saat ini, semua mata tertuju pada Am
Mobil Ammar tiba di parkiran sebuah taman yang cukup luas di kota Jakarta.Bersikap seperti seorang lelaki yang gentle, Ammar turun lebih dulu untuk kemudian membukakan pintu untuk Naina.“Silakan turun, tuan putri!” ucap Ammar, yang memancing senyum manis di bibir Naina.“Jangan berlebihan, Ammar! Bercandamu tidak lucu!” Naina mendelik, tapi bibirnya tetap tersenyum.Dan Ammar tak peduli. Ia memang menyukai senyum itu.Bahkan bisa dibilang, senyum Naina adalah salah satu favoritnya di dunia ini.“Taman ini sudah mengalami banyak perubahan.” Naina berkomentar, ketika langkahnya terhenti di pintu masuk taman kota yang di sekitarnya banyak ditumbuhi pohon dan beraneka macam bunga.Ammar berdiri di samping Naina, membenamkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lantas mengangguk setuju.“Ya, taman ini banyak berubah. Menjadi lebih cantik.” ketika mengucapkan kata ‘cantik’, entah m
Setelah itu, Ambar kembali berterima kasih pada Arka dan menarik dirinya berlalu keluar dari ruangan itu.Namun, seperginya Ambar, Arka mengusap wajah dengan sebelah tangan dan mengacak rambutnya pelan.“Jika hari ini hari terakhir Ambar bekerja, itu artinya aku harus mencari sekretaris baru. Akan membutuhkan waktu lama jika mencari sekretaris dengan cara membuka lowongan. Aku harus mencari cara lain yang lebih cepat,” gumam Arka memijit keningnya sambil berpikir.Kemudian sebuah ide terlintas di kepala, Arka menyipitkan mata.“Paman Rustam pasti bisa membantuku. Mengapa tidak kuminta dia untuk mencarikan karyawan wanita yang cerdas dan berpenampilan menarik untuk dinaikan jabatan menjadi sekretaris. Agar aku bisa mendapat pengganti Ambar,” lanjut Arka bergumam sambil mengangguk-anggukan kepala.***“Baiklah, nanti akan kucoba carikan karyawan wanita seperti yang kau minta. Tentu saja yang kerjanya cekatan seper
“Apa, Arka baru saja mengangkatmu menjadi sekretarisnya?” tanya Naina yang berbicara dengan Maurin melalui sambungan telpon.“Ya, dia baru saja menaikan jabatanku. Sekretaris yang dulu, mengundurkan diri karena hamil. Arka membutuhkan sekretaris pengganti lebih cepat, jadi dia tidak membuka lowongan baru,” ucap Maurin dari seberang telpon.“Itu bagus. Kau memang cerdas, Maurin. Aku senang mendengar kabar baik ini. Selamat untuk naiknya jabatanmu. Besok kau sudah bekerja sebagai sekretarisnya Arka.” Naina menyunggingkan senyum tulus yang tak dibuat-buat.Senyum itu berasal dari dalam hatinya.“Terima kasih, Naina. Oh ya, apakah Arka sudah pulang?” tanya Maurin.Naina yang duduk di tepi ranjangnya pun menoleh ke arah jendela. Ia belum mendengar suara deru mobil yang berhenti di pelataran rumah. Itu artinya, Arka belum pulang dari kantor.“Mungkin sebentar lagi. Aku baru saja selesai menyiapkan makan ma
“Selamat pagi, Pak Presdir!” sapanya dengan senyum manis, menatap Arka yang setiap hari selalu terlihat menawan.“Pagi!” namun Maurin terhenyak dengan mulut yang sedikit terbuka, ketika Arka hanya membalas sapaannya dengan singkat. Bahkan tak sedikit pun lelaki itu menoleh ke arahnya.“Apa? Aku sudah mati-matian mengubah penampilanku hanya untuk menarik perhatiannya. Tapi sikapnya malah seperti itu?” Maurin berdecik kesal setelah pintu ruang CEO menutup di hadapannya.Ia memanyunkan bibir dan meremas tangan di atas meja.Kemudian menghela napas untuk menenangkan dirinya sendiri. “Oke, bukan masalah. Ini baru permulaan. Untuk mendekati CEO sedingin Arka, memang bukan hal yang mudah. Aku harus lebih bersabar. Aku yakin, suatu saat, Arka pasti akan bertekuk lutut di hadapanku,” ucap Maurin dengan penuh percaya diri.***“Sejak kemarin dia tidak banyak bicara. Sikapnya jutek sekali. Bahkan di
Sepulang dari rumah Pak Sardi, entah mengapa ada perasaan hangat yang perlahan menyelinap ke dalam hati Naina.Naina menyunggingkan senyum tipis membayangkan bahwa Arka telah menyediakan tempat usaha untuk lelaki setengah baya itu, juga uang yang cukup banyak sebagai tanda jasanya yang telah mengabdi selama puluhan tahun di keluarga Arka.“Aku tidak tahu kalau ternyata di balik sifatnya yang sesuka hati, Arka masih memiliki sisi baik dalam dirinya,” gumam Naina sambil mengaduk sup yang sedang ia masak.Naina memang sedang di dapur, menyiapkan makan malam untuk Arka. Ini sudah pukul tujuh malam. Masih ada waktu sampai Arka pulang dari kantor.Akan tetapi, saat Naina masih sibuk mengaduk supnya yang mengepulkan uap panas, tiba-tiba tangan kekar seseorang terasa memeluknya dari belakang. Membuat Naina terhenyak dan menoleh ke belakang.“Arka?!” pekik Naina melebarkan mata, ia tak menyangka jika Arka ternyata pulang lebih cepat
Sampai detik ini, Naina masih merasa bersalah atas apa yang menimpa Pak Sardi.Sambil melamun, Naina membereskan kamar Arka."Kasihan, Pak Sardi. Aku merasa tidak punya wajah saat bertemh dengannya nanti. Tapi bagaimana pun aku harus datang ke rumahnya dan meminta maaf. Karena aku lah penyebab mengapa Arka memecatnya." Naina mendesah pelan, sambil membereskan ranjang kamar Arka dan menepuk-nepuk bantalnya hingga menggembung.Namun, di saat yang sama, Naina menemukan sebuah benda yang berada di bawah bantal.Keningnya berkerut menatap pada benda itu yang tak lain adalah sebuah bingkai foto."Ini 'kan foto Pak Guntur." Naina meraihnya, sejenak menghentikan kegiatannya merapikan ranjang Arka.Kini ia sibuk memandangi foto Guntur yang ditemukannya.Perlahan, seulas bibir Naina mengukir senyum."Apa semalam Arka merindukan ayahnya hingga ia tidur dengan memeluk foto Pak Guntur?" gumam Naina sambil manik matanya masih menatap pada foto mendian
Hari ini Naina merasa ada yang aneh. Tadi pagi ia sempat keluar rumah sebentar untuk menyiram tanaman. Akan tetapi, ia tak melihat Pak Sardi.Padahal biasanya setiap pagi lelaki setengah baya itu selalu duduk di dekat garasi, atau sedang meminum kopi dan akan menyapa Naina saat mata mereka berpapasan.Tapi hari ini, Naina tak melihat batang hidung Pak Sardi. “Nyonya, mengapa melamun?” tepukan pelan Bik Atin di pundak kirinya membuat Naina terhenyak dan mengerjap menatapnya.“Ah, tidak Bik. Tidak apa-apa.” Naina menggeleng, kemudian tersenyum kecil.Tapi ia tak bisa menahan rasa penasarannya untuk tak bertanya pada Bik Atin yang kini kembali menyibukkan diri mencuci sayuran.“Bik, mengapa aku tidak melihat Pak Sardi pagi ini ya? Apa hari ini Pak Sardi tidak bekerja?” tanya Naina dengan raut penasaran menatap Bik Atin.Pertanyaan Naina itu berhasil membuat Bik Atin menghentikan gerakannya mencuci sayuran. Bi
Dalam perjalanan pulang menuju rumahnya, Arka melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Darahnya mendidih saat benaknya kembali teringat pada video yang tadi Rustam tunjukan padanya.rka meremas setir dengan kuat, rahangnya yang tegas itu kini merapat. Bahkan urat-urat lehernya pun bertonjolan, menampilkan emosi yang meluap-luap.“Lihat saja, Naina. Lihat. Apa yang akan kulakukan padamu nanti setelah aku sampai rumah.” Arka mengepalkan sebelah tangannya di atas paha, menarik napas panjang kemudian menghembuskannya dengan kasar.“Sopir itu juga harus mendapatkan balasannya. Beraninya dia tak menjalankan perintahku dengan benar.” Arka masih menggerutu sepanjang jalan, ia mempercepat laju mobilnya, menyalip kendaraan-kendaraah roda empat yang merambat di depan sana.Sampai kemudian ia tiba di depan gerbang rumahnya yang berwarna hitam dan kokoh. Satpam langsung membukakan pintu, membiarkan mobil Arka masuk ke dalam.“Selamat m
Meski telah mengatakan pada Rustam agar tak ikut campur dalam urusannya, tapi Arka tak memungkiri bahwa setelah melihat video itu ia sangat geram. Sekarang sudah waktunya jam makan siang. Namun Arka tak berniat untuk keluar dari ruang kerjanya sedikit pun. Ia lebih memilih menetralkan amarahnya di balik meja kerjanya. Sambil menatap tajam ke depan sana dengan bola mata yang menggelap karena amarah.“Naina, kau berani bermain-main denganku. Lihat saja akibat apa yang akan kau dapatkan karena berani bertemu dengannya di belakangku,” gumam Arka sambil menautkan kedua tangannya di bawah dagu.***Di jam makan siang, biasanya Maurin makan siang di pantry yang khusus untuk para pekerja di lantai atas.api karena hari ini Maurin sudah janji bertemu dengan teman-temannya dulu ketika ia masih menjadi karyawan biasa, maka Maurin pun memutuskan untuk makan siang di kantin perusahaan dan bergabung dengan mereka.Ada sekitar empat oran
Arka baru saja selesai meeting. Ia melangkah keluar dari ruang meeting, dan berjalan menuju lift untuk naik ke ruang kerja CEO.Akan tetapi, Rustam yang juga ikut meeting, segera mempercepat langkah dan menyusul Arka dari belakang.Sampai kemudian ia bisa menyentuh pundak kanan Arka dan membuat Arka menghentikan langkah sejenak lalu menatapnya dengan kening yang berkerut.“Paman?” “Arka, kita ke ruang kerjamu sekarang. Ada sesuatu yang ingin Paman beritahukan padamu.” Rustam berkata, wajahnya terlihat begitu serius.Hingga menubuhkan kernyitan di kening Arka. Benak Arka menebak-nebak tentang apa yang ingin dikatakan oleh pamannya itu.“Sepenting apa?” Arka cukup sibuk hari ini, tentu jika apa yang hendak dikatakan Rustam tidaklah penting, lebih baik Arka mengerjakan pekerjaannya.“Ini sangat penting. Kau harus mengertahuinya.” namun wajah Rustam masih terlihat serius, membuat Arka mengang
Sepulang dari rumah sakit, Ammar memutuskan untuk mengajak Naina makan siang di sebuah restoran yang jaraknya tak jauh dari rumah sakit.“Restorannya bagus,” komentar Naina sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling, saat mereka jalan bersisian mencari meja yang kosong dan nyaman.“Kau belum pernah ke sini?” tanya Ammar, membuat Naina menoleh dan menggeleng sebagai jawaban.“Belum.”“Kebetulan sekali. Berarti sangat tepat aku mengajakmu kemari. Karena menu di restoran ini rasanya sangat enak.” Ammar menyunggingkan senyum lebar.Sebenarnya Naina merasa tidak enak hati dengan Pak Sardi karena ia pergi diam-diam bersama Ammar untuk makan siang. Tadinya Naina mau menolak ajakan Ammar, tapi Ammar membujuknya dan menatapnya dengan sorot memohon.Naina akhirnya setuju juga. Selain karena letak restorannya juga tak jauh dari rumah sakit dan Ammar berjanji akan mengantarnya kembali ke rumah sakit karena Pak Sar
Maurin akan mengantarkan laporan ke ruang kerja Arka. Ia pun mengetuk pintu sebanyak tiga kali, setelahnya terdengar sahutan dari dalam.Maurin mendorong daun pintu dan melangkah masuk. Akan tetapi, gerakan kakinya terhenti sejenak saat melihat pemandangan di depannya.Maurin meneguk ludahnya susah payah. Naina dan Arka sedang duduk di sofa panjang yang ada di pojok ruangan, tapi dengan keadaan kemeja Arka yang sedikit kusut, juga rambut Naina yang tampak tak serapi sebelumnya.Bahkan sekilas Maurin melihat lipstick Naina yang agak berantakan, sebelum Naina cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain.“Kenapa, Maurin?” pertanyaan Arka membuyarkan lamunan Maurin.Maurin menahan kesal di dalam hati, semua yang terlihat saat ini cukup menguatkan kecurigaannya. Seketika cemburu makin menguasai dirinya.Meski begitu, Maurin tetap menampilkan wajah biasa saja, seakan tak mengerti apa-apa.“Maaf, Pak Presdir. Aku ingin mengan
Selama perjalanan menuju ke kantor, Naina merasa resah dalam hatinya. Bertanya-tanya tentang apa yang akan Arka lakukan kali ini?Naina melamun sembari membuang pandangan ke kaca mobil, menatap pada pohon-pohon tinggi yang berjejer dan menjulang di pinggir jalan.Tanpa sadar, mobil pun berhenti di depan loby perusahaan Arka.“Maaf, Nyonya. Kita sudah sampai,” ucap sopir membuyarkan Naina dari lamunannya.Mengerjap pelan, Naina kemudian menatap pada Pak Sardi lantas menganggukan kepala.“Iya, Pak. Terima kasih.” Naina pun turun saat Pak Sardi membukakan pintu untuknya.Kini tungkai yang jenjang dan mulus itu menginjak teras depan kantor Arka yang terlihat megah.Naina sempat memberikan senyum kecil pada kedua security yang berdiri di depan dan menyapanya dengan ramah. Sebelum kemudian Naina mengayun langkah memasuki perusahaan itu.Naina menaiki lift untuk sampai di lantai atas, tempat di mana ruang ker