Liana melangkah menuruni anak tangga, di bawah sana, ia melihat Rustam sudah duduk di balik meja makan sambil menatapnya.
Kali ini tatapan ayahnya sangat tajam, seolah menyiratkan kemarahan.“Duduk Liana!” perintah Rustam.Liana hanya mendesah pelan dan sedikit mempercepat langkahnya lalu menarik kursi dan duduk di seberang Rustam.Tetapi Liana menundukan kepala, enggan melihat wajah ayahnya. Ia pun sedang kesal pada Rustam karena Rustam lebih percaya dengan ucapan Maurin.“Papa sudah putuskan agar kau ditemani oleh sopir ke mana pun kau pergi. Dan sopir itu sudah Papa tugaskan untuk mengawasimu. Papa tidak akan mengizinkanmu datang ke rumah sakit itu lagi untuk menemui Raffan. Jika kau sampai mencoba menjenguknya, sopir Papa akan langsung memberitahu Papa,” jelas Rustam yang seketika membuat Liana mengangkat kepala menatapnya.“Apa? Jadi Papa menyuruh orang untuk mengawasiku? Pa, aku merasa seperti tahanan, jikArka baru saja pulang dari kantor. Seorang sopir membantu membukakan pintu mobil.Tanpa kata, Arka turun dan melangkah begitu saja melewati pintu utama.Langkahnya terhenti di ruang tengah. Sosok Aina telah menyita perhatiannya.Wanita itu sedang berdiri memunggunginya, sementara kedua tangannya sibuk menata masakan di atas meja makan.Aroma sup ayam langsung menggoda indera penciuman Arka. Tapi mata Arka terpaku pada pinggul Naina, lalu pada kaki jenjangnya.Sialnya, sekarang pikiran liar sudah menggeliat di dalam otaknya.Tubuh Naina yang mengenakan terusan berwarna biru muda itu, mampu membangkitkan sesuatu yang bersembunyi di balik celananya."Arka, kau sudah pulang? Enghh ... sejak kapan kau berdiri di sana?" saat berbalik ke belakang, Naina terkejut melihat Arka.Arka balas menatap datar. Hati kecilnya sedikit terpana melihat Naina yang malam ini kelihatan berbeda.Mungkin karena
Besoknya, Naina terbangun dan ia sudah tak melihat Arka di samping ranjangnya. Ia hanya sendirian di sana.Dan Arka? Mungkin lelaki itu sudah kembali ke kamarnya beberapa jam yang lalu.Naina beringsut duduk, merapatkan selimutnya ke dada. Menatap nanar pada bajunya yang telah tercecer di lantai. Ada sedikit robekan di baju itu, bekas pembelaan Naina yang berakhir dalam kesia-siaan.Karena untuk yang kesekian kali, Arka merenggut kehormatannya kembali."Mengapa dia kembali melakukan ini? Mengapa dia kembali menyentuhku?" bisik Naina lirih.Matanya berkaca-kaca, merasakan pedih yang amat dalam di hatinya.Semalam Arka memaksanya lagi, bedanya kali ini ia melakukannya dalam keadaan sadar dan tak terpengaruh obat apa pun.Saat Naina tenggelam dalam tangis, ponselnya yang berada di atas kasur pun berdering.Segera Naina mengusap pipinya yang basah dan meraih ponsel itu untuk melihatnya."L
Di ruang kerjanya, Ammar memegangi cermin yang berukuran sedang, mengamati parasnya yang cukup tampan. Lalu tersenyum saat merasa tidak ada yang buruk dengan penampilannya.“Baru kali ini aku membuat rambutku klimis dan mencukur semua bulu di rahangku sampai habis, hanya demi membuatnya sedikit terkesan. Haah … kadang cinta memang membuat gila, Ammar,” gumamnya lalu kembali tersenyum lebar pada pantulan wajahnya di cermin itu.Merasa sudah puas dengan penampilannya, Ammar menaruh cermin itu ke meja, lalu meraih kacamata dan memakainya.Tak lupa ia membawa dompet dan ponsel saat akan meninggalkan ruang kerjanya.Namun, ketika langkahnya bergerak melewati sekumpulan para pekerjanya, suara siul mereka membuat Ammar mendelik sebal.“Ekhem … sepertinya, ada yang sedang jatuh cinta,” ucap salah seorang pegawai Ammar, lalu menyikut pegawai lain yang sedang memperbaiki mesin mobil.Saat ini, semua mata tertuju pada Am
Mobil Ammar tiba di parkiran sebuah taman yang cukup luas di kota Jakarta.Bersikap seperti seorang lelaki yang gentle, Ammar turun lebih dulu untuk kemudian membukakan pintu untuk Naina.“Silakan turun, tuan putri!” ucap Ammar, yang memancing senyum manis di bibir Naina.“Jangan berlebihan, Ammar! Bercandamu tidak lucu!” Naina mendelik, tapi bibirnya tetap tersenyum.Dan Ammar tak peduli. Ia memang menyukai senyum itu.Bahkan bisa dibilang, senyum Naina adalah salah satu favoritnya di dunia ini.“Taman ini sudah mengalami banyak perubahan.” Naina berkomentar, ketika langkahnya terhenti di pintu masuk taman kota yang di sekitarnya banyak ditumbuhi pohon dan beraneka macam bunga.Ammar berdiri di samping Naina, membenamkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lantas mengangguk setuju.“Ya, taman ini banyak berubah. Menjadi lebih cantik.” ketika mengucapkan kata ‘cantik’, entah m
Setelah itu, Ambar kembali berterima kasih pada Arka dan menarik dirinya berlalu keluar dari ruangan itu.Namun, seperginya Ambar, Arka mengusap wajah dengan sebelah tangan dan mengacak rambutnya pelan.“Jika hari ini hari terakhir Ambar bekerja, itu artinya aku harus mencari sekretaris baru. Akan membutuhkan waktu lama jika mencari sekretaris dengan cara membuka lowongan. Aku harus mencari cara lain yang lebih cepat,” gumam Arka memijit keningnya sambil berpikir.Kemudian sebuah ide terlintas di kepala, Arka menyipitkan mata.“Paman Rustam pasti bisa membantuku. Mengapa tidak kuminta dia untuk mencarikan karyawan wanita yang cerdas dan berpenampilan menarik untuk dinaikan jabatan menjadi sekretaris. Agar aku bisa mendapat pengganti Ambar,” lanjut Arka bergumam sambil mengangguk-anggukan kepala.***“Baiklah, nanti akan kucoba carikan karyawan wanita seperti yang kau minta. Tentu saja yang kerjanya cekatan seper
“Apa, Arka baru saja mengangkatmu menjadi sekretarisnya?” tanya Naina yang berbicara dengan Maurin melalui sambungan telpon.“Ya, dia baru saja menaikan jabatanku. Sekretaris yang dulu, mengundurkan diri karena hamil. Arka membutuhkan sekretaris pengganti lebih cepat, jadi dia tidak membuka lowongan baru,” ucap Maurin dari seberang telpon.“Itu bagus. Kau memang cerdas, Maurin. Aku senang mendengar kabar baik ini. Selamat untuk naiknya jabatanmu. Besok kau sudah bekerja sebagai sekretarisnya Arka.” Naina menyunggingkan senyum tulus yang tak dibuat-buat.Senyum itu berasal dari dalam hatinya.“Terima kasih, Naina. Oh ya, apakah Arka sudah pulang?” tanya Maurin.Naina yang duduk di tepi ranjangnya pun menoleh ke arah jendela. Ia belum mendengar suara deru mobil yang berhenti di pelataran rumah. Itu artinya, Arka belum pulang dari kantor.“Mungkin sebentar lagi. Aku baru saja selesai menyiapkan makan ma
“Selamat pagi, Pak Presdir!” sapanya dengan senyum manis, menatap Arka yang setiap hari selalu terlihat menawan.“Pagi!” namun Maurin terhenyak dengan mulut yang sedikit terbuka, ketika Arka hanya membalas sapaannya dengan singkat. Bahkan tak sedikit pun lelaki itu menoleh ke arahnya.“Apa? Aku sudah mati-matian mengubah penampilanku hanya untuk menarik perhatiannya. Tapi sikapnya malah seperti itu?” Maurin berdecik kesal setelah pintu ruang CEO menutup di hadapannya.Ia memanyunkan bibir dan meremas tangan di atas meja.Kemudian menghela napas untuk menenangkan dirinya sendiri. “Oke, bukan masalah. Ini baru permulaan. Untuk mendekati CEO sedingin Arka, memang bukan hal yang mudah. Aku harus lebih bersabar. Aku yakin, suatu saat, Arka pasti akan bertekuk lutut di hadapanku,” ucap Maurin dengan penuh percaya diri.***“Sejak kemarin dia tidak banyak bicara. Sikapnya jutek sekali. Bahkan di
Ia membuka pintu dan menyambut Arka yang baru saja turun dari mobil.Arka tetap melangkah saat matanya bertemu dengan bola mata Naina. Naina menyunggingkan senyum tipis yang dapat meluluh lantakkan hati lelaki.Kemudian Naina menjulurkan tangan kanannya. “Biar kubantu bawakan tasmu,” tawarnya dengan tulus.Arka menghentikan langkah, sesaat matanya menatap pada tangan Naina yang terjulur ke arahnya, kemudian matanya kembali naik menatap wajah Naina.Tanpa kata, Arka memberikan tas itu pada Naina, lantas berjalan lebih dulu melewatinya. Setelahnya, Naina menyusul dari belakang.“Aku membuat sup ayam malam ini. Kau bisa memakannya selagi hangat,” kata Naina memberitahu saat langkah Arka melewati ruang tengah, dimana di sana juga ada meja makan. Setelah bicara, Naina merapatkan bibir, berdoa dalam hati semoga saja Arka tak membentaknya karena ia tidak memasakan makanan luar.Tapi ketika Arka hanya melangkah gontai di depa