Ia membuka pintu dan menyambut Arka yang baru saja turun dari mobil.
Arka tetap melangkah saat matanya bertemu dengan bola mata Naina. Naina menyunggingkan senyum tipis yang dapat meluluh lantakkan hati lelaki.Kemudian Naina menjulurkan tangan kanannya. “Biar kubantu bawakan tasmu,” tawarnya dengan tulus.Arka menghentikan langkah, sesaat matanya menatap pada tangan Naina yang terjulur ke arahnya, kemudian matanya kembali naik menatap wajah Naina.Tanpa kata, Arka memberikan tas itu pada Naina, lantas berjalan lebih dulu melewatinya. Setelahnya, Naina menyusul dari belakang.“Aku membuat sup ayam malam ini. Kau bisa memakannya selagi hangat,” kata Naina memberitahu saat langkah Arka melewati ruang tengah, dimana di sana juga ada meja makan. Setelah bicara, Naina merapatkan bibir, berdoa dalam hati semoga saja Arka tak membentaknya karena ia tidak memasakan makanan luar.Tapi ketika Arka hanya melangkah gontai di depaSetelah selesai mengenakan piyama tidur, Naina melipat selimut dan menumpukkan bantal di atasnya. Untuk kemudian ia dekap di dada.Naina menegakan tubuh dan berdiri di samping ranjang. Ia sedang berpikir keras.“Apakah aku harus tidur di kamar Arka?” gumam Naina bertanya-tanya.Benaknya teringat dengan apa yang dikatakan oleh Dokter yang tadi memeriksa Arka. Katanya suhu tubuh Arka cukup tinggi. Masih ada kemungkinan tingginya akan meningkat saat tengah malam. Untuk antisipasi, Naina akan berjaga di kamar Arka.Jika demam Arka semakin tinggi, maka Naina harus segera menghubungi dokter.Naina melirik ke arah jam yang terpajang di dinding kamarnya, jam itu menunjukkan pukul sebelas malam. “Apakah Arka sudah tidur?” gumam Naina lagi.Karena saat lelaki itu tidur, Naina bisa masuk diam-diam ke dalam kamarnya.Naina masih berkutat dengan benaknya. Antara harus tidur di kamar Arka untuk menjaga lelaki itu, atau m
“Baik, Pak.”Maurin mengangguk patuh, lalu menaruh cangkir kopi itu di atas meja, tepat di hadapan Arka yang sedang duduk sambil sedikit merenggangkan otot-ototnya.Tak dipungkiri, pekerjaan kantor yang menumpuk, membuat Arka merasa lelah. “Sekarang kau bisa pergi,” kata Arka setelah Maurin meletakan cangkir kopinya.“Baik, Pak Presdir. Aku permisi.” Maurin hendak berbalik. Tapi, tiba-tiba kakinya dibuat seolah keseleo, lantas ia jatuh ke atas pangkuan Arka dan membuat Arka terkejut karena jarak wajah mereka yang berdekatan.“Aakhh … ““Maurin! Apa yang kau lakukan?” reaksi Arka justru di luar dugaan. Lelaki itu menatap Maurin dengan tatapan marah.“Maaf, Pak Presdir. Aku tidak sengaja. Kakiku keseleo. Maafkan aku,” ucap Maurin sambil bangkit berdiri dari pangkuan Arka.Arka terlihat sedikit kesal, menghembus
Tiba di ruang tengah, Arka sudah berdiri sambil meneguk segelas air putih. Naina sempat menghentikan langkah dan sesaat menatapnya dengan tatapan kesal. Tapi kemudian Naina menggelengkan kepala, memilih abai dengan Arka dan lebih baik istirahat di kamarnya.Baru saja Naina akan berjalan melewati Arka, saat Arka menyentak gelas kosong ke meja dan membuat langkah Naina terhenti.Naina tahu, ada sesuatu yang harus ia dengarkan baik-baik dari mulut lelaki itu setelah ini.“Lain kali, kau tidak boleh pergi ke mana pun dan dengan siapa pun tanpa seizinku,” ucap Arka, yang membuat Naina mengerutkan kening lalu menoleh ke arahnya.“Izin? Tapi kau tidak pernah mengatakan itu di dalam perjanjian kita. Kau hanya ingin aku menjadi ibu yang baik di rumah, yang melayanimu. Aku rasa, aku sudah melakukan semua itu. Aku memasak sarapan dan makanan untukmu, mengurus rumah, melayani semua yang kau perintahkan. Tapi untuk membatasiku dalam bersosialisasi dengan ora
Naina baru saja keluar dari kamar mandi. Tubuhnya sudah rapi dengan piyama tidur yang dikenakannya. Kedua tangannya sibuk menggosok-gosok rambut yang masih sedikit basah.Setelah itu, Naina membereskan tempat tidur dan merapikannya agar nyaman saat akan merebahkan tubuhnya di sana.Akan tetapi, baru saja Naina melempar handuk bekas rambut ke keranjang cucian yang ada di samping lemari, tiba-tiba kamarnya dibuka dan ia terperanjat duduk dengan punggung yang menyudut ke kepala ranjang.“Arka! K-kau mau apa?” Naina bertanya terkejut. Meremas selimut dan menutupi dadanya dengan rapat. Ia meneguk ludah, mengira Arka akan berbuat macam-macam padanya.Dengan santai Arka menutup pintu, melangkah menuju ranjang dimana Naina semakin gugup dan menatapnya waspada.“Kau jangan macam-macam. Aku mau tidur!” sentak Naina, menatap Arka tajam.Tubuhnya mengkeret makin tersudut ke ujung tempat tidur saat langkah Arka makin mendekat.&nbs
“Naina, kau mendengarku? Aku menunggu jawabanmu.” dengan sengaja Arka berbisik sangat dekat di telinga kiri Naina, membuat Naina bergidik pelan, lalu menelan ludahnya berkali.Ia tidak paham dengan apa maksud dari pertanyaan Arka, tetapi Naina tetap menjawabnya.“Tidak, aku tidak akan mengikutinya,” jawab Naina.“Alasannya?” pinta Arka, manik matanya lurus ke depan, menatap pada cermin yang sedang memantulkan bayangan mereka berdua.“Kurasa, aku tak perlu menjelaskan alasannya. Kau tahu kenapa aku masih bertahan di rumah yang seperti neraka ini,” kata Naina, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.Yang penting matanya tak lagi bersinggungan dengan bola mata Arka yang berwarna sebiru laut.Sementara itu, Arka menarik sebelah ujung bibirnya setelah mendengar ucapan Naina.Jelas saja Arka tahu, sebab Naina bertahan di rumah ini demi mendapatkan uang darinya.Meski Arka merasa sedikit
Hari ini adalah perjalanan mereka ke Bali, Maurin yang tahu Arka akan menjemput ke rumahnya untuk menuju ke bandara, kini mempercepat mengoleskan lipstick di bibirnya.Di depan cermin, Maurin tersenyum senang, ia merasa penampilannya sudah sempurna.“Kita lihat, apakah Arka akan berkedip saat menatapku?” gumamnya membanggakan diri.Ia meraih parfum andalannya dan menyemprotkannya ke baju bagian atas, memastikan aroma parfum mahal itu sudah cukup untuk membuat tubuhnya menguar wangi.Suara deru mobil sudah terdengar dari luar gerbang rumahnya yang cukup sederhana. Maurin menjerit dalam hati sambil melebarkan mata. “Itu Arka! Dia sudah datang,” serunya lalu menyambar tas dan koper yang sudah menunggunya, kemudian menggeretnya untuk keluar menghampiri mobil Arka.Arka tak memasukkan mobilnya ke dalam gerbang rumah Maurin, karena ia tak memiliki waktu lama, mereka harus segera ke bandara untuk mengejar jam terbang.
Sampai di Bali, Arka langsung memesan tiga kamar hotel. Mereka naik ke lantai tiga, dimana kamar hotel mereka berada.Di dalam lift, diam-diam Maurin mengerucutkan bibirnya dan menggerutu dalam hati.“Kenapa kamar Naina harus bersebelahan dengan kamar Arka? Sedangkan kamarku cukup jauh. Ini menyebalkan!” batin Maurin.Dengan memegang key card di tangan, mereka bertiga pun memasuki kamar masing-masing.Naina mendorong pintu, lalu menatap takjub pada kamar hotel yang ditempatinya. Senyum manis pun mengembang di bibir, kala matanya berpendar dan menatap sekeliling.“Kamarnya sangat bagus,” pujinya sambil bergumam.Petugas hotel yang membawa kopernya pun meminta izin untuk menaruh kopernya di dekat lemari.Naina mengangguk mempersilakan, lantas ia memberikan sedikit tip kepada petugas hotel itu.“Terima kasih banyak, Nona.”“Terima kasih kembali.”Setelahnya, petugas hotel itu pun per
Besoknya, Arka harus pergi bersama Maurin untuk bertemu dengan kliennya yang bernama Maxime Caldwell.Maxime adalah klien penting Arka, Maurin tahu itu. Maurin sangat memanfaatkan keadaan untuk membuat Arka terkesan.Mereka mengadakan pertemuan di sebuah restoran yang letaknya tak jauh dari pinggir pantai.Hingga membuat mereka bisa merasakan sejuknya angin pantai itu.“Wow, Maurin. Berapa tahun kau bekerja sebagai sekretarisnya Arka?” tanya Maxime pada Maurin. Semburat merah langsung terlihat di pipi Maurin ketika menyadari lelaki yang seusia Arka itu menatapnya dengan sorot kagum.“Belum ada satu bulan,” jawab Maurin.“Really?” Maxime terkejut, menoleh pada Arka seolah mencari kepastian.Dan Arka mengangguk sebagai jawaban. “Ya, dia baru menjadi sekretaris pribadiku.”“Aku kagum, Maurin sangat cerdas dan elegan. Kurasa, dia adalah sosok sekretaris yang ideal untuk seorang boss yang