Setelah selesai mengenakan piyama tidur, Naina melipat selimut dan menumpukkan bantal di atasnya. Untuk kemudian ia dekap di dada.
Naina menegakan tubuh dan berdiri di samping ranjang. Ia sedang berpikir keras.“Apakah aku harus tidur di kamar Arka?” gumam Naina bertanya-tanya.Benaknya teringat dengan apa yang dikatakan oleh Dokter yang tadi memeriksa Arka. Katanya suhu tubuh Arka cukup tinggi. Masih ada kemungkinan tingginya akan meningkat saat tengah malam. Untuk antisipasi, Naina akan berjaga di kamar Arka. Jika demam Arka semakin tinggi, maka Naina harus segera menghubungi dokter.Naina melirik ke arah jam yang terpajang di dinding kamarnya, jam itu menunjukkan pukul sebelas malam. “Apakah Arka sudah tidur?” gumam Naina lagi.Karena saat lelaki itu tidur, Naina bisa masuk diam-diam ke dalam kamarnya.Naina masih berkutat dengan benaknya. Antara harus tidur di kamar Arka untuk menjaga lelaki itu, atau m“Baik, Pak.”Maurin mengangguk patuh, lalu menaruh cangkir kopi itu di atas meja, tepat di hadapan Arka yang sedang duduk sambil sedikit merenggangkan otot-ototnya.Tak dipungkiri, pekerjaan kantor yang menumpuk, membuat Arka merasa lelah. “Sekarang kau bisa pergi,” kata Arka setelah Maurin meletakan cangkir kopinya.“Baik, Pak Presdir. Aku permisi.” Maurin hendak berbalik. Tapi, tiba-tiba kakinya dibuat seolah keseleo, lantas ia jatuh ke atas pangkuan Arka dan membuat Arka terkejut karena jarak wajah mereka yang berdekatan.“Aakhh … ““Maurin! Apa yang kau lakukan?” reaksi Arka justru di luar dugaan. Lelaki itu menatap Maurin dengan tatapan marah.“Maaf, Pak Presdir. Aku tidak sengaja. Kakiku keseleo. Maafkan aku,” ucap Maurin sambil bangkit berdiri dari pangkuan Arka.Arka terlihat sedikit kesal, menghembus
Tiba di ruang tengah, Arka sudah berdiri sambil meneguk segelas air putih. Naina sempat menghentikan langkah dan sesaat menatapnya dengan tatapan kesal. Tapi kemudian Naina menggelengkan kepala, memilih abai dengan Arka dan lebih baik istirahat di kamarnya.Baru saja Naina akan berjalan melewati Arka, saat Arka menyentak gelas kosong ke meja dan membuat langkah Naina terhenti.Naina tahu, ada sesuatu yang harus ia dengarkan baik-baik dari mulut lelaki itu setelah ini.“Lain kali, kau tidak boleh pergi ke mana pun dan dengan siapa pun tanpa seizinku,” ucap Arka, yang membuat Naina mengerutkan kening lalu menoleh ke arahnya.“Izin? Tapi kau tidak pernah mengatakan itu di dalam perjanjian kita. Kau hanya ingin aku menjadi ibu yang baik di rumah, yang melayanimu. Aku rasa, aku sudah melakukan semua itu. Aku memasak sarapan dan makanan untukmu, mengurus rumah, melayani semua yang kau perintahkan. Tapi untuk membatasiku dalam bersosialisasi dengan ora
Naina baru saja keluar dari kamar mandi. Tubuhnya sudah rapi dengan piyama tidur yang dikenakannya. Kedua tangannya sibuk menggosok-gosok rambut yang masih sedikit basah.Setelah itu, Naina membereskan tempat tidur dan merapikannya agar nyaman saat akan merebahkan tubuhnya di sana.Akan tetapi, baru saja Naina melempar handuk bekas rambut ke keranjang cucian yang ada di samping lemari, tiba-tiba kamarnya dibuka dan ia terperanjat duduk dengan punggung yang menyudut ke kepala ranjang.“Arka! K-kau mau apa?” Naina bertanya terkejut. Meremas selimut dan menutupi dadanya dengan rapat. Ia meneguk ludah, mengira Arka akan berbuat macam-macam padanya.Dengan santai Arka menutup pintu, melangkah menuju ranjang dimana Naina semakin gugup dan menatapnya waspada.“Kau jangan macam-macam. Aku mau tidur!” sentak Naina, menatap Arka tajam.Tubuhnya mengkeret makin tersudut ke ujung tempat tidur saat langkah Arka makin mendekat.&nbs
“Naina, kau mendengarku? Aku menunggu jawabanmu.” dengan sengaja Arka berbisik sangat dekat di telinga kiri Naina, membuat Naina bergidik pelan, lalu menelan ludahnya berkali.Ia tidak paham dengan apa maksud dari pertanyaan Arka, tetapi Naina tetap menjawabnya.“Tidak, aku tidak akan mengikutinya,” jawab Naina.“Alasannya?” pinta Arka, manik matanya lurus ke depan, menatap pada cermin yang sedang memantulkan bayangan mereka berdua.“Kurasa, aku tak perlu menjelaskan alasannya. Kau tahu kenapa aku masih bertahan di rumah yang seperti neraka ini,” kata Naina, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.Yang penting matanya tak lagi bersinggungan dengan bola mata Arka yang berwarna sebiru laut.Sementara itu, Arka menarik sebelah ujung bibirnya setelah mendengar ucapan Naina.Jelas saja Arka tahu, sebab Naina bertahan di rumah ini demi mendapatkan uang darinya.Meski Arka merasa sedikit
Hari ini adalah perjalanan mereka ke Bali, Maurin yang tahu Arka akan menjemput ke rumahnya untuk menuju ke bandara, kini mempercepat mengoleskan lipstick di bibirnya.Di depan cermin, Maurin tersenyum senang, ia merasa penampilannya sudah sempurna.“Kita lihat, apakah Arka akan berkedip saat menatapku?” gumamnya membanggakan diri.Ia meraih parfum andalannya dan menyemprotkannya ke baju bagian atas, memastikan aroma parfum mahal itu sudah cukup untuk membuat tubuhnya menguar wangi.Suara deru mobil sudah terdengar dari luar gerbang rumahnya yang cukup sederhana. Maurin menjerit dalam hati sambil melebarkan mata. “Itu Arka! Dia sudah datang,” serunya lalu menyambar tas dan koper yang sudah menunggunya, kemudian menggeretnya untuk keluar menghampiri mobil Arka.Arka tak memasukkan mobilnya ke dalam gerbang rumah Maurin, karena ia tak memiliki waktu lama, mereka harus segera ke bandara untuk mengejar jam terbang.
Sampai di Bali, Arka langsung memesan tiga kamar hotel. Mereka naik ke lantai tiga, dimana kamar hotel mereka berada.Di dalam lift, diam-diam Maurin mengerucutkan bibirnya dan menggerutu dalam hati.“Kenapa kamar Naina harus bersebelahan dengan kamar Arka? Sedangkan kamarku cukup jauh. Ini menyebalkan!” batin Maurin.Dengan memegang key card di tangan, mereka bertiga pun memasuki kamar masing-masing.Naina mendorong pintu, lalu menatap takjub pada kamar hotel yang ditempatinya. Senyum manis pun mengembang di bibir, kala matanya berpendar dan menatap sekeliling.“Kamarnya sangat bagus,” pujinya sambil bergumam.Petugas hotel yang membawa kopernya pun meminta izin untuk menaruh kopernya di dekat lemari.Naina mengangguk mempersilakan, lantas ia memberikan sedikit tip kepada petugas hotel itu.“Terima kasih banyak, Nona.”“Terima kasih kembali.”Setelahnya, petugas hotel itu pun per
Besoknya, Arka harus pergi bersama Maurin untuk bertemu dengan kliennya yang bernama Maxime Caldwell.Maxime adalah klien penting Arka, Maurin tahu itu. Maurin sangat memanfaatkan keadaan untuk membuat Arka terkesan.Mereka mengadakan pertemuan di sebuah restoran yang letaknya tak jauh dari pinggir pantai.Hingga membuat mereka bisa merasakan sejuknya angin pantai itu.“Wow, Maurin. Berapa tahun kau bekerja sebagai sekretarisnya Arka?” tanya Maxime pada Maurin. Semburat merah langsung terlihat di pipi Maurin ketika menyadari lelaki yang seusia Arka itu menatapnya dengan sorot kagum.“Belum ada satu bulan,” jawab Maurin.“Really?” Maxime terkejut, menoleh pada Arka seolah mencari kepastian.Dan Arka mengangguk sebagai jawaban. “Ya, dia baru menjadi sekretaris pribadiku.”“Aku kagum, Maurin sangat cerdas dan elegan. Kurasa, dia adalah sosok sekretaris yang ideal untuk seorang boss yang
Naina benar-benar dibuat bingung, mengapa Arka marah padanya.Seperti sekarang, setelah Maxime pergi, Arka menarik tangan Naina begitu saja meninggalkan Maurin di pinggir pantai.Tak peduli dengan kernyitan alis Maurin, Arka tetap menarik tangan Naina untuk mengikuti langkahnya yang lebar.“Arka, lepaskan tanganku! Apa kau tidak sadar kalau orang-orang sejak tadi memperhatikan kita?”Naina sedikit terseok mengekori langkah Arka sambil berusaha melepaskan tangannya dari cekalan lelaki itu.Arka tak mendengar, juga tak peduli dengan perkataan Naina.Tiba di depan lift, Arka menekan tombol, lantas pintu lift itu terbuka.“Masuk!” Naina mendesah lega setelah Arka melepaskan cekalan tangannya.Naina menurut, memasuki lift itu dan berdiri menunggu Arka.Arka berdiri di samping Naina, tangan panjangnya memencet tombol dan lift pun bergerak naik.Saat itulah, Arka menarik lengan Naina hingga dada mereka saling bertabr
Sepulang dari rumah Pak Sardi, entah mengapa ada perasaan hangat yang perlahan menyelinap ke dalam hati Naina.Naina menyunggingkan senyum tipis membayangkan bahwa Arka telah menyediakan tempat usaha untuk lelaki setengah baya itu, juga uang yang cukup banyak sebagai tanda jasanya yang telah mengabdi selama puluhan tahun di keluarga Arka.“Aku tidak tahu kalau ternyata di balik sifatnya yang sesuka hati, Arka masih memiliki sisi baik dalam dirinya,” gumam Naina sambil mengaduk sup yang sedang ia masak.Naina memang sedang di dapur, menyiapkan makan malam untuk Arka. Ini sudah pukul tujuh malam. Masih ada waktu sampai Arka pulang dari kantor.Akan tetapi, saat Naina masih sibuk mengaduk supnya yang mengepulkan uap panas, tiba-tiba tangan kekar seseorang terasa memeluknya dari belakang. Membuat Naina terhenyak dan menoleh ke belakang.“Arka?!” pekik Naina melebarkan mata, ia tak menyangka jika Arka ternyata pulang lebih cepat
Sampai detik ini, Naina masih merasa bersalah atas apa yang menimpa Pak Sardi.Sambil melamun, Naina membereskan kamar Arka."Kasihan, Pak Sardi. Aku merasa tidak punya wajah saat bertemh dengannya nanti. Tapi bagaimana pun aku harus datang ke rumahnya dan meminta maaf. Karena aku lah penyebab mengapa Arka memecatnya." Naina mendesah pelan, sambil membereskan ranjang kamar Arka dan menepuk-nepuk bantalnya hingga menggembung.Namun, di saat yang sama, Naina menemukan sebuah benda yang berada di bawah bantal.Keningnya berkerut menatap pada benda itu yang tak lain adalah sebuah bingkai foto."Ini 'kan foto Pak Guntur." Naina meraihnya, sejenak menghentikan kegiatannya merapikan ranjang Arka.Kini ia sibuk memandangi foto Guntur yang ditemukannya.Perlahan, seulas bibir Naina mengukir senyum."Apa semalam Arka merindukan ayahnya hingga ia tidur dengan memeluk foto Pak Guntur?" gumam Naina sambil manik matanya masih menatap pada foto mendian
Hari ini Naina merasa ada yang aneh. Tadi pagi ia sempat keluar rumah sebentar untuk menyiram tanaman. Akan tetapi, ia tak melihat Pak Sardi.Padahal biasanya setiap pagi lelaki setengah baya itu selalu duduk di dekat garasi, atau sedang meminum kopi dan akan menyapa Naina saat mata mereka berpapasan.Tapi hari ini, Naina tak melihat batang hidung Pak Sardi. “Nyonya, mengapa melamun?” tepukan pelan Bik Atin di pundak kirinya membuat Naina terhenyak dan mengerjap menatapnya.“Ah, tidak Bik. Tidak apa-apa.” Naina menggeleng, kemudian tersenyum kecil.Tapi ia tak bisa menahan rasa penasarannya untuk tak bertanya pada Bik Atin yang kini kembali menyibukkan diri mencuci sayuran.“Bik, mengapa aku tidak melihat Pak Sardi pagi ini ya? Apa hari ini Pak Sardi tidak bekerja?” tanya Naina dengan raut penasaran menatap Bik Atin.Pertanyaan Naina itu berhasil membuat Bik Atin menghentikan gerakannya mencuci sayuran. Bi
Dalam perjalanan pulang menuju rumahnya, Arka melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Darahnya mendidih saat benaknya kembali teringat pada video yang tadi Rustam tunjukan padanya.rka meremas setir dengan kuat, rahangnya yang tegas itu kini merapat. Bahkan urat-urat lehernya pun bertonjolan, menampilkan emosi yang meluap-luap.“Lihat saja, Naina. Lihat. Apa yang akan kulakukan padamu nanti setelah aku sampai rumah.” Arka mengepalkan sebelah tangannya di atas paha, menarik napas panjang kemudian menghembuskannya dengan kasar.“Sopir itu juga harus mendapatkan balasannya. Beraninya dia tak menjalankan perintahku dengan benar.” Arka masih menggerutu sepanjang jalan, ia mempercepat laju mobilnya, menyalip kendaraan-kendaraah roda empat yang merambat di depan sana.Sampai kemudian ia tiba di depan gerbang rumahnya yang berwarna hitam dan kokoh. Satpam langsung membukakan pintu, membiarkan mobil Arka masuk ke dalam.“Selamat m
Meski telah mengatakan pada Rustam agar tak ikut campur dalam urusannya, tapi Arka tak memungkiri bahwa setelah melihat video itu ia sangat geram. Sekarang sudah waktunya jam makan siang. Namun Arka tak berniat untuk keluar dari ruang kerjanya sedikit pun. Ia lebih memilih menetralkan amarahnya di balik meja kerjanya. Sambil menatap tajam ke depan sana dengan bola mata yang menggelap karena amarah.“Naina, kau berani bermain-main denganku. Lihat saja akibat apa yang akan kau dapatkan karena berani bertemu dengannya di belakangku,” gumam Arka sambil menautkan kedua tangannya di bawah dagu.***Di jam makan siang, biasanya Maurin makan siang di pantry yang khusus untuk para pekerja di lantai atas.api karena hari ini Maurin sudah janji bertemu dengan teman-temannya dulu ketika ia masih menjadi karyawan biasa, maka Maurin pun memutuskan untuk makan siang di kantin perusahaan dan bergabung dengan mereka.Ada sekitar empat oran
Arka baru saja selesai meeting. Ia melangkah keluar dari ruang meeting, dan berjalan menuju lift untuk naik ke ruang kerja CEO.Akan tetapi, Rustam yang juga ikut meeting, segera mempercepat langkah dan menyusul Arka dari belakang.Sampai kemudian ia bisa menyentuh pundak kanan Arka dan membuat Arka menghentikan langkah sejenak lalu menatapnya dengan kening yang berkerut.“Paman?” “Arka, kita ke ruang kerjamu sekarang. Ada sesuatu yang ingin Paman beritahukan padamu.” Rustam berkata, wajahnya terlihat begitu serius.Hingga menubuhkan kernyitan di kening Arka. Benak Arka menebak-nebak tentang apa yang ingin dikatakan oleh pamannya itu.“Sepenting apa?” Arka cukup sibuk hari ini, tentu jika apa yang hendak dikatakan Rustam tidaklah penting, lebih baik Arka mengerjakan pekerjaannya.“Ini sangat penting. Kau harus mengertahuinya.” namun wajah Rustam masih terlihat serius, membuat Arka mengang
Sepulang dari rumah sakit, Ammar memutuskan untuk mengajak Naina makan siang di sebuah restoran yang jaraknya tak jauh dari rumah sakit.“Restorannya bagus,” komentar Naina sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling, saat mereka jalan bersisian mencari meja yang kosong dan nyaman.“Kau belum pernah ke sini?” tanya Ammar, membuat Naina menoleh dan menggeleng sebagai jawaban.“Belum.”“Kebetulan sekali. Berarti sangat tepat aku mengajakmu kemari. Karena menu di restoran ini rasanya sangat enak.” Ammar menyunggingkan senyum lebar.Sebenarnya Naina merasa tidak enak hati dengan Pak Sardi karena ia pergi diam-diam bersama Ammar untuk makan siang. Tadinya Naina mau menolak ajakan Ammar, tapi Ammar membujuknya dan menatapnya dengan sorot memohon.Naina akhirnya setuju juga. Selain karena letak restorannya juga tak jauh dari rumah sakit dan Ammar berjanji akan mengantarnya kembali ke rumah sakit karena Pak Sar
Maurin akan mengantarkan laporan ke ruang kerja Arka. Ia pun mengetuk pintu sebanyak tiga kali, setelahnya terdengar sahutan dari dalam.Maurin mendorong daun pintu dan melangkah masuk. Akan tetapi, gerakan kakinya terhenti sejenak saat melihat pemandangan di depannya.Maurin meneguk ludahnya susah payah. Naina dan Arka sedang duduk di sofa panjang yang ada di pojok ruangan, tapi dengan keadaan kemeja Arka yang sedikit kusut, juga rambut Naina yang tampak tak serapi sebelumnya.Bahkan sekilas Maurin melihat lipstick Naina yang agak berantakan, sebelum Naina cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain.“Kenapa, Maurin?” pertanyaan Arka membuyarkan lamunan Maurin.Maurin menahan kesal di dalam hati, semua yang terlihat saat ini cukup menguatkan kecurigaannya. Seketika cemburu makin menguasai dirinya.Meski begitu, Maurin tetap menampilkan wajah biasa saja, seakan tak mengerti apa-apa.“Maaf, Pak Presdir. Aku ingin mengan
Selama perjalanan menuju ke kantor, Naina merasa resah dalam hatinya. Bertanya-tanya tentang apa yang akan Arka lakukan kali ini?Naina melamun sembari membuang pandangan ke kaca mobil, menatap pada pohon-pohon tinggi yang berjejer dan menjulang di pinggir jalan.Tanpa sadar, mobil pun berhenti di depan loby perusahaan Arka.“Maaf, Nyonya. Kita sudah sampai,” ucap sopir membuyarkan Naina dari lamunannya.Mengerjap pelan, Naina kemudian menatap pada Pak Sardi lantas menganggukan kepala.“Iya, Pak. Terima kasih.” Naina pun turun saat Pak Sardi membukakan pintu untuknya.Kini tungkai yang jenjang dan mulus itu menginjak teras depan kantor Arka yang terlihat megah.Naina sempat memberikan senyum kecil pada kedua security yang berdiri di depan dan menyapanya dengan ramah. Sebelum kemudian Naina mengayun langkah memasuki perusahaan itu.Naina menaiki lift untuk sampai di lantai atas, tempat di mana ruang ker