Tiba di ruang tengah, Arka sudah berdiri sambil meneguk segelas air putih. Naina sempat menghentikan langkah dan sesaat menatapnya dengan tatapan kesal. Tapi kemudian Naina menggelengkan kepala, memilih abai dengan Arka dan lebih baik istirahat di kamarnya.
Baru saja Naina akan berjalan melewati Arka, saat Arka menyentak gelas kosong ke meja dan membuat langkah Naina terhenti.Naina tahu, ada sesuatu yang harus ia dengarkan baik-baik dari mulut lelaki itu setelah ini.“Lain kali, kau tidak boleh pergi ke mana pun dan dengan siapa pun tanpa seizinku,” ucap Arka, yang membuat Naina mengerutkan kening lalu menoleh ke arahnya.“Izin? Tapi kau tidak pernah mengatakan itu di dalam perjanjian kita. Kau hanya ingin aku menjadi ibu yang baik di rumah, yang melayanimu. Aku rasa, aku sudah melakukan semua itu. Aku memasak sarapan dan makanan untukmu, mengurus rumah, melayani semua yang kau perintahkan. Tapi untuk membatasiku dalam bersosialisasi dengan oraNaina baru saja keluar dari kamar mandi. Tubuhnya sudah rapi dengan piyama tidur yang dikenakannya. Kedua tangannya sibuk menggosok-gosok rambut yang masih sedikit basah.Setelah itu, Naina membereskan tempat tidur dan merapikannya agar nyaman saat akan merebahkan tubuhnya di sana.Akan tetapi, baru saja Naina melempar handuk bekas rambut ke keranjang cucian yang ada di samping lemari, tiba-tiba kamarnya dibuka dan ia terperanjat duduk dengan punggung yang menyudut ke kepala ranjang.“Arka! K-kau mau apa?” Naina bertanya terkejut. Meremas selimut dan menutupi dadanya dengan rapat. Ia meneguk ludah, mengira Arka akan berbuat macam-macam padanya.Dengan santai Arka menutup pintu, melangkah menuju ranjang dimana Naina semakin gugup dan menatapnya waspada.“Kau jangan macam-macam. Aku mau tidur!” sentak Naina, menatap Arka tajam.Tubuhnya mengkeret makin tersudut ke ujung tempat tidur saat langkah Arka makin mendekat.&nbs
“Naina, kau mendengarku? Aku menunggu jawabanmu.” dengan sengaja Arka berbisik sangat dekat di telinga kiri Naina, membuat Naina bergidik pelan, lalu menelan ludahnya berkali.Ia tidak paham dengan apa maksud dari pertanyaan Arka, tetapi Naina tetap menjawabnya.“Tidak, aku tidak akan mengikutinya,” jawab Naina.“Alasannya?” pinta Arka, manik matanya lurus ke depan, menatap pada cermin yang sedang memantulkan bayangan mereka berdua.“Kurasa, aku tak perlu menjelaskan alasannya. Kau tahu kenapa aku masih bertahan di rumah yang seperti neraka ini,” kata Naina, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.Yang penting matanya tak lagi bersinggungan dengan bola mata Arka yang berwarna sebiru laut.Sementara itu, Arka menarik sebelah ujung bibirnya setelah mendengar ucapan Naina.Jelas saja Arka tahu, sebab Naina bertahan di rumah ini demi mendapatkan uang darinya.Meski Arka merasa sedikit
Hari ini adalah perjalanan mereka ke Bali, Maurin yang tahu Arka akan menjemput ke rumahnya untuk menuju ke bandara, kini mempercepat mengoleskan lipstick di bibirnya.Di depan cermin, Maurin tersenyum senang, ia merasa penampilannya sudah sempurna.“Kita lihat, apakah Arka akan berkedip saat menatapku?” gumamnya membanggakan diri.Ia meraih parfum andalannya dan menyemprotkannya ke baju bagian atas, memastikan aroma parfum mahal itu sudah cukup untuk membuat tubuhnya menguar wangi.Suara deru mobil sudah terdengar dari luar gerbang rumahnya yang cukup sederhana. Maurin menjerit dalam hati sambil melebarkan mata. “Itu Arka! Dia sudah datang,” serunya lalu menyambar tas dan koper yang sudah menunggunya, kemudian menggeretnya untuk keluar menghampiri mobil Arka.Arka tak memasukkan mobilnya ke dalam gerbang rumah Maurin, karena ia tak memiliki waktu lama, mereka harus segera ke bandara untuk mengejar jam terbang.
Sampai di Bali, Arka langsung memesan tiga kamar hotel. Mereka naik ke lantai tiga, dimana kamar hotel mereka berada.Di dalam lift, diam-diam Maurin mengerucutkan bibirnya dan menggerutu dalam hati.“Kenapa kamar Naina harus bersebelahan dengan kamar Arka? Sedangkan kamarku cukup jauh. Ini menyebalkan!” batin Maurin.Dengan memegang key card di tangan, mereka bertiga pun memasuki kamar masing-masing.Naina mendorong pintu, lalu menatap takjub pada kamar hotel yang ditempatinya. Senyum manis pun mengembang di bibir, kala matanya berpendar dan menatap sekeliling.“Kamarnya sangat bagus,” pujinya sambil bergumam.Petugas hotel yang membawa kopernya pun meminta izin untuk menaruh kopernya di dekat lemari.Naina mengangguk mempersilakan, lantas ia memberikan sedikit tip kepada petugas hotel itu.“Terima kasih banyak, Nona.”“Terima kasih kembali.”Setelahnya, petugas hotel itu pun per
Besoknya, Arka harus pergi bersama Maurin untuk bertemu dengan kliennya yang bernama Maxime Caldwell.Maxime adalah klien penting Arka, Maurin tahu itu. Maurin sangat memanfaatkan keadaan untuk membuat Arka terkesan.Mereka mengadakan pertemuan di sebuah restoran yang letaknya tak jauh dari pinggir pantai.Hingga membuat mereka bisa merasakan sejuknya angin pantai itu.“Wow, Maurin. Berapa tahun kau bekerja sebagai sekretarisnya Arka?” tanya Maxime pada Maurin. Semburat merah langsung terlihat di pipi Maurin ketika menyadari lelaki yang seusia Arka itu menatapnya dengan sorot kagum.“Belum ada satu bulan,” jawab Maurin.“Really?” Maxime terkejut, menoleh pada Arka seolah mencari kepastian.Dan Arka mengangguk sebagai jawaban. “Ya, dia baru menjadi sekretaris pribadiku.”“Aku kagum, Maurin sangat cerdas dan elegan. Kurasa, dia adalah sosok sekretaris yang ideal untuk seorang boss yang
Naina benar-benar dibuat bingung, mengapa Arka marah padanya.Seperti sekarang, setelah Maxime pergi, Arka menarik tangan Naina begitu saja meninggalkan Maurin di pinggir pantai.Tak peduli dengan kernyitan alis Maurin, Arka tetap menarik tangan Naina untuk mengikuti langkahnya yang lebar.“Arka, lepaskan tanganku! Apa kau tidak sadar kalau orang-orang sejak tadi memperhatikan kita?”Naina sedikit terseok mengekori langkah Arka sambil berusaha melepaskan tangannya dari cekalan lelaki itu.Arka tak mendengar, juga tak peduli dengan perkataan Naina.Tiba di depan lift, Arka menekan tombol, lantas pintu lift itu terbuka.“Masuk!” Naina mendesah lega setelah Arka melepaskan cekalan tangannya.Naina menurut, memasuki lift itu dan berdiri menunggu Arka.Arka berdiri di samping Naina, tangan panjangnya memencet tombol dan lift pun bergerak naik.Saat itulah, Arka menarik lengan Naina hingga dada mereka saling bertabr
Naina bingung bagaimana menjawab pertanyaan Maurin. Apalagi mata Maurin saat ini menyipit menatapnya, seperti sedang menyelidik.“Enghh … itu, chargerku rusak, tadinya aku mau meminjam charger punya Arka. Tapi ternyata sedang dipakai, nanti akan kubeli yang baru saja,” jawab Naina yang akhirnya mendapat sebuah alasan untuk membohongi Maurin.Naina tersenyum meringis, berharap Maurin akan percaya pada kata-katanya.Tapi Naina tidak tahu kalau Maurin bukanlah wanita bodoh. Ia melihat raut wajah Naina yang tampak tak meyakinkan.Bahkan dari alasan yang Naina katakan, Maurin merasa ada yang ganjil.“Kalau soal charger, kenapa kau tidak mengatakannya padaku? Bentuk charger kita sama dan kebetulan aku pun membawa dua. Kau bisa meminjam punyaku kalau mau,” ucap Maurin.Sekarang Naina tersenyum tapi sambil menggigit pelan bibir bawahnya.Maurin mendekat, menyentuh lengan Naina. “Kau selal
“Ya, Paman. Besok aku sudah kembali ke Jakarta,” kata Arka yang sedang berbicara dengan Rustam melalui sambungan telpon.“Sudah dulu, Paman. Nanti akan kuhubungi lagi,” lanjut Arka, ia segera mematikan panggilannya dan memasukkan ponsel ke dalam saku celana.Menghembuskan napas pelan, Arka merasa penat hari ini. Lgkahnya membawanya menuju tepi pantai. Akan tetapi, belum juga Arka tiba di sana, ia melihat Naina berdiri di kejauhan.Mata Arka menyipit. “Apa yang sedang Naina lakukan di sana? Dia seperti sedang menelpon seseorang,” gumam Arka bertanya-tanya.Karena dilanda penasaran, Arka pun melanjutkan langkahnya untuk mendekati Naina.Saat jarak Arka cukup dekat di belakang tubuh Naina, percakapan Naina dengan orang di seberang telpon itu mulai terdengar jelas di telinga.“Haha … kau ini bisa saja, Ammar,” kekeh Naina sambil geleng-geleng kepala mendengar kelakar Ammar.