Arka meninggalkan dapur, bertepatan ketika Bik Atin masuk ke dapur, matanya langsung tertuju pada Naina yang berdiri sambil memegangi baju bagian atasnya.
Ternyata, tadi Deni sempat menarik bagian atas baju yang Naina kenakan. Hingga dua kancing atasnya lepas.“Nyonya Naina! Nyonya tidak apa-apa?” tanya pembantu tua itu, raut khawatir jelas tergambar di wajahnya.Dia menghampiri Naina, meneliti tubuh Naina dari atas ke bawah, mungkin ingin memastikan bahwa majikannya itu tak terluka.“Maaf, Nyonya. Apa yang terjadi, Nyonya? Tadi saya sedang membersihkan kamar tamu di atas. Tapi tiba-tiba mendengar suara ribut di dapur, jadi saya langsung ke sini. Apa mereka menyakiti Nyonya?” tanya Bik Atin lagi.Letak kamar tamu memang tepat di atas dapur, pantas jika Bik Atin mendengar suara teriakan Arka dan Deni saat berkelahi. Naina menggeleng pelan, lalu tersenyum hambar. Entah bagaimana menjelaskannya, tidak mungkin iaSetelah mendapatkan gaun dan jas yang dicarinya, Arka dan Naina memutuskan untuk pulang ke rumah.Akan tetapi, saat perjalanan pulang, mobil itu tiba-tiba saja mogok, membuat Arka berdecak kesal seraya memukul pelan setirnya.“Sial! Pak Min pasti lupa servis mobil ini. Tahu begini, seharusnya aku tadi membawa mobil yang lain saja,” dengkusnya.Naina menoleh, melihat ke arah Arka yang menggerutu memarahi sopirnya.“Kurasa tidak ada gunanya kau marah-marah. Akan lebih baik jika kau membawa mobil ini ke bengkel. Di depan sana ada sebuah bengkel. Nanti mereka akan mengatasi masalah mobilmu,” ucap Naina, mengusulkan.Arka balas menoleh, mengernyitkan alis. “Darimana kau tahu kalau ada bengkel di sekitar sini?” tanya Arka, curiga.Namun sebelah Naina menjawab, Arka segera membuka safety beltnya dan turun dari mobil. Kemudian Arka berjalan ke depan sana, mungkin untuk meminta orang-orang bengkel agar memperbaiki mobiln
Naina memicingkan mata. Ia merasa heran, mengapa cara berpikir Arka sepicik itu.“Apakah kau tidak bosan, selalu berpikiran buruk tentangku?” tanya Naina mengerutkan keningnya pada Arka.Sambil berusaha tetap fokus menyetir, Arka tersenyum kecut.“Aku hanya akan berpikir sesuai dengan apa yang kulihat,” jawab Arka, yang membuat Naina menggeleng pelan.Naina tidak tahu harus bagaimana menjelaskan pada lelaki itu tentang Ammar. Karena ketika ia mengatakan yang sebenarnya pun, Arka tetap menepis penjelasannya.“Aku juga melihatmu seperti sangat nyaman saat bicara dengannya. Kau banyak tersenyum dan tertawa, sampai lupa bahwa ada seseorang yang menunggumu di dalam mobil. Sejak kapan kau dekat dengan lelaki itu? Sejak kapan kalian mulai menjalin hubungan? Apakah sejak ayahku masih hidup?” tanya Arka, mengangkat sebelah ujung bibirnya pada Naina, tersenyum miring.“Arka! Hentikan! Mengapa kau selalu mengatakan s
Mobil hitam itu baru saja berhenti di depan teras.Tanpa menunggu sopir mendekat dan membukakan pintu, Naina lebih dulu membuka safety belt dan turun dari mobil.Arka memperhatikan bagaimana Naina berlari memasuki rumah, sambil mengusap sudut air di matanya. Bekas tangis yang diakibatkan oleh dirinya."Selamat malam, Tuan Arka!" sopir menyapa dengan sedikit membungkukan bahu ketika Arka turun dari mobilnya."Malam, Pak Sardi." Arka membalas tanpa memberikan senyum sedikit pun. Lalu ia melangkah menapaki teras dan bergerak memasuki rumah megah itu.Saat akan melangkah menuju tangga, sesaat Arka menghentikan langkahnya. Demi menoleh ke samping, dimana pintu kamar Naina berada.Dari dalam sana, terdengar suara terisak yang begitu lirih. Mencubit ulu hatinya, hingga begitu saja rasa sesal menyelinap ke dalam dada.Arka menggeleng, berusaha abai dengan suara terisak yang mengusik indera pendengaran, kemudian mel
Pagi ini, Naina sedang membereskan tempat tidurnya. Ia baru saja selesai mandi dan berpakaian. Sebuah baju terusan berwarna peach dengan motif bunga-bunga, membuat kesan anggun penampilannya.Ketika tangan Naina sibuk menepuk-nepuk bantal, terdengar suara dering ponsel yang mengusik telinga. Naina menoleh pada benda pipih yang tergeletak di atas nakas itu lalu meraihnya.“Ammar?” Naina berseru melihat nama Ammar yang terpampang di layar. Tanpa ragu lagi, Naina menerima panggilan itu dan duduk di tepi ranjang sambil menempelkan ponselnya ke telinga.“Hallo, Ammar?”“Hai, Naina. Enghh … maaf sudah mengganggumu pagi-pagi.”Naina tersenyum kecil.“Tidak, kau tidak menggangguku. Ada apa, Ammar?” tanya Naina, yang ingin tahu apa yang hendak disampaikan oleh Ammar.“Tidak ada, sebenarnya aku hanya sedang ingin mendengar suaramu,” kata Ammar dari seberang telpon.Ucapannya itu so
Pagi ini, Naina datang ke rumah sakit untuk melihat keadaan Raffan. Maurin pun ikut bersamanya karena ia mengatakan ingin menemani Naina.Setelah sampai di ruang rawat Raffan, ternyata tubuh Raffan sedang dilap oleh seorang suster.Mereka berdua pun diam dan memperhatikan, menunggu sampai suster itu selesai membersihkan tubuh Raffan.Mata Naina menatap sendu pada wajah terpejam adiknya.“Andai dibolehkan, rasanya Kakak ingin mengelap tubuhmu dengan tangan Kakak sendiri, Raffan,” desah Naina dalam hati.Tapi Naina mengerjap saat melihat suster itu berbalik menatapnya.“Apakah sudah selesai, Sus?”“Sudah, Nyonya. Anda ingin menjenguk Tuan Raffan?” suster itu bertanya dengan ramah.Dan Naina mengangguk cepat.“Kalau begitu, saya permisi.”“Terima kasih, Suster.”Suster itu menjawab ucapan Naina dengan senyum dan anggukan pelan, lantas ia berla
Karena berkelahi, Maurin dan Liana pun dibawa ke pos keamanan. Keduanya duduk saling berhadapan di bangku plastik.Sampai detik ini pun, mereka masih menatap dengan sorot permusuhan.“Jadi, di antara kalian berdua, tidak ada satu pun yang mau meminta maaf?” tanya satpam yang menjaga di pos itu, menatap bergantian pada Liana dan Maurin.“Tidak. Aku tidak mau meminta maaf pada nenek lampir seperti dia!” Liana berkata sinis.Maurin mengangkat bahu seraya berpangku tangan.“Aku juga tidak sudi meminta maaf pada wanita manja seperti dia,” cetus Maurin tak mau kalah.Lalu mereka kembali saling mencibir, membuat satpam itu menggaruk kepalanya, bingung.Di saat yang sama, sebuah mobil yang cukup mewah, terparkir di dekat pos satpam.Liana langsung sumringah saat melihat siapa yang datang. Dia adalah Rustam, yang secara kebetulan sedang mengunjungi rumah sakit itu. Namun, ia menghentikan mobil saat melihat Lian
Liana melangkah menuruni anak tangga, di bawah sana, ia melihat Rustam sudah duduk di balik meja makan sambil menatapnya.Kali ini tatapan ayahnya sangat tajam, seolah menyiratkan kemarahan.“Duduk Liana!” perintah Rustam.Liana hanya mendesah pelan dan sedikit mempercepat langkahnya lalu menarik kursi dan duduk di seberang Rustam.Tetapi Liana menundukan kepala, enggan melihat wajah ayahnya. Ia pun sedang kesal pada Rustam karena Rustam lebih percaya dengan ucapan Maurin.“Papa sudah putuskan agar kau ditemani oleh sopir ke mana pun kau pergi. Dan sopir itu sudah Papa tugaskan untuk mengawasimu. Papa tidak akan mengizinkanmu datang ke rumah sakit itu lagi untuk menemui Raffan. Jika kau sampai mencoba menjenguknya, sopir Papa akan langsung memberitahu Papa,” jelas Rustam yang seketika membuat Liana mengangkat kepala menatapnya.“Apa? Jadi Papa menyuruh orang untuk mengawasiku? Pa, aku merasa seperti tahanan, jik
Arka baru saja pulang dari kantor. Seorang sopir membantu membukakan pintu mobil.Tanpa kata, Arka turun dan melangkah begitu saja melewati pintu utama.Langkahnya terhenti di ruang tengah. Sosok Aina telah menyita perhatiannya.Wanita itu sedang berdiri memunggunginya, sementara kedua tangannya sibuk menata masakan di atas meja makan.Aroma sup ayam langsung menggoda indera penciuman Arka. Tapi mata Arka terpaku pada pinggul Naina, lalu pada kaki jenjangnya.Sialnya, sekarang pikiran liar sudah menggeliat di dalam otaknya.Tubuh Naina yang mengenakan terusan berwarna biru muda itu, mampu membangkitkan sesuatu yang bersembunyi di balik celananya."Arka, kau sudah pulang? Enghh ... sejak kapan kau berdiri di sana?" saat berbalik ke belakang, Naina terkejut melihat Arka.Arka balas menatap datar. Hati kecilnya sedikit terpana melihat Naina yang malam ini kelihatan berbeda.Mungkin karena