Tuan Gwen tak menyadari ada mata tajam yang mengintainya sebab ia terlalu fokus memusatkan perhatiannya pada Naina.
Arka pun mendorong kursi ke belakang, lantas bangkit berdiri seraya membenarkan kelepak jasnya. Memancing perhatian Tuan Gwen yang kini menatapnya penuh tanya.
Belum sempat Tuan Gwen bertanya akan pergi ke mana Arka, Arka lebih dulu melangkah menjauhi meja mereka, sepasang mata Tuan Gwen masih memperhatikannya. Sedikit membeliak saat ternyata Arka menaiki panggung dan berdiri di samping Naina sambil mengambil alih microfon dan merangkul bahunya.
“Terima kasih atas tepuk tangannya! Karena lagunya sudah selesai, maka kami pamit. Sampai jumpa!” ucap Arka sambil mengedarkan pandangan pada pengunjung restoran yang tadi bertepuk tangan untuk Naina.
Sementara Naina menatap Arka dengan alis yang bertaut, bingung dengan apa yang Arka lakukan.
Tapi sepertinya Arka pun tak memberi Naina kesempata
Pukul empat sore, Naina pergi ke café karena ada janji bertemu dengan Maurin hari ini. Ia tak perlu meminta izin pada Arka, sebab lelaki itu sedang tak ada di rumah. Arka tak memberitahu akan ke mana dia pergi. Naina hanya berpesan pada Bik Atin untuk segera memberitahunya jika Arka sudah pulang.“Sebelum ke sini, tadi aku sempat ke rumah sakit untuk menjenguk Raffan. Dan aku melihat ada buket bunga di samping ranjangnya. Suster di sana mengatakan kalau itu darimu,” ucap Naina pada Maurin yang duduk di seberangnya.Sebuah meja menjadi pembatas di tengah-tengah mereka. Maurin tersenyum kecil, menganggukan kepala.“Ya, itu benar. Aku lah yang membawa bunga itu. Bunga mawar. Dulu saat kita masih kuliah bersama, Raffan pernah bercerita kalau mendiang ibunya adalah penyuka bunga. Terutama bunga mawar. Setiap kali dia mencium aroma bunga mawar, dia selalu teringat dengan ibunya. Aku hanya berinisiatif membawakan bunga itu dengan harapan
“Kau akan pulang dengan menggunakan taksi, Naina?” tanya Maurin, ketika sebuah taksi berhenti tepat di depan mereka.Naina menoleh, lantas tersenyum kecil dan menganggukan kepala. Maurin merasa sedikit heran, mengingat Naina adalah istri dari mendiang Guntur. Seharusnya ada seorang sopir yang bertugas mengantar jemputnya ke mana pun.“Iya. Aku pulang sekarang ya.” Naina pamit lebih dulu, melambaikan tangannya pada Maurin, lalu masuk ke dalam taksi.“Baik, hati-hati.” pada Naina, Maurin bilang ia pun akan segera pulang dan menunggu jemputan teman. Tapi tentu saja ia hanya berbohong.Karena begitu taksi itu melaju dan membawa Naina pergi, Maurin tetap berdiri di depan café dengan melipat kedua tangan di depan dada. Senyum lebar tersungging di wajah cantiknya.***Mobil mewah berwarna hitam metalik milik Arka, terparkir rapi di depan sebuah café ya
“Arka, kau akan membawaku ke mana? Ini bukan jalan pulang menuju rumah.” Naina menatap pada Arka dengan alis yang bertaut, menatap bingung sekaligus takut pada lelaki yang duduk di balik setir itu.Arka tak menjawab. Matanya tajam menatap ke depan, sementara dadanya yang bidang itu tampak naik-turun, seolah menandakan deru napasnya yang makin cepat.Naina tidak mengerti mengapa Arka tiba-tiba menyeretnya ke mobil. Tapi saat Naina menyadari bahwa jalan yang diambil oleh Arka bukan yang mengarah ke rumah, ia pun mulai panik.“Turunkan aku di sini! Aku akan pulang naik taksi saja,” pinta Naina, entah mengapa perasaannya merasa tidak enak.Arka tetap bergeming, tapi ia menambah kecepatan laju mobilnya. Arka tak memperdulikan permintaan Naina agar menurunkannya di pinggir jalan.Saat ini, hawa panas itu sudah semakin menjalar ke tubuhnya, membuat Arka makin gerah. Dan yang lebih membuatnya resah, sesuatu di balik ce
Ternyata Maurin tak tinggal diam saat melihat Arka menarik Naina ke mobilnya. Maurin langsung pergi dari café itu dan mengikuti ke mana mobil Arka pergi.Saat menyadari mobil itu berhenti di sebuah hotel, Maurin langsung berdecak kesal. Ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.Arka dan Naina, mereka pasti akan tidur bersama.Maka di sini lah Maurin, berdiri di depan teras hotel, sambil meremas kuat tali tas selempangnya. Embusan angin malam membuat rambutnya yang terikat ekor kuda itu bergerak pelan.Tetapi angin malam itu tak mampu membuat sejuk hatinya sama sekali. “Naina, kenapa harus kau? Kenapa? Aku sudah mati-matian menyusun rencana ini agar semuanya berjalan mulus. Tapi akhirnya, Arka malah tidur dengan Naina. Arka milikku, seharusnya malam ini dia tidur denganku.”Maurin mengentakkan sebelah kakinya ke paving, wajahnya sudah memerah. Terlebih saat mendengar informasi dari resepsionis ho
Di kantornya, Arka terlihat gelisah. Meski ia berusaha fokus pada pekerjaannya, namun lagi dan lagi bayangan tubuh indah Naina berkelebat dalam benaknya. Membuat Arka berdecak kesal seraya memijit keningnya."Apa yang kupikirkan? Kenapa kejadian semalam malah mengganggu pikiranku. Bagaimana bisa aku membayangkan tubuh Naina? Ck! Ini sial!"Mendengkus sebal, Arka menyentak bolpoint ke atas meja, menjeda pekerjaannya yang malah membuat berbagai macam pikiran di benaknya makin bergejolak.Arka menepikan punggung, membuang napasnya kasar, kemudian mendongkak menatap pada plafon ruang kerjanya. Matanya menatap lurus, namun benaknya jauh berkelana.Kejadian malam itu membuat Arka ingat dengan bagaimana rasa tubuh Naina.Arka tak memungkiri jika menyentuu Naina begitu membuatnya nikmat, bahkan sampai membuatnya ingin kembali merasakannya lagi. Tubuh Naina serupa candu bagi Arka."Mungkin otakku sudah tidak waras. Tidak seharusnya aku memikirkan tentang a
“Bagaimana, Naina? Kau setuju dengan keputusanku?” tanya Arka, menatap dengan senyum yang tersungging puas.Naina terdiam sejenak, menatap Arka dengan tatapan kesalnya.Rasanya hati kecil Naina menolak dengan keras. Tapi masalahnya, hanya Arka yang bisa memberikannya uang untuk biaya pengobatan Raffan.Maka dari itu, Naina mengangguk samar dan memberikan jawaban.“Ya, aku setuju.” suara itu begitu lirih saat mengatakannya, hingga nyaris tak terdengar.Seketika senyum di bibir Arka makin merekah lebar. Ia tahu kalau Naina takkan bisa melepaskan diri darinya. Wanita itu terikat karena ketidakberdayaan untuk membiayai pengobatan adiknya.“Bagus. Aku senang mendengar persetujuanmu,” kata Arka melipat kedua tangannya di depan dada, bibirnya masih tersenyum penuh kemenangan.Naina memejamkan mata sesaat, menetralkan napasnya yang memburu kesal karena terus direndahkan.“Kalau begitu aku per
Maurin berdecak kesal sambil melangkahkan kakinya menyusuri koridor rumah sakit. Hari ini ia ada janji bertemu dengan Naina, sekaligus untuk menjenguk Raffan.Dari perbincangan mereka di telpon pagi tadi, Maurin bisa menyimpulkan jika sebenarnya Naina sedang dirundung masalah dan wanita itu butuh teman bicara.“Huh! Kalau saja bukan karena ingin mendapatkan Arka, aku sudah malas bertemu dan bicara dengan Naina.” ingatan tentang malam dimana Arka dan Naina tidur bersama, membuat Maurin merasa muak.Tapi untuk sampai pada tujuannya, tentu ia harus berusaha menampilkan sikap seperti biasa, dan tak menunjukkan ketidaksukaanya pada Naina. Karena Maurin tahu bahwa Naina adalah satu-satunya jalan untuk ia bisa mendekati Arka.Langkah Maurin terhenti tak jauh dari ruang rawat Raffan.Di depan sana, terlihat Naina sedang duduk di kursi besi yang letaknya ada di depan ruang rawat Raffan. Kepalanya menunduk, sambil memainkan kedua jemariny
Malam ini Arka tak bisa tidur, entah kenapa. Matanya sulit terpejam, meski ia telah berusaha menenggelamkan dirinya dalam mimpi. Namun usahanya tetap saja tak membuahkan hasil.Membaca buku bisnis pun percuma, matanya masih saja terjaga, sementara rasa kantuk tak kunjung menyergapnya.Sialnya benaknya malah memikirkan sesuatu yang beberapa waktu ini kerap mengusik otaknya.Sepertinya Arka mulai tidak waras. Lagi dan lagi, rasa nikmat tubuh Naina seakan menggodanya untuk kembali mencecap rasa itu."Aarghh. Ya Tuhan, akuu hanya ingin tidur, mengapa rasanya sulit sekali," rutuk Arka sambil menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, ia beringsut duduk, lalu mengacak rambut dengan kesal."Padahal aku sudah melakukan segala cara agar bisa tidur. Besok ada meeting pagi di kantor. Ini sial! Jika seperti ini terus, aku bisa gila," lanjut Arka mendengkus kesal.Jangan sampai besok pagi ia mengantuk di saat meeting. Itu bisa merus