Tadinya Naina pikir Arka begitu baik saat mencegah dua orang security yang akan mengusirnya. Tetapi sekarang Naina menarik kembali pemikirannya, Arka tetap lah seorang lelaki berhati iblis.
Naina terdiam, menimang-nimang keputusannya. Tetap tinggal di rumah besar itu bersama dengan Arka? Naina sudah melihat sifat iblis dalam diri lelaki itu. Naina ragu apakah dirinya akan sanggup berhadapan dengan Arka setiap hari? Lelaki itu pasti akan terus menyusahkannya.
“Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak tahu apakah aku harus menerima tawaran Arka atau menolaknya. Tapi jika aku menolak, bagaimana dengan Raffan? Saat ini dia masih berjuang untuk sembuh. Sementara biaya pengobatannya sangat mahal,” desah Naina dalam hati.
Naina sangat tidak tega melihat tubuh Raffan yang hanya bisa terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Dia teringat bagaimana ceria dan semangatnya Raffan dalam menjalani hidupnya sebelum kecelakaan nahas itu menimpanya dan merenggut nyawa Guntur.
Mengingat Guntur, seketika Naina menelan salivanya kasar.
“Selama bertahun-tahun, Pak Guntur sudah sangat baik padaku dan Raffan. Dia begitu menyayangi kami. Sekarang setelah dia meninggal, aku harus menebus semua kebaikannya dengan menjadi ibu yang baik untuk merawat Arka,” lanjut Naina dalam batinnya.
Setelah itu, Naina mengangkat kepalanya kembali menatap Arka. Lantas ia berkata. “Aku akan menjadi ibu tiri yang baik untukmu, tapi kau juga harus berjanji untuk tidak mengusir adikku dari rumah sakit keluargamu dan tetap membiayai pengobatannya.”
Senyum miring langsung tercetak di wajah tampan Arka.
“Bagus! Soal itu kau tidak perlu khawatir. Selama kau bisa menjadi ibu tiri yang baik di rumahku, aku akan tetap memberimu uang untuk biaya pengobatan adikmu,” ucap Arka lalu tersenyum puas.
Naina merasa sedikit lega, meskipun ia sadar bahwa keputusan yang diambilnya akan membuatnya bertemu setiap hari dengan iblis ini.
“Kalau begitu aku mengucapkan selamat karena kau dan aku berhasil mempertahankan wasiat yang ditinggalkan oleh ayahku,” ucap Arka sambil menjabat tangan Naina.
***
Pihak rumah sakit tidak jadi mengusir Raffan. Naina kembali mengunjungi adiknya untuk memastikan Raffan tetap berada di ranjang rawatnya.
Naina merasa lega karena Arka menepati janjinya. Raffan masih terbaring di sana dengan peralatan medis yang masih menghias tubuhnya.
“Kakak sudah takut saat tahu mereka akan mengusirmu dari rumah sakit ini. Tapi sekarang kakak merasa tenang, kau akan tetap mendapat pengobatan di sini sampai keadaanmu kembali pulih.” berdiri, Naina menunduk menatap wajah tampan adiknya.
Naina tidak tahu apakah Raffan bisa mendengar setiap kalimat yang dia ucapkan atau tidak. Tetapi Naina selalu merasa tenang dan nyaman setiap kali berbicara dengan Raffan meski hanya kebisuan yang akan menjawabnya.
“Kakak tidak jadi pergi, Raffan. Iblis itu menyuruh kakak untuk tetap tinggal di sana. Sebenarnya kakak tidak ingin berurusan dengannya. Kakak ingin kita pergi dan memulai kehidupan yang lebih baik. Tapi semua itu tidak akan mungkin terjadi selama kau masih terbaring koma di rumah sakit. Maka dari itu kakak terpaksa menyetujui permintaan Arka untuk tinggal bersama dengannya.”
Naina menarik napas dalam saat benaknya membayangkan hari-harinya ke depan pasti akan terasa sangat berat. Naina sangsi jika Arka akan membiarkannya hidup tenang.
“Tapi demi kesembuhanmu, kakak akan melakukannya. Meskipun harus hidup satu atap dengan lelaki berhati iblis seperti dia,” lanjutnya kemudian meraih punggung tangan Raffan lalu menciumnya dengan lembut dan dalam.
Naina amat rindu, dia tak sabar menanti Raffan sadar dan bisa bercanda lagi dengannya.
Setelah menenangkan suasana hatinya dengan menjenguk adiknya, Naina memutuskan untuk pulang ke rumah Guntur.
Tiba di sana, Naina merasa suasananya sudah berbeda. Biasanya hatinya akan sangat nyaman berada di rumah itu, tapi kali ini berbanding terbalik. Naina merasa gelisah, lebih lagi saat bayangan wajah Arka melintas dalam benaknya.
Naina tidak bisa membayangkan akan semencekam apa suasana rumah ini saat Arka menggantikan Guntur sebagai kepala keluarga.
Melewati ruang tamu, langkahnya terhenti seketika. Matanya menatap ke dinding, dimana foto Guntur yang sedang tersenyum lebar menatap ke arah kamera, terpajang di sana. Seketika perasaannya menjadi tidak karuan.
“Pak Guntur,” desahnya lirih. Tangannya mengambil foto itu dan menurunkannya. Menatapnya dengan tatapan yang sendu.
Empat tahun yang lalu, Guntur memberikan Naina dan adiknya sebuah tempat berlindung yang nyaman.
Meskipun awalnya mereka menikah karena keterpaksaan, hubungan pernikahan mereka berjalan dengan sangat bahagia. Bagi Naina, Guntur sudah seperti orang tuanya sendiri. Lelaki paruh baya itu begitu menyayanginya.
Kebaikannya tak cukup sampai di sana, Guntur juga membimbing Raffan dengan baik. Karena Raffan begitu giat dan cerdas, Guntur pun mempromosikannya untuk masuk ke dalam perusahaan keluarga.
Setahun yang lalu, Guntur bahkan mengatakan bahwa Naina bisa memutuskan hubungan pernikahan dengannya, namun Naina tidak ingin menjadi orang yang tidak tahu diri dan tidak tahu berterima kasih. Dia pun merawat Guntur layaknya dia merawat orang tuanya sendiri.
Mengusapkan jemarinya di permukaan foto Guntur, Naina teringat bagaimana besarnya cinta yang Guntur miliki kepada mendiang istrinya.
“Mungkin sekarang Pak Guntur sudah senang karena bisa bertemu dengan mendiang istri Bapak. Aku akan menyatukan foto-foto kalian berdua dalam satu bingkai, lalu kembali memajangnya di dinding.” Naina tersenyum, mengambil foto mendiang istri Guntur yang terpajang di dinding ruang tamu itu.
Naina ingin foto-foto mereka bisa disatukan agar dia selalu ingat dengan kesetiaan Pak Guntur terhadap istrinya, juga sebagai tanda terima kasihnya kepada Guntur yang selama ini selalu menyayanginya dan Raffan.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
Namun suara dingin Arka yang tiba-tiba terdengar, membuat Naina terkejut dan foto-foto dalam genggamannya jatuh berantakan.
Bola mata Arka melebar, Naina menjatuhkan foto kedua orang tuanya hingga pecahan kacanya berserakan di lantai. Rahangnya langsung merapat marah, tatapannya tajam mengarah pada Naina yang tubuhnya sudah membeku di tempatnya.
“Arka?” pekik Naina. Dia segera berjongkok dan memunguti foto-foto itu dari lantai.
“Bagus, Naina. Tanah kuburan ayahku masih basah, tapi kau sudah menurunkan foto kedua orang tuaku dari dinding!” sentak Arka dengan murka. Urat lehernya bertonjolan, menandakan kemarahannya.
Naina tergugu. Dia tidak ingin Arka salah paham dengan apa yang dilakukannya.
“Bukan begitu. Aku hanya ingin mengumpulkan foto mereka—“
“Untuk apa?” bentak Arka lagi. “Oh. Aku tahu. Kau mengumpulkan foto-foto itu karena ingin membuangnya, ‘kan? Kau tidak sanggup menatap foto-foto itu karena merasa bersalah sudah mencelakai ayahku dan berniat menguasai kekayaannya?” lagi-lagi Arka menuduhnya dengan keji.
Naina mengepalkan tangannya, hatinya sakit mendapat tuduhan seperti itu.
“Kau pasti ingin sepenuhnya memantapkan posisimu di rumah ini seolah ini adalah keluargamu sendiri. Jangan harap itu terjadi, Naina! Aku tidak akan pernah membiarkan wanita licik sepertimu menguasai kekayaan ayahku,” desis Arka, matanya makin berkilat tajam. Serasa menusuk hingga ke jantung Naina.
“Kau salah paham! Aku hanya ingin menyatukan foto mereka, tapi kau datang dan aku tak sengaja menjatuhkannya. Kenapa kau masih menuduhku yang bukan-bukan? Aku juga tidak merencakan kecelakaan ayahmu.” Naina mencoba membela diri, tetapi Arka tidak mendengarkannya.
Arka malah merebut foto-foto itu dari tangan Naina dengan gerakan kasar, lalu melangkah ke kamar utama.
Setelah sampai, Arka membuka pintu kamar utama yang tak lain adalah kamar milik Guntur.
Akan tetapi, keningnya berkerut heran saat menyadari bahwa di dalam kamar itu hanya ada jejak ayahnya saja. Seolah Guntur hanya hidup sendiri di sana.
Tidak ada satu pun peralatan make-up perempuan di atas meja rias itu. Saat Arka membuka lemari, tidak ada selembar pun pakaian wanita.
Arka pun merasa aneh. “Kenapa tidak ada jejak Naina di kamar ini?” gumamnya bertanya-tanya.
Bola mata Arka melebar, Naina menjatuhkan foto kedua orang tuanya hingga pecahan kacanya berserakan di lantai. Rahangnya langsung merapat marah, tatapannya tajam mengarah pada Naina yang tubuhnya sudah membeku di tempatnya.“Arka?” pekik Naina. Dia segera berjongkok dan memunguti foto-foto itu dari lantai. “Bagus, Naina. Tanah kuburan ayahku masih basah, tapi kau sudah menurunkan foto kedua orang tuaku dari dinding!” sentak Arka dengan murka. Urat lehernya bertonjolan, menandakan kemarahannya.Naina tergugu. Dia tidak ingin Arka salah paham dengan apa yang dilakukannya.“Bukan begitu. Aku hanya ingin mengumpulkan foto mereka—““Untuk apa?” bentak Arka lagi. “Oh. Aku tahu. Kau mengumpulkan foto-foto itu karena ingin membuangnya, ‘kan? Kau tidak sanggup menatap foto-foto itu karena merasa bersalah sudah mencelakai ayahku dan berniat menguasai kekayaannya?” lagi-lagi Arka menuduhnya dengan keji.Naina mengepalkan tangannya, hatinya sakit mendapat tuduhan seperti itu.“Kau pasti ingin
Naina menautkan kedua alisnya mendengar ucapan Arka. “Apa maksudmu? Aku ibu tirimu. Bukankah sudah seharusnya kita berada di satu meja makan yang sama?” tanya Naina dengan polosnya. Sepertinya dia lupa kalau Arka adalah seorang lelaki berhati iblis.Arka tersenyum sinis. “Saat ayahku masih hidup, kau bebas mendapatkan kemewahan dan kenyamanan di rumah ini. Kau bisa duduk di kursi mana pun sesukamu ketika makan. Bahkan kau bisa duduk santai seharian dan menghabiskan waktumu dengan hanya ongkang-ongkang kaki saja. Aku yakin, dulu ayahku pasti sangat memanjakanmu,” ucap Arka sambil memasang raut mengejek.“Tapi sayangnya yang ada di hadapanmu saat ini bukan lah Guntur Sebastian, melainkan putranya yang akan menjadi pemimpin baru di keluarga ini. Kita baru beberapa hari bertemu, tapi kurasa kau cukup tahu seperti apa sifat anak tirimu. Aku tidak sebaik ayahku dan aku tidak akan memanjakanmu seperti yang dilakukannya. Dan ada satu hal penting yang harus kau catat, aku tidak sudi duduk di
Ini adalah kali pertama bagi Arka menempati meja kerja mendiang ayahnya. Arka mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Tangannya meraih sebuah foto yang ada di atas meja kerjanya. Di foto itu, tampak Guntur sedang tersenyum dan menatap ke arah kamera. Senyumnya lebar, menampilkan deretan giginya yang rapi. Melihat foto Guntur, seketika Arka teringat dengan masa lalunya. Dimana Guntur selalu mendidiknya dengan keras. Hal itu lah yang membuat Arka memutuskan untuk menjauh dan melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.Arka mengenang saat-saat dia masih bersama dengan Guntur. Selama mengenal ayahnya, Arka hanya tahu bahwa Guntur adalah ayah yang keras. Tetapi meski begitu, sebagai seorang anak, dia tetap menyayangi ayah kandungnya itu. Maka ketika Guntur mengalami kecelakaan, Arka sangat terkejut dan langsung mengarahkan tuduhannya kepada Naina. Arka merasa ada sesuatu yang janggal dengan kecelakaan yang menimpa ayahnya. “Meskipun aku tidak tahu pasti seperti apa kecelakaan yang membua
Seperti yang Arka perintahkan, Naina akan berdiri di dekat meja makan dan menunggui Arka menghabiskan makanannya. Arka menarik kursi, lalu duduk dan menatap pada makanan yang terhidang di hadapannya. “Fajitas dan Salmon Fish. Bagus! Kau menuruti perintahku untuk belajar memasak makanan luar,” kata Arka saat melihat menu makanan yang dimasak oleh Naina. Matanya melirik ke arah wanita itu sambil melempar senyum miring.Naina terdiam, enggan menanggapi ucapan lelaki itu. Arka mulai memasukkan makanannya ke dalam mulut, lalu mengunyahnya. Namun tak berselang lama, Arka kembali memuntahkannya ke atas piring sambil terbatuk-batuk.“Aarggh! Makanan apa ini?” Arka meringis, segera meneguk air sebanyak-banyaknya. Naina terkejut melihat reaksi Arka. Keningnya berkerut, berpikir apa lagi yang salah dengan makanannya.“Itu makanan luar negeri yang kau minta. Kau bilang lidahmu tidak cocok dengan makanan lokal, bukan? Kau terbiasa makan makanan luar negeri. Lalu kenapa kau masih saja memuntahka
“Apa yang kau bawa itu? Hmm?” mata Arka melirik ke arah rantang makanan yang ada di tangan Naina.Naina mengangkat rantangnya, mendekap di perutnya, kemudian menjawab. “Ini makan siang yang kubawa untukmu.”“Tapi aku tidak pernah minta dibawakan makan siang olehmu. Lagipula aku yakin kalau makanan kantor jauh lebih enak daripada makanan yang kau buat,” sinis Arka.“Kalau begitu, kau tinggal memberikan makanan ini pada OB atau sekretarismu. Tadinya aku hanya ingat kalau aku harus menjadi ibu tiri yang baik, yang melayanimu dan menyiapkan semua keperluanmu. Tapi jika kau tidak suka, terserah. Yang penting aku sudah melakukannya.” Naina menaruh rantang makanan itu di atas meja kerja Arka, mata Arka memperhatikan gerakannya.Setelah itu, Naina kembali berdiri di depan tubuh Arka yang jangkung. Matanya menatap lelaki itu dengan lurus.“Kemarin kau bilang aku harus datang ke kantormu siang ini untuk m
Naina merasa lega begitu melihat Arka datang, dia bisa meminta bantuan lelaki itu untuk membuat semua orang percaya bahwa dirinya tidak bersalah.Dengan langkah tegasnya, Arka berjalan menghampiri mereka.“Presdir, Nyonya Naina telah mencuri uang dari atas mejaku. Uang itu adalah uang yang kau suruh untuk kuberikan kepada anak panti asuhan. Tapi Nyonya Naina tetap tidak mau mengaku, padahal amplop ini adalah buktinya.” Ambar menunjukkan amplop cokelat itu di depan Arka.Arka menatap amplop itu dengan wajah terkejut.Naina mengelak. Menggelengkan kepalanya cepat. “Arka. Tolong katakan pada mereka kalau aku tidak pernah mencuri uang itu. Uang itu aku dapatkan darimu. Kau yang sudah memberikannya untuk biaya pengobatan Raffan. Tolong katakan yang sebenarnya!” pinta Naina, mendekati Arka dan memohon pada lelaki itu.Naina sangat berharap besar pada pembelaan Arka. Naina tahu, hanya Arka yang bisa mengeluarkannya dari masalah ini
Karena tidak tahan, Naina mendorong dada Arka hingga mundur selangkah dan dia segera pergi dari kantor itu.Arka menatap punggung Naina yang menghilang dari pandangannya. Tadi dia melihat air mata Naina yang nyaris tumpah. Wanita itu pasti sakit hati karena dipermalukan olehnya.Dan sialnya, melihat air mata itu, ada sedikit rasa kasihan dalam hati Arka. Tapi Arka segera menepis perasaan itu dan memutuskan untuk kembali ke ruang kerjanya.Arka membuang napas pelan, sebelum akhirnya dia berbalik dan masuk ke dalam kantornya.Tanpa Arka tahu, Rustam tadi mengikutinya dari belakang saat dia merangkul Naina ke luar dari kantor.Rustam menatap pada kepergian Arka yang menghilang di pintu lift, kemudian dia berpikir. “Ternyata Arka juga membenci wanita yang hanya mencari harta keluarga ini.”***Karena jam makan siang sudah tiba, Maurin segera bangkit berdiri dari duduknya dan berjalan cepat. Langkahnya tidak men
Arka baru saja melakukan meeting dengan beberapa karyawan dan petinggi perusahaan. Meeting kali ini membahas tentang bagaimana cara mendapat target pasar yang tepat untuk produk yang akan mereka luncurkan. Dan tak disangka, semua orang yang ada di ruang meeting itu mengangguk dengan tatapan kagum ketika mendengar dan melihat cara berpikir Arka untuk memajukan perusahaan.“Meeting kita selesai. Semuanya boleh bubar dan kembali ke tempat masing-masing. Sampai bertemu di meeting selanjutnya,” ucap Arka mengedarkan pandangannya pada seluruh peserta meeting, sambil sedikit memungkukan tubuh dengan kedua telapak tangan yang bertumpu di tepi meja.“Baik, Presdir.” semuanya berdiri, satu per satu meninggalkan ruang meeting itu. Selesai mereka pergi, barulah Arka keluar dari sana dan disusul oleh Ambar.Arka berjalan menuju ruang kerja CEO. Langkahnya begitu tegas. Orang yang tak mengenal siapa Arka, mungkin akan langsung menyimpulkan jika A
Sepulang dari rumah Pak Sardi, entah mengapa ada perasaan hangat yang perlahan menyelinap ke dalam hati Naina.Naina menyunggingkan senyum tipis membayangkan bahwa Arka telah menyediakan tempat usaha untuk lelaki setengah baya itu, juga uang yang cukup banyak sebagai tanda jasanya yang telah mengabdi selama puluhan tahun di keluarga Arka.“Aku tidak tahu kalau ternyata di balik sifatnya yang sesuka hati, Arka masih memiliki sisi baik dalam dirinya,” gumam Naina sambil mengaduk sup yang sedang ia masak.Naina memang sedang di dapur, menyiapkan makan malam untuk Arka. Ini sudah pukul tujuh malam. Masih ada waktu sampai Arka pulang dari kantor.Akan tetapi, saat Naina masih sibuk mengaduk supnya yang mengepulkan uap panas, tiba-tiba tangan kekar seseorang terasa memeluknya dari belakang. Membuat Naina terhenyak dan menoleh ke belakang.“Arka?!” pekik Naina melebarkan mata, ia tak menyangka jika Arka ternyata pulang lebih cepat
Sampai detik ini, Naina masih merasa bersalah atas apa yang menimpa Pak Sardi.Sambil melamun, Naina membereskan kamar Arka."Kasihan, Pak Sardi. Aku merasa tidak punya wajah saat bertemh dengannya nanti. Tapi bagaimana pun aku harus datang ke rumahnya dan meminta maaf. Karena aku lah penyebab mengapa Arka memecatnya." Naina mendesah pelan, sambil membereskan ranjang kamar Arka dan menepuk-nepuk bantalnya hingga menggembung.Namun, di saat yang sama, Naina menemukan sebuah benda yang berada di bawah bantal.Keningnya berkerut menatap pada benda itu yang tak lain adalah sebuah bingkai foto."Ini 'kan foto Pak Guntur." Naina meraihnya, sejenak menghentikan kegiatannya merapikan ranjang Arka.Kini ia sibuk memandangi foto Guntur yang ditemukannya.Perlahan, seulas bibir Naina mengukir senyum."Apa semalam Arka merindukan ayahnya hingga ia tidur dengan memeluk foto Pak Guntur?" gumam Naina sambil manik matanya masih menatap pada foto mendian
Hari ini Naina merasa ada yang aneh. Tadi pagi ia sempat keluar rumah sebentar untuk menyiram tanaman. Akan tetapi, ia tak melihat Pak Sardi.Padahal biasanya setiap pagi lelaki setengah baya itu selalu duduk di dekat garasi, atau sedang meminum kopi dan akan menyapa Naina saat mata mereka berpapasan.Tapi hari ini, Naina tak melihat batang hidung Pak Sardi. “Nyonya, mengapa melamun?” tepukan pelan Bik Atin di pundak kirinya membuat Naina terhenyak dan mengerjap menatapnya.“Ah, tidak Bik. Tidak apa-apa.” Naina menggeleng, kemudian tersenyum kecil.Tapi ia tak bisa menahan rasa penasarannya untuk tak bertanya pada Bik Atin yang kini kembali menyibukkan diri mencuci sayuran.“Bik, mengapa aku tidak melihat Pak Sardi pagi ini ya? Apa hari ini Pak Sardi tidak bekerja?” tanya Naina dengan raut penasaran menatap Bik Atin.Pertanyaan Naina itu berhasil membuat Bik Atin menghentikan gerakannya mencuci sayuran. Bi
Dalam perjalanan pulang menuju rumahnya, Arka melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Darahnya mendidih saat benaknya kembali teringat pada video yang tadi Rustam tunjukan padanya.rka meremas setir dengan kuat, rahangnya yang tegas itu kini merapat. Bahkan urat-urat lehernya pun bertonjolan, menampilkan emosi yang meluap-luap.“Lihat saja, Naina. Lihat. Apa yang akan kulakukan padamu nanti setelah aku sampai rumah.” Arka mengepalkan sebelah tangannya di atas paha, menarik napas panjang kemudian menghembuskannya dengan kasar.“Sopir itu juga harus mendapatkan balasannya. Beraninya dia tak menjalankan perintahku dengan benar.” Arka masih menggerutu sepanjang jalan, ia mempercepat laju mobilnya, menyalip kendaraan-kendaraah roda empat yang merambat di depan sana.Sampai kemudian ia tiba di depan gerbang rumahnya yang berwarna hitam dan kokoh. Satpam langsung membukakan pintu, membiarkan mobil Arka masuk ke dalam.“Selamat m
Meski telah mengatakan pada Rustam agar tak ikut campur dalam urusannya, tapi Arka tak memungkiri bahwa setelah melihat video itu ia sangat geram. Sekarang sudah waktunya jam makan siang. Namun Arka tak berniat untuk keluar dari ruang kerjanya sedikit pun. Ia lebih memilih menetralkan amarahnya di balik meja kerjanya. Sambil menatap tajam ke depan sana dengan bola mata yang menggelap karena amarah.“Naina, kau berani bermain-main denganku. Lihat saja akibat apa yang akan kau dapatkan karena berani bertemu dengannya di belakangku,” gumam Arka sambil menautkan kedua tangannya di bawah dagu.***Di jam makan siang, biasanya Maurin makan siang di pantry yang khusus untuk para pekerja di lantai atas.api karena hari ini Maurin sudah janji bertemu dengan teman-temannya dulu ketika ia masih menjadi karyawan biasa, maka Maurin pun memutuskan untuk makan siang di kantin perusahaan dan bergabung dengan mereka.Ada sekitar empat oran
Arka baru saja selesai meeting. Ia melangkah keluar dari ruang meeting, dan berjalan menuju lift untuk naik ke ruang kerja CEO.Akan tetapi, Rustam yang juga ikut meeting, segera mempercepat langkah dan menyusul Arka dari belakang.Sampai kemudian ia bisa menyentuh pundak kanan Arka dan membuat Arka menghentikan langkah sejenak lalu menatapnya dengan kening yang berkerut.“Paman?” “Arka, kita ke ruang kerjamu sekarang. Ada sesuatu yang ingin Paman beritahukan padamu.” Rustam berkata, wajahnya terlihat begitu serius.Hingga menubuhkan kernyitan di kening Arka. Benak Arka menebak-nebak tentang apa yang ingin dikatakan oleh pamannya itu.“Sepenting apa?” Arka cukup sibuk hari ini, tentu jika apa yang hendak dikatakan Rustam tidaklah penting, lebih baik Arka mengerjakan pekerjaannya.“Ini sangat penting. Kau harus mengertahuinya.” namun wajah Rustam masih terlihat serius, membuat Arka mengang
Sepulang dari rumah sakit, Ammar memutuskan untuk mengajak Naina makan siang di sebuah restoran yang jaraknya tak jauh dari rumah sakit.“Restorannya bagus,” komentar Naina sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling, saat mereka jalan bersisian mencari meja yang kosong dan nyaman.“Kau belum pernah ke sini?” tanya Ammar, membuat Naina menoleh dan menggeleng sebagai jawaban.“Belum.”“Kebetulan sekali. Berarti sangat tepat aku mengajakmu kemari. Karena menu di restoran ini rasanya sangat enak.” Ammar menyunggingkan senyum lebar.Sebenarnya Naina merasa tidak enak hati dengan Pak Sardi karena ia pergi diam-diam bersama Ammar untuk makan siang. Tadinya Naina mau menolak ajakan Ammar, tapi Ammar membujuknya dan menatapnya dengan sorot memohon.Naina akhirnya setuju juga. Selain karena letak restorannya juga tak jauh dari rumah sakit dan Ammar berjanji akan mengantarnya kembali ke rumah sakit karena Pak Sar
Maurin akan mengantarkan laporan ke ruang kerja Arka. Ia pun mengetuk pintu sebanyak tiga kali, setelahnya terdengar sahutan dari dalam.Maurin mendorong daun pintu dan melangkah masuk. Akan tetapi, gerakan kakinya terhenti sejenak saat melihat pemandangan di depannya.Maurin meneguk ludahnya susah payah. Naina dan Arka sedang duduk di sofa panjang yang ada di pojok ruangan, tapi dengan keadaan kemeja Arka yang sedikit kusut, juga rambut Naina yang tampak tak serapi sebelumnya.Bahkan sekilas Maurin melihat lipstick Naina yang agak berantakan, sebelum Naina cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain.“Kenapa, Maurin?” pertanyaan Arka membuyarkan lamunan Maurin.Maurin menahan kesal di dalam hati, semua yang terlihat saat ini cukup menguatkan kecurigaannya. Seketika cemburu makin menguasai dirinya.Meski begitu, Maurin tetap menampilkan wajah biasa saja, seakan tak mengerti apa-apa.“Maaf, Pak Presdir. Aku ingin mengan
Selama perjalanan menuju ke kantor, Naina merasa resah dalam hatinya. Bertanya-tanya tentang apa yang akan Arka lakukan kali ini?Naina melamun sembari membuang pandangan ke kaca mobil, menatap pada pohon-pohon tinggi yang berjejer dan menjulang di pinggir jalan.Tanpa sadar, mobil pun berhenti di depan loby perusahaan Arka.“Maaf, Nyonya. Kita sudah sampai,” ucap sopir membuyarkan Naina dari lamunannya.Mengerjap pelan, Naina kemudian menatap pada Pak Sardi lantas menganggukan kepala.“Iya, Pak. Terima kasih.” Naina pun turun saat Pak Sardi membukakan pintu untuknya.Kini tungkai yang jenjang dan mulus itu menginjak teras depan kantor Arka yang terlihat megah.Naina sempat memberikan senyum kecil pada kedua security yang berdiri di depan dan menyapanya dengan ramah. Sebelum kemudian Naina mengayun langkah memasuki perusahaan itu.Naina menaiki lift untuk sampai di lantai atas, tempat di mana ruang ker