Tadinya Naina pikir Arka begitu baik saat mencegah dua orang security yang akan mengusirnya. Tetapi sekarang Naina menarik kembali pemikirannya, Arka tetap lah seorang lelaki berhati iblis.
Naina terdiam, menimang-nimang keputusannya. Tetap tinggal di rumah besar itu bersama dengan Arka? Naina sudah melihat sifat iblis dalam diri lelaki itu. Naina ragu apakah dirinya akan sanggup berhadapan dengan Arka setiap hari? Lelaki itu pasti akan terus menyusahkannya.
“Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak tahu apakah aku harus menerima tawaran Arka atau menolaknya. Tapi jika aku menolak, bagaimana dengan Raffan? Saat ini dia masih berjuang untuk sembuh. Sementara biaya pengobatannya sangat mahal,” desah Naina dalam hati.
Naina sangat tidak tega melihat tubuh Raffan yang hanya bisa terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Dia teringat bagaimana ceria dan semangatnya Raffan dalam menjalani hidupnya sebelum kecelakaan nahas itu menimpanya dan merenggut nyawa Guntur.
Mengingat Guntur, seketika Naina menelan salivanya kasar.
“Selama bertahun-tahun, Pak Guntur sudah sangat baik padaku dan Raffan. Dia begitu menyayangi kami. Sekarang setelah dia meninggal, aku harus menebus semua kebaikannya dengan menjadi ibu yang baik untuk merawat Arka,” lanjut Naina dalam batinnya.
Setelah itu, Naina mengangkat kepalanya kembali menatap Arka. Lantas ia berkata. “Aku akan menjadi ibu tiri yang baik untukmu, tapi kau juga harus berjanji untuk tidak mengusir adikku dari rumah sakit keluargamu dan tetap membiayai pengobatannya.”
Senyum miring langsung tercetak di wajah tampan Arka.
“Bagus! Soal itu kau tidak perlu khawatir. Selama kau bisa menjadi ibu tiri yang baik di rumahku, aku akan tetap memberimu uang untuk biaya pengobatan adikmu,” ucap Arka lalu tersenyum puas.
Naina merasa sedikit lega, meskipun ia sadar bahwa keputusan yang diambilnya akan membuatnya bertemu setiap hari dengan iblis ini.
“Kalau begitu aku mengucapkan selamat karena kau dan aku berhasil mempertahankan wasiat yang ditinggalkan oleh ayahku,” ucap Arka sambil menjabat tangan Naina.
***
Pihak rumah sakit tidak jadi mengusir Raffan. Naina kembali mengunjungi adiknya untuk memastikan Raffan tetap berada di ranjang rawatnya.
Naina merasa lega karena Arka menepati janjinya. Raffan masih terbaring di sana dengan peralatan medis yang masih menghias tubuhnya.
“Kakak sudah takut saat tahu mereka akan mengusirmu dari rumah sakit ini. Tapi sekarang kakak merasa tenang, kau akan tetap mendapat pengobatan di sini sampai keadaanmu kembali pulih.” berdiri, Naina menunduk menatap wajah tampan adiknya.
Naina tidak tahu apakah Raffan bisa mendengar setiap kalimat yang dia ucapkan atau tidak. Tetapi Naina selalu merasa tenang dan nyaman setiap kali berbicara dengan Raffan meski hanya kebisuan yang akan menjawabnya.
“Kakak tidak jadi pergi, Raffan. Iblis itu menyuruh kakak untuk tetap tinggal di sana. Sebenarnya kakak tidak ingin berurusan dengannya. Kakak ingin kita pergi dan memulai kehidupan yang lebih baik. Tapi semua itu tidak akan mungkin terjadi selama kau masih terbaring koma di rumah sakit. Maka dari itu kakak terpaksa menyetujui permintaan Arka untuk tinggal bersama dengannya.”
Naina menarik napas dalam saat benaknya membayangkan hari-harinya ke depan pasti akan terasa sangat berat. Naina sangsi jika Arka akan membiarkannya hidup tenang.
“Tapi demi kesembuhanmu, kakak akan melakukannya. Meskipun harus hidup satu atap dengan lelaki berhati iblis seperti dia,” lanjutnya kemudian meraih punggung tangan Raffan lalu menciumnya dengan lembut dan dalam.
Naina amat rindu, dia tak sabar menanti Raffan sadar dan bisa bercanda lagi dengannya.
Setelah menenangkan suasana hatinya dengan menjenguk adiknya, Naina memutuskan untuk pulang ke rumah Guntur.
Tiba di sana, Naina merasa suasananya sudah berbeda. Biasanya hatinya akan sangat nyaman berada di rumah itu, tapi kali ini berbanding terbalik. Naina merasa gelisah, lebih lagi saat bayangan wajah Arka melintas dalam benaknya.
Naina tidak bisa membayangkan akan semencekam apa suasana rumah ini saat Arka menggantikan Guntur sebagai kepala keluarga.
Melewati ruang tamu, langkahnya terhenti seketika. Matanya menatap ke dinding, dimana foto Guntur yang sedang tersenyum lebar menatap ke arah kamera, terpajang di sana. Seketika perasaannya menjadi tidak karuan.
“Pak Guntur,” desahnya lirih. Tangannya mengambil foto itu dan menurunkannya. Menatapnya dengan tatapan yang sendu.
Empat tahun yang lalu, Guntur memberikan Naina dan adiknya sebuah tempat berlindung yang nyaman.
Meskipun awalnya mereka menikah karena keterpaksaan, hubungan pernikahan mereka berjalan dengan sangat bahagia. Bagi Naina, Guntur sudah seperti orang tuanya sendiri. Lelaki paruh baya itu begitu menyayanginya.
Kebaikannya tak cukup sampai di sana, Guntur juga membimbing Raffan dengan baik. Karena Raffan begitu giat dan cerdas, Guntur pun mempromosikannya untuk masuk ke dalam perusahaan keluarga.
Setahun yang lalu, Guntur bahkan mengatakan bahwa Naina bisa memutuskan hubungan pernikahan dengannya, namun Naina tidak ingin menjadi orang yang tidak tahu diri dan tidak tahu berterima kasih. Dia pun merawat Guntur layaknya dia merawat orang tuanya sendiri.
Mengusapkan jemarinya di permukaan foto Guntur, Naina teringat bagaimana besarnya cinta yang Guntur miliki kepada mendiang istrinya.
“Mungkin sekarang Pak Guntur sudah senang karena bisa bertemu dengan mendiang istri Bapak. Aku akan menyatukan foto-foto kalian berdua dalam satu bingkai, lalu kembali memajangnya di dinding.” Naina tersenyum, mengambil foto mendiang istri Guntur yang terpajang di dinding ruang tamu itu.
Naina ingin foto-foto mereka bisa disatukan agar dia selalu ingat dengan kesetiaan Pak Guntur terhadap istrinya, juga sebagai tanda terima kasihnya kepada Guntur yang selama ini selalu menyayanginya dan Raffan.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
Namun suara dingin Arka yang tiba-tiba terdengar, membuat Naina terkejut dan foto-foto dalam genggamannya jatuh berantakan.
Bola mata Arka melebar, Naina menjatuhkan foto kedua orang tuanya hingga pecahan kacanya berserakan di lantai. Rahangnya langsung merapat marah, tatapannya tajam mengarah pada Naina yang tubuhnya sudah membeku di tempatnya.
“Arka?” pekik Naina. Dia segera berjongkok dan memunguti foto-foto itu dari lantai.
“Bagus, Naina. Tanah kuburan ayahku masih basah, tapi kau sudah menurunkan foto kedua orang tuaku dari dinding!” sentak Arka dengan murka. Urat lehernya bertonjolan, menandakan kemarahannya.
Naina tergugu. Dia tidak ingin Arka salah paham dengan apa yang dilakukannya.
“Bukan begitu. Aku hanya ingin mengumpulkan foto mereka—“
“Untuk apa?” bentak Arka lagi. “Oh. Aku tahu. Kau mengumpulkan foto-foto itu karena ingin membuangnya, ‘kan? Kau tidak sanggup menatap foto-foto itu karena merasa bersalah sudah mencelakai ayahku dan berniat menguasai kekayaannya?” lagi-lagi Arka menuduhnya dengan keji.
Naina mengepalkan tangannya, hatinya sakit mendapat tuduhan seperti itu.
“Kau pasti ingin sepenuhnya memantapkan posisimu di rumah ini seolah ini adalah keluargamu sendiri. Jangan harap itu terjadi, Naina! Aku tidak akan pernah membiarkan wanita licik sepertimu menguasai kekayaan ayahku,” desis Arka, matanya makin berkilat tajam. Serasa menusuk hingga ke jantung Naina.
“Kau salah paham! Aku hanya ingin menyatukan foto mereka, tapi kau datang dan aku tak sengaja menjatuhkannya. Kenapa kau masih menuduhku yang bukan-bukan? Aku juga tidak merencakan kecelakaan ayahmu.” Naina mencoba membela diri, tetapi Arka tidak mendengarkannya.
Arka malah merebut foto-foto itu dari tangan Naina dengan gerakan kasar, lalu melangkah ke kamar utama.
Setelah sampai, Arka membuka pintu kamar utama yang tak lain adalah kamar milik Guntur.
Akan tetapi, keningnya berkerut heran saat menyadari bahwa di dalam kamar itu hanya ada jejak ayahnya saja. Seolah Guntur hanya hidup sendiri di sana.
Tidak ada satu pun peralatan make-up perempuan di atas meja rias itu. Saat Arka membuka lemari, tidak ada selembar pun pakaian wanita.
Arka pun merasa aneh. “Kenapa tidak ada jejak Naina di kamar ini?” gumamnya bertanya-tanya.
Bola mata Arka melebar, Naina menjatuhkan foto kedua orang tuanya hingga pecahan kacanya berserakan di lantai. Rahangnya langsung merapat marah, tatapannya tajam mengarah pada Naina yang tubuhnya sudah membeku di tempatnya.“Arka?” pekik Naina. Dia segera berjongkok dan memunguti foto-foto itu dari lantai. “Bagus, Naina. Tanah kuburan ayahku masih basah, tapi kau sudah menurunkan foto kedua orang tuaku dari dinding!” sentak Arka dengan murka. Urat lehernya bertonjolan, menandakan kemarahannya.Naina tergugu. Dia tidak ingin Arka salah paham dengan apa yang dilakukannya.“Bukan begitu. Aku hanya ingin mengumpulkan foto mereka—““Untuk apa?” bentak Arka lagi. “Oh. Aku tahu. Kau mengumpulkan foto-foto itu karena ingin membuangnya, ‘kan? Kau tidak sanggup menatap foto-foto itu karena merasa bersalah sudah mencelakai ayahku dan berniat menguasai kekayaannya?” lagi-lagi Arka menuduhnya dengan keji.Naina mengepalkan tangannya, hatinya sakit mendapat tuduhan seperti itu.“Kau pasti ingin
Naina menautkan kedua alisnya mendengar ucapan Arka. “Apa maksudmu? Aku ibu tirimu. Bukankah sudah seharusnya kita berada di satu meja makan yang sama?” tanya Naina dengan polosnya. Sepertinya dia lupa kalau Arka adalah seorang lelaki berhati iblis.Arka tersenyum sinis. “Saat ayahku masih hidup, kau bebas mendapatkan kemewahan dan kenyamanan di rumah ini. Kau bisa duduk di kursi mana pun sesukamu ketika makan. Bahkan kau bisa duduk santai seharian dan menghabiskan waktumu dengan hanya ongkang-ongkang kaki saja. Aku yakin, dulu ayahku pasti sangat memanjakanmu,” ucap Arka sambil memasang raut mengejek.“Tapi sayangnya yang ada di hadapanmu saat ini bukan lah Guntur Sebastian, melainkan putranya yang akan menjadi pemimpin baru di keluarga ini. Kita baru beberapa hari bertemu, tapi kurasa kau cukup tahu seperti apa sifat anak tirimu. Aku tidak sebaik ayahku dan aku tidak akan memanjakanmu seperti yang dilakukannya. Dan ada satu hal penting yang harus kau catat, aku tidak sudi duduk di
Ini adalah kali pertama bagi Arka menempati meja kerja mendiang ayahnya. Arka mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Tangannya meraih sebuah foto yang ada di atas meja kerjanya. Di foto itu, tampak Guntur sedang tersenyum dan menatap ke arah kamera. Senyumnya lebar, menampilkan deretan giginya yang rapi. Melihat foto Guntur, seketika Arka teringat dengan masa lalunya. Dimana Guntur selalu mendidiknya dengan keras. Hal itu lah yang membuat Arka memutuskan untuk menjauh dan melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.Arka mengenang saat-saat dia masih bersama dengan Guntur. Selama mengenal ayahnya, Arka hanya tahu bahwa Guntur adalah ayah yang keras. Tetapi meski begitu, sebagai seorang anak, dia tetap menyayangi ayah kandungnya itu. Maka ketika Guntur mengalami kecelakaan, Arka sangat terkejut dan langsung mengarahkan tuduhannya kepada Naina. Arka merasa ada sesuatu yang janggal dengan kecelakaan yang menimpa ayahnya. “Meskipun aku tidak tahu pasti seperti apa kecelakaan yang membua
Seperti yang Arka perintahkan, Naina akan berdiri di dekat meja makan dan menunggui Arka menghabiskan makanannya. Arka menarik kursi, lalu duduk dan menatap pada makanan yang terhidang di hadapannya. “Fajitas dan Salmon Fish. Bagus! Kau menuruti perintahku untuk belajar memasak makanan luar,” kata Arka saat melihat menu makanan yang dimasak oleh Naina. Matanya melirik ke arah wanita itu sambil melempar senyum miring.Naina terdiam, enggan menanggapi ucapan lelaki itu. Arka mulai memasukkan makanannya ke dalam mulut, lalu mengunyahnya. Namun tak berselang lama, Arka kembali memuntahkannya ke atas piring sambil terbatuk-batuk.“Aarggh! Makanan apa ini?” Arka meringis, segera meneguk air sebanyak-banyaknya. Naina terkejut melihat reaksi Arka. Keningnya berkerut, berpikir apa lagi yang salah dengan makanannya.“Itu makanan luar negeri yang kau minta. Kau bilang lidahmu tidak cocok dengan makanan lokal, bukan? Kau terbiasa makan makanan luar negeri. Lalu kenapa kau masih saja memuntahka
“Apa yang kau bawa itu? Hmm?” mata Arka melirik ke arah rantang makanan yang ada di tangan Naina.Naina mengangkat rantangnya, mendekap di perutnya, kemudian menjawab. “Ini makan siang yang kubawa untukmu.”“Tapi aku tidak pernah minta dibawakan makan siang olehmu. Lagipula aku yakin kalau makanan kantor jauh lebih enak daripada makanan yang kau buat,” sinis Arka.“Kalau begitu, kau tinggal memberikan makanan ini pada OB atau sekretarismu. Tadinya aku hanya ingat kalau aku harus menjadi ibu tiri yang baik, yang melayanimu dan menyiapkan semua keperluanmu. Tapi jika kau tidak suka, terserah. Yang penting aku sudah melakukannya.” Naina menaruh rantang makanan itu di atas meja kerja Arka, mata Arka memperhatikan gerakannya.Setelah itu, Naina kembali berdiri di depan tubuh Arka yang jangkung. Matanya menatap lelaki itu dengan lurus.“Kemarin kau bilang aku harus datang ke kantormu siang ini untuk m
Naina merasa lega begitu melihat Arka datang, dia bisa meminta bantuan lelaki itu untuk membuat semua orang percaya bahwa dirinya tidak bersalah.Dengan langkah tegasnya, Arka berjalan menghampiri mereka.“Presdir, Nyonya Naina telah mencuri uang dari atas mejaku. Uang itu adalah uang yang kau suruh untuk kuberikan kepada anak panti asuhan. Tapi Nyonya Naina tetap tidak mau mengaku, padahal amplop ini adalah buktinya.” Ambar menunjukkan amplop cokelat itu di depan Arka.Arka menatap amplop itu dengan wajah terkejut.Naina mengelak. Menggelengkan kepalanya cepat. “Arka. Tolong katakan pada mereka kalau aku tidak pernah mencuri uang itu. Uang itu aku dapatkan darimu. Kau yang sudah memberikannya untuk biaya pengobatan Raffan. Tolong katakan yang sebenarnya!” pinta Naina, mendekati Arka dan memohon pada lelaki itu.Naina sangat berharap besar pada pembelaan Arka. Naina tahu, hanya Arka yang bisa mengeluarkannya dari masalah ini
Karena tidak tahan, Naina mendorong dada Arka hingga mundur selangkah dan dia segera pergi dari kantor itu.Arka menatap punggung Naina yang menghilang dari pandangannya. Tadi dia melihat air mata Naina yang nyaris tumpah. Wanita itu pasti sakit hati karena dipermalukan olehnya.Dan sialnya, melihat air mata itu, ada sedikit rasa kasihan dalam hati Arka. Tapi Arka segera menepis perasaan itu dan memutuskan untuk kembali ke ruang kerjanya.Arka membuang napas pelan, sebelum akhirnya dia berbalik dan masuk ke dalam kantornya.Tanpa Arka tahu, Rustam tadi mengikutinya dari belakang saat dia merangkul Naina ke luar dari kantor.Rustam menatap pada kepergian Arka yang menghilang di pintu lift, kemudian dia berpikir. “Ternyata Arka juga membenci wanita yang hanya mencari harta keluarga ini.”***Karena jam makan siang sudah tiba, Maurin segera bangkit berdiri dari duduknya dan berjalan cepat. Langkahnya tidak men
Arka baru saja melakukan meeting dengan beberapa karyawan dan petinggi perusahaan. Meeting kali ini membahas tentang bagaimana cara mendapat target pasar yang tepat untuk produk yang akan mereka luncurkan. Dan tak disangka, semua orang yang ada di ruang meeting itu mengangguk dengan tatapan kagum ketika mendengar dan melihat cara berpikir Arka untuk memajukan perusahaan.“Meeting kita selesai. Semuanya boleh bubar dan kembali ke tempat masing-masing. Sampai bertemu di meeting selanjutnya,” ucap Arka mengedarkan pandangannya pada seluruh peserta meeting, sambil sedikit memungkukan tubuh dengan kedua telapak tangan yang bertumpu di tepi meja.“Baik, Presdir.” semuanya berdiri, satu per satu meninggalkan ruang meeting itu. Selesai mereka pergi, barulah Arka keluar dari sana dan disusul oleh Ambar.Arka berjalan menuju ruang kerja CEO. Langkahnya begitu tegas. Orang yang tak mengenal siapa Arka, mungkin akan langsung menyimpulkan jika A