Sebelum Guntur kecelakaan, perusahaan Retro sedang berada diambang kebangkrutan. Karena menumpuknya barang hasil produksi di gudang, sementara target penjualan mereka kian menurun.
Hari ini seluruh karyawan diperintahkan untuk berkumpul di aula kantor. Mereka berbaris dengan rapi. Menurut kabar yang berhembus, kantor ini akan kedatangan CEO baru. Yang tak lain adalah putra tunggal dari Guntur Sebastian.
“Bukankah putra presiden ada di Amerika?”
“Aku tidak peduli siapa CEO berikutnya, aku hanya peduli jika gajiku akan naik!"
“Aku pikir Rustam akan menggantikan kakaknya sebagai CEO baru.”
Segelintir dari mereka saling berbisik-bisik, penasaran dengan sosok pemimpin baru di perusahaan mereka.
Termasuk dengan Maurin yang juga ikut berbaris di antara ratusan karyawan itu.
Saat itu pintu aula terbuka, semua mata langsung tertuju ke sana. Semua orang yang berdiri di aula terkesiap melihat sosok tampan yang saat ini berjalan tegas dan berwibawa.
Sosok tampan itu adalah Arka. Di samping kirinya ada Rustam—pamannya yang menjabat sebagai wakil CEO. Sedangkan di samping kanannya ada Teddy—manager di perusahaan itu.
Ini pertama kalinya Arka menginjakkan kaki lagi di perusahaan milik keluarganya setelah sepuluh tahun tinggal di Amerika.
Para karyawan wanita menelan ludah, bertanya-tanya dalam hati. Benarkah lelaki tampan itu adalah CEO baru mereka?
Maurin bahkan membuka mulutnya, terperangah melihat sosok Arka yang begitu memesona.
Langkah Arka baru berhenti tepat di hadapan semua karyawan yang masih menatapnya dengan raut penuh kekaguman.
Sesaat Arka mengedarkan pandangannya, melihat wajah-wajah karyawannya. Kemudian ia berkata dengan suara yang lantang.
“Perkenalkan, namaku Arka Sebastian. Mulai hari ini aku akan menggantikan ayahku sebagai CEO di RETRO Company. Aku harap kita semua bisa membangun kerja sama yang baik untuk tidak membiarkan perusahaan ini karam.”
Semua karyawan tersenyum menatap Arka. Meraka berharap, Arka bisa menjadi pemimpin yang dapat diandalkan seperti halnya Guntur.
Maurin tersenyum lebih lebar, ia tak bisa melepaskan matanya dari Arka.
“Jadi ini yang namanya Arka putranya Pak Guntur? Ya Tuhan. Aku tidak tahu kalau dia setampan ini. Aku bisa betah di kantor jika CEO-nya adalah dia,” jerit Maurin dalam hati.
Padahal saat di rumah sakit, Liana mengatakan kalau Arka seperti iblis. Maurin sangat tidak percaya setelah melihat sosok Arka secara nyata. Mana ada iblis setampan dia.
Di aula kantor yang megah itu, semua orang mendengarkan Arka yang sedang berbicara di depan mereka.
“Aku akan mengatur kembali alur kerja perusahaan. Agar kredibilitas Retro kembali bagus. Dengan begitu, perusahaan mitra akan memiliki rasa kepercayaan bahwa Retro mampu menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan, juga kembali menguntungkan untuk mereka,” ucap Arka di hadapan semua karyawannya.
Tutur katanya terdengar lugas, menunjukan kewibawaannya sebagai seorang pemimpin. Arka ingin membangun kepercayaan para karyawan atas dirinya.
Tak berselang lama, pintu aula kantor dibuka. Semua mata menoleh, Arka mengira bahwa yang datang adalah sekretarisnya. Namun dia terkejut saat melihat Naina lah yang datang. Wanita itu memaksa masuk ke dalam aula untuk menemui Arka, sementara seorang security berusaha menahannya.
“Lepaskan aku! Aku ingin bertemu dengan iblis itu!” teriak Naina, mencoba melepaskan tangannya yang dicekal oleh security berbadan tegap itu.
Naina berteriak seperti orang gila. Arka menyipitkan mata melihat Naina yang membuat kegaduhan di aula kantornya. Untuk apa wanita itu datang menemuinya?
“Nona. Jangan membuat kekacauan! Pak Arka sedang sibuk. Sebaiknya Anda pulang.” security itu menarik tangan Naina. Tapi dengan cepat Naina menggigitnya, membuatnya memekik terkejut dan kesakitan memegangi tangannya sendiri.
Naina memanfaatkan itu untuk berlari menghampiri Arka, lalu menatapnya dengan wajah marah.
“Dasar iblis! Tidak punya hati! Kau memang iblis berdarah dingin! Aku tidak percaya, ternyata di dunia ini ada orang yang kejam sepertimu!” Naina memaki sambil menunjuk-nunjuk wajah Arka.
Semua eksekutif perusahaan saling menatap dengan bingung. Tak terkecuali dengan para karyawan yang ada di sana. Dalam hati mereka bertanya-tanya, entah apa yang sudah dilakukan oleh boss mereka hingga Naina tiba-tiba memaksa masuk dan memakinya dengan sebutan iblis.
Maurin sampai mengerutkan keningnya melihat Naina yang menatap Arka dengan raut marah. Dia terkejut, ini pertama kalinya dia melihat Naina membentak seseorang dengan penuh emosi. Dia pun merasa penasaran dengan apa yang sudah Arka lakukan terhadap Naina.
Karena tidak ingin Naina membuat kegaduhan dan terus memakinya di hadapan seluruh karyawannya, Arka pun menarik tangan Naina tanpa kata, membawanya keluar dari aula itu. Rustam yang sangat tidak suka pada Naina pun mengikuti langkah mereka dari belakang.
Naina mencoba melepaskan diri, ia marah pada Arka. Tetapi Arka baru berhenti menarik tangannya setelah mereka sampai di depan pintu ruang rapat.
“Masuk!” perintah Arka dengan suara baritone miliknya, sambil membukakan pintu itu dengan sedikit kasar.
Meski kesal, Naina menurut dan masuk ke dalam ruang rapat itu dan Arka menyusul setelahnya.
“Apa yang kau katakan?” tanya Arka begitu ia menutup pintu, kedua alisnya bertaut menatap Naina.
“Jangan berpura-pura bodoh! Seakan kau tidak tahu apa-apa. Adikku sedang koma, tapi kau tega menyuruh pihak rumah sakit untuk mengusirnya!” sentak Naina keras, nadanya penuh emosi.
Wajah Naina sudah memerah, kedua tangannya yang mengepal di sisi tubuh menandakan kemarahan yang meluap-luap. Dan Arka tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Naina.
Mengusir Raffan? Arka tak pernah merasa melakukan itu. Matanya menatap Naina dengan datar.
Saat itu, Rustam membuka pintu ruang rapat yang memang tidak dikunci oleh Arka. Lantas dengan wajah kesal, dia berkata pada Naina.
“Pelankan bicaramu di depan Arka! Kau tidak pantas berkata kasar padanya. Asal kau tahu, aku lah yang sudah menyuruh pihak rumah sakit untuk mengusir adikmu. Pak Guntur sudah meninggal, jadi kau dan adikmu sudah tidak ada lagi hubungannya dengan keluarga kami!” Rustam balas menyentak Naina.
Terlihat dari raut wajahnya, Rustam memang tidak pernah menyukai Naina.
Naina terkejut mendengar perkataan Rustam, begitu pun dengan Arka.
“Sekarang juga kau harus pergi dari sini. Aku akan memanggil security untuk mengusirmu!” Rustam tidak main-main dengan ucapannya. Setelah mengatakan itu, dia langsung berteriak memanggil security.
Melihat dua orang security masuk melewati pintu dan mendekatinya, Naina langsung menggelengkan kepalanya panik, langkahnya mundur ke belakang. Naina tidak mau pulang sebelum dia memastikan adiknya tidak akan diusir dari rumah sakit keluarga Arka.
“Tidak! Lepaskan aku! Aku tidak mau pulang!” jerit Naina mencoba melepaskan cekalan tangan kedua security itu dari kedua lengannya.
“Tunggu! Lepaskan dia!”
Perintah Arka membuat kedua security itu melepaskan tangan mereka dari Naina.
“Kalian pergi saja, biar aku yang mengurus wanita ini,” ucap Arka pada kedua security itu, lalu matanya berakhir pada wajah Naina.
“Baik, Tuan.”
Rustam melebarkan mata, ia menatap Arka dengan tak habis pikir.
“Arka! Kenapa kau menahan mereka? Kenapa tidak membiarkan mereka mengusir Naina? Apa kau lupa, dia sudah membuat kekacauan dan memakimu di hadapan banyak orang. Dia ingin mempermalukanmu. Harusnya biarkan saja dua security itu menyeret Naina dan melemparnya keluar dari sini! Mungkin dulu Naina bisa masuk ke perusahaan ini sesuka hati saat ayahmu masih ada. Sekarang ayahmu sudah meninggal, jadi dia tidak pantas lagi menginjakkan kakinya di perusahaan ini!” tak setuju, Rustam pun protes dengan sikap Arka.
“Ayahku memang sudah meninggal. Tapi aku belum, jadi Paman tidak perlu ikut campur dalam masalah keluargaku!” tegas Arka memberikan tatapan tajamnya pada Rustam.
Rustam tidak menyangka kalau Arka akan berani membantahnya. Rustam lupa, Arka bukan lah keponakannya yang dulu. Sekarang dia sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa dengan pendiriannya yang tegas. Arka akan memutuskan segala sesuatu dengan kehendaknya sendiri.
Merasa dipermalukan, Rustam memandang Arka dengan sorot mata dingin. Sebelum kemudian ia pergi meninggalkan aula itu sambil membanting pintu.
Sekarang Naina memandang Arka dengan tatapan yang melembut, ia merasa tidak enak hati dengan Arka karena sudah menuduhnya yang bukan-bukan.
Naina menelan ludahnya kasar, lalu matanya kembali naik menatap wajah tegas Arka yang balas menatap Naina dengan mata dinginnya.
“Terima kasih karena kau sudah mencegah mereka mengusirku,” ucap Naina, lalu menunduk.
Sesaat Arka memperhatikan Naina. Tapi kemudian Arka tersenyum dan bertanya. “Bukankah saat di aula tadi kau menyebutku iblis di depan semua orang? Lalu kenapa sekarang kau malah berterima kasih kepada iblis ini?” alisnya terangkat sebelah pada Naina.
Naina menggigit bibir bawahnya. Dia merasa malu pada Arka. Rustam lah yang sudah mengusir adiknya dari rumah sakit, tetapi dia malah memarahi Arka yang tidak tahu apa-apa.
“Aku minta maaf. Tadinya aku pikir kau yang sudah mengusir adikku dari rumah sakit karena kau membenciku. Tapi ternyata pamanmu yang melakukannya,” ucap Naina dengan raut bersalah yang tidak dibuat-buat.
Mendengar permintaan maaf Naina, Arka menyunggingkan senyum miring.
“Kau tidak perlu meminta maaf. Karena sebenarnya aku memang ingin mengusir adikmu dari rumah sakit. Dia yang sudah menyetiri mobil ayahku dan menyebabkan kecelakaan itu. Sudah lama aku berniat melakukannya, tapi ternyata pamanku bertindak lebih cepat dariku,” ungkap Arka yang seketika membuat mata Naina membola. Kepalanya menggeleng cepat, takut jika Arka akan benar-benar mengusir adiknya dari rumah sakit itu.
“Jangan! Jangan lakukan itu! Adikku sedang koma. Apa kau tidak memiliki sedikit saja rasa kemanusiaan dalam hatimu untuk membiarkan Raffan tetap mendapatkan perawatan di sana? Saat ini hidupnya bergantung pada peralatan medis, bagaimana dia akan hidup jika kau mengusirnya dan menghentikan perawatannya?”
Arka menarik sebelah ujung bibirnya, tersenyum puas melihat ketakutan di wajah Naina.
Naina takut kondisi Raffan akan semakin parah atau bahkan tidak akan tertolong jika Arka mengusirnya dari rumah sakit.
Untuk itu, Naina pun memohon di depan Arka.
Arka berpangku tangan di depan Naina. “Aku akan membiarkan adikmu tetap dirawat di rumah sakit, tapi—“ dengan sengaja Arka menggantung ucapannya. Membuat Naina tidak sabar mendengar kalimat selanjutnya yang akan dilontarkan oleh Arka.
“Tapi apa?” tanya Naina dengan cemas.
Arka menikmati pemandangan wajah Naina yang memelas kepadanya. Senang sekali rasanya mempermainkan wanita itu.
“Kau harus tetap tinggal di rumah peninggalan ayahku dan menjadi ibu tiriku,” lanjut Arka.
Mendengar itu, Naina sedikit terkejut, wajahnya terlihat malu. Ternyata Arka hanya menginginkannya untuk tetap menjadi ibu tirinya.
Awalnya Naina merasa ragu karena Guntur sudah meninggal. Dia tak merasa memiliki hak untuk tinggal di sana. Terlebih Arka adalah lelaki dewasa, bagaimana Naina akan berperan sebagai ibu dari anak tiri yang bahkan usianya lebih tua darinya?
Tapi demi Raffan tetap mendapat perawatan di rumah sakit itu, Naina pun mengangguk setuju.
“Baiklah. Aku akan tetap tinggal di rumah itu dan menjadi ibu tiri yang baik seperti yang kau inginkan,” putus Naina akhirnya.
Tapi sepertinya Arka tidak puas mempermainkan Naina. Dia belum menuntaskan ucapannya. Arka kemudian berkata lagi.
“Aku tidak ingin ibu tiri yang bisanya hanya menyia-nyiakan harta keluarga, tetapi aku ingin ibu tiri yang bisa mengurus pekerjaan rumah dan berkontribusi pada keluarga,” tegas Arka. Naina menatap Arka dengan menautkan kedua alisnya.
“Aku tidak mengerti apa maksudmu.”
Naina bingung, Arka bilang dia ingin Naina ikut berkontribusi pada keluarga. Kontribusi apa yang dia maksud?
“Dengan kata lain, aku ingin kau merawatku dan menyiapkan semua keperluanku seperti pembantu. Bisakah kau melakukannya, ibu tiriku yang baik?” sindir Arka sembari melemparkan senyum meledek ke arah Naina.
Kali ini Naina benar-benar terkejut mendengar ucapan lelaki itu. Naina merasa ada yang janggal dengan ucapan Arka. Apakah Arka akan memanfaatkan statusnya sebagai ibu tiri untuk memperlakukannya seperti pembantu? Seketika Naina merasa lemas.
Tadinya Naina pikir Arka begitu baik saat mencegah dua orang security yang akan mengusirnya. Tetapi sekarang Naina menarik kembali pemikirannya, Arka tetap lah seorang lelaki berhati iblis. Naina terdiam, menimang-nimang keputusannya. Tetap tinggal di rumah besar itu bersama dengan Arka? Naina sudah melihat sifat iblis dalam diri lelaki itu. Naina ragu apakah dirinya akan sanggup berhadapan dengan Arka setiap hari? Lelaki itu pasti akan terus menyusahkannya.“Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak tahu apakah aku harus menerima tawaran Arka atau menolaknya. Tapi jika aku menolak, bagaimana dengan Raffan? Saat ini dia masih berjuang untuk sembuh. Sementara biaya pengobatannya sangat mahal,” desah Naina dalam hati.Naina sangat tidak tega melihat tubuh Raffan yang hanya bisa terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Dia teringat bagaimana ceria dan semangatnya Raffan dalam menjalani hidupnya sebelum kecelakaan nahas itu menimpanya dan merenggut nyawa Guntur.Mengingat Guntur, sek
Bola mata Arka melebar, Naina menjatuhkan foto kedua orang tuanya hingga pecahan kacanya berserakan di lantai. Rahangnya langsung merapat marah, tatapannya tajam mengarah pada Naina yang tubuhnya sudah membeku di tempatnya.“Arka?” pekik Naina. Dia segera berjongkok dan memunguti foto-foto itu dari lantai. “Bagus, Naina. Tanah kuburan ayahku masih basah, tapi kau sudah menurunkan foto kedua orang tuaku dari dinding!” sentak Arka dengan murka. Urat lehernya bertonjolan, menandakan kemarahannya.Naina tergugu. Dia tidak ingin Arka salah paham dengan apa yang dilakukannya.“Bukan begitu. Aku hanya ingin mengumpulkan foto mereka—““Untuk apa?” bentak Arka lagi. “Oh. Aku tahu. Kau mengumpulkan foto-foto itu karena ingin membuangnya, ‘kan? Kau tidak sanggup menatap foto-foto itu karena merasa bersalah sudah mencelakai ayahku dan berniat menguasai kekayaannya?” lagi-lagi Arka menuduhnya dengan keji.Naina mengepalkan tangannya, hatinya sakit mendapat tuduhan seperti itu.“Kau pasti ingin
Naina menautkan kedua alisnya mendengar ucapan Arka. “Apa maksudmu? Aku ibu tirimu. Bukankah sudah seharusnya kita berada di satu meja makan yang sama?” tanya Naina dengan polosnya. Sepertinya dia lupa kalau Arka adalah seorang lelaki berhati iblis.Arka tersenyum sinis. “Saat ayahku masih hidup, kau bebas mendapatkan kemewahan dan kenyamanan di rumah ini. Kau bisa duduk di kursi mana pun sesukamu ketika makan. Bahkan kau bisa duduk santai seharian dan menghabiskan waktumu dengan hanya ongkang-ongkang kaki saja. Aku yakin, dulu ayahku pasti sangat memanjakanmu,” ucap Arka sambil memasang raut mengejek.“Tapi sayangnya yang ada di hadapanmu saat ini bukan lah Guntur Sebastian, melainkan putranya yang akan menjadi pemimpin baru di keluarga ini. Kita baru beberapa hari bertemu, tapi kurasa kau cukup tahu seperti apa sifat anak tirimu. Aku tidak sebaik ayahku dan aku tidak akan memanjakanmu seperti yang dilakukannya. Dan ada satu hal penting yang harus kau catat, aku tidak sudi duduk di
Ini adalah kali pertama bagi Arka menempati meja kerja mendiang ayahnya. Arka mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Tangannya meraih sebuah foto yang ada di atas meja kerjanya. Di foto itu, tampak Guntur sedang tersenyum dan menatap ke arah kamera. Senyumnya lebar, menampilkan deretan giginya yang rapi. Melihat foto Guntur, seketika Arka teringat dengan masa lalunya. Dimana Guntur selalu mendidiknya dengan keras. Hal itu lah yang membuat Arka memutuskan untuk menjauh dan melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.Arka mengenang saat-saat dia masih bersama dengan Guntur. Selama mengenal ayahnya, Arka hanya tahu bahwa Guntur adalah ayah yang keras. Tetapi meski begitu, sebagai seorang anak, dia tetap menyayangi ayah kandungnya itu. Maka ketika Guntur mengalami kecelakaan, Arka sangat terkejut dan langsung mengarahkan tuduhannya kepada Naina. Arka merasa ada sesuatu yang janggal dengan kecelakaan yang menimpa ayahnya. “Meskipun aku tidak tahu pasti seperti apa kecelakaan yang membua
Seperti yang Arka perintahkan, Naina akan berdiri di dekat meja makan dan menunggui Arka menghabiskan makanannya. Arka menarik kursi, lalu duduk dan menatap pada makanan yang terhidang di hadapannya. “Fajitas dan Salmon Fish. Bagus! Kau menuruti perintahku untuk belajar memasak makanan luar,” kata Arka saat melihat menu makanan yang dimasak oleh Naina. Matanya melirik ke arah wanita itu sambil melempar senyum miring.Naina terdiam, enggan menanggapi ucapan lelaki itu. Arka mulai memasukkan makanannya ke dalam mulut, lalu mengunyahnya. Namun tak berselang lama, Arka kembali memuntahkannya ke atas piring sambil terbatuk-batuk.“Aarggh! Makanan apa ini?” Arka meringis, segera meneguk air sebanyak-banyaknya. Naina terkejut melihat reaksi Arka. Keningnya berkerut, berpikir apa lagi yang salah dengan makanannya.“Itu makanan luar negeri yang kau minta. Kau bilang lidahmu tidak cocok dengan makanan lokal, bukan? Kau terbiasa makan makanan luar negeri. Lalu kenapa kau masih saja memuntahka
“Apa yang kau bawa itu? Hmm?” mata Arka melirik ke arah rantang makanan yang ada di tangan Naina.Naina mengangkat rantangnya, mendekap di perutnya, kemudian menjawab. “Ini makan siang yang kubawa untukmu.”“Tapi aku tidak pernah minta dibawakan makan siang olehmu. Lagipula aku yakin kalau makanan kantor jauh lebih enak daripada makanan yang kau buat,” sinis Arka.“Kalau begitu, kau tinggal memberikan makanan ini pada OB atau sekretarismu. Tadinya aku hanya ingat kalau aku harus menjadi ibu tiri yang baik, yang melayanimu dan menyiapkan semua keperluanmu. Tapi jika kau tidak suka, terserah. Yang penting aku sudah melakukannya.” Naina menaruh rantang makanan itu di atas meja kerja Arka, mata Arka memperhatikan gerakannya.Setelah itu, Naina kembali berdiri di depan tubuh Arka yang jangkung. Matanya menatap lelaki itu dengan lurus.“Kemarin kau bilang aku harus datang ke kantormu siang ini untuk m
Naina merasa lega begitu melihat Arka datang, dia bisa meminta bantuan lelaki itu untuk membuat semua orang percaya bahwa dirinya tidak bersalah.Dengan langkah tegasnya, Arka berjalan menghampiri mereka.“Presdir, Nyonya Naina telah mencuri uang dari atas mejaku. Uang itu adalah uang yang kau suruh untuk kuberikan kepada anak panti asuhan. Tapi Nyonya Naina tetap tidak mau mengaku, padahal amplop ini adalah buktinya.” Ambar menunjukkan amplop cokelat itu di depan Arka.Arka menatap amplop itu dengan wajah terkejut.Naina mengelak. Menggelengkan kepalanya cepat. “Arka. Tolong katakan pada mereka kalau aku tidak pernah mencuri uang itu. Uang itu aku dapatkan darimu. Kau yang sudah memberikannya untuk biaya pengobatan Raffan. Tolong katakan yang sebenarnya!” pinta Naina, mendekati Arka dan memohon pada lelaki itu.Naina sangat berharap besar pada pembelaan Arka. Naina tahu, hanya Arka yang bisa mengeluarkannya dari masalah ini
Karena tidak tahan, Naina mendorong dada Arka hingga mundur selangkah dan dia segera pergi dari kantor itu.Arka menatap punggung Naina yang menghilang dari pandangannya. Tadi dia melihat air mata Naina yang nyaris tumpah. Wanita itu pasti sakit hati karena dipermalukan olehnya.Dan sialnya, melihat air mata itu, ada sedikit rasa kasihan dalam hati Arka. Tapi Arka segera menepis perasaan itu dan memutuskan untuk kembali ke ruang kerjanya.Arka membuang napas pelan, sebelum akhirnya dia berbalik dan masuk ke dalam kantornya.Tanpa Arka tahu, Rustam tadi mengikutinya dari belakang saat dia merangkul Naina ke luar dari kantor.Rustam menatap pada kepergian Arka yang menghilang di pintu lift, kemudian dia berpikir. “Ternyata Arka juga membenci wanita yang hanya mencari harta keluarga ini.”***Karena jam makan siang sudah tiba, Maurin segera bangkit berdiri dari duduknya dan berjalan cepat. Langkahnya tidak men
Sepulang dari rumah Pak Sardi, entah mengapa ada perasaan hangat yang perlahan menyelinap ke dalam hati Naina.Naina menyunggingkan senyum tipis membayangkan bahwa Arka telah menyediakan tempat usaha untuk lelaki setengah baya itu, juga uang yang cukup banyak sebagai tanda jasanya yang telah mengabdi selama puluhan tahun di keluarga Arka.“Aku tidak tahu kalau ternyata di balik sifatnya yang sesuka hati, Arka masih memiliki sisi baik dalam dirinya,” gumam Naina sambil mengaduk sup yang sedang ia masak.Naina memang sedang di dapur, menyiapkan makan malam untuk Arka. Ini sudah pukul tujuh malam. Masih ada waktu sampai Arka pulang dari kantor.Akan tetapi, saat Naina masih sibuk mengaduk supnya yang mengepulkan uap panas, tiba-tiba tangan kekar seseorang terasa memeluknya dari belakang. Membuat Naina terhenyak dan menoleh ke belakang.“Arka?!” pekik Naina melebarkan mata, ia tak menyangka jika Arka ternyata pulang lebih cepat
Sampai detik ini, Naina masih merasa bersalah atas apa yang menimpa Pak Sardi.Sambil melamun, Naina membereskan kamar Arka."Kasihan, Pak Sardi. Aku merasa tidak punya wajah saat bertemh dengannya nanti. Tapi bagaimana pun aku harus datang ke rumahnya dan meminta maaf. Karena aku lah penyebab mengapa Arka memecatnya." Naina mendesah pelan, sambil membereskan ranjang kamar Arka dan menepuk-nepuk bantalnya hingga menggembung.Namun, di saat yang sama, Naina menemukan sebuah benda yang berada di bawah bantal.Keningnya berkerut menatap pada benda itu yang tak lain adalah sebuah bingkai foto."Ini 'kan foto Pak Guntur." Naina meraihnya, sejenak menghentikan kegiatannya merapikan ranjang Arka.Kini ia sibuk memandangi foto Guntur yang ditemukannya.Perlahan, seulas bibir Naina mengukir senyum."Apa semalam Arka merindukan ayahnya hingga ia tidur dengan memeluk foto Pak Guntur?" gumam Naina sambil manik matanya masih menatap pada foto mendian
Hari ini Naina merasa ada yang aneh. Tadi pagi ia sempat keluar rumah sebentar untuk menyiram tanaman. Akan tetapi, ia tak melihat Pak Sardi.Padahal biasanya setiap pagi lelaki setengah baya itu selalu duduk di dekat garasi, atau sedang meminum kopi dan akan menyapa Naina saat mata mereka berpapasan.Tapi hari ini, Naina tak melihat batang hidung Pak Sardi. “Nyonya, mengapa melamun?” tepukan pelan Bik Atin di pundak kirinya membuat Naina terhenyak dan mengerjap menatapnya.“Ah, tidak Bik. Tidak apa-apa.” Naina menggeleng, kemudian tersenyum kecil.Tapi ia tak bisa menahan rasa penasarannya untuk tak bertanya pada Bik Atin yang kini kembali menyibukkan diri mencuci sayuran.“Bik, mengapa aku tidak melihat Pak Sardi pagi ini ya? Apa hari ini Pak Sardi tidak bekerja?” tanya Naina dengan raut penasaran menatap Bik Atin.Pertanyaan Naina itu berhasil membuat Bik Atin menghentikan gerakannya mencuci sayuran. Bi
Dalam perjalanan pulang menuju rumahnya, Arka melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Darahnya mendidih saat benaknya kembali teringat pada video yang tadi Rustam tunjukan padanya.rka meremas setir dengan kuat, rahangnya yang tegas itu kini merapat. Bahkan urat-urat lehernya pun bertonjolan, menampilkan emosi yang meluap-luap.“Lihat saja, Naina. Lihat. Apa yang akan kulakukan padamu nanti setelah aku sampai rumah.” Arka mengepalkan sebelah tangannya di atas paha, menarik napas panjang kemudian menghembuskannya dengan kasar.“Sopir itu juga harus mendapatkan balasannya. Beraninya dia tak menjalankan perintahku dengan benar.” Arka masih menggerutu sepanjang jalan, ia mempercepat laju mobilnya, menyalip kendaraan-kendaraah roda empat yang merambat di depan sana.Sampai kemudian ia tiba di depan gerbang rumahnya yang berwarna hitam dan kokoh. Satpam langsung membukakan pintu, membiarkan mobil Arka masuk ke dalam.“Selamat m
Meski telah mengatakan pada Rustam agar tak ikut campur dalam urusannya, tapi Arka tak memungkiri bahwa setelah melihat video itu ia sangat geram. Sekarang sudah waktunya jam makan siang. Namun Arka tak berniat untuk keluar dari ruang kerjanya sedikit pun. Ia lebih memilih menetralkan amarahnya di balik meja kerjanya. Sambil menatap tajam ke depan sana dengan bola mata yang menggelap karena amarah.“Naina, kau berani bermain-main denganku. Lihat saja akibat apa yang akan kau dapatkan karena berani bertemu dengannya di belakangku,” gumam Arka sambil menautkan kedua tangannya di bawah dagu.***Di jam makan siang, biasanya Maurin makan siang di pantry yang khusus untuk para pekerja di lantai atas.api karena hari ini Maurin sudah janji bertemu dengan teman-temannya dulu ketika ia masih menjadi karyawan biasa, maka Maurin pun memutuskan untuk makan siang di kantin perusahaan dan bergabung dengan mereka.Ada sekitar empat oran
Arka baru saja selesai meeting. Ia melangkah keluar dari ruang meeting, dan berjalan menuju lift untuk naik ke ruang kerja CEO.Akan tetapi, Rustam yang juga ikut meeting, segera mempercepat langkah dan menyusul Arka dari belakang.Sampai kemudian ia bisa menyentuh pundak kanan Arka dan membuat Arka menghentikan langkah sejenak lalu menatapnya dengan kening yang berkerut.“Paman?” “Arka, kita ke ruang kerjamu sekarang. Ada sesuatu yang ingin Paman beritahukan padamu.” Rustam berkata, wajahnya terlihat begitu serius.Hingga menubuhkan kernyitan di kening Arka. Benak Arka menebak-nebak tentang apa yang ingin dikatakan oleh pamannya itu.“Sepenting apa?” Arka cukup sibuk hari ini, tentu jika apa yang hendak dikatakan Rustam tidaklah penting, lebih baik Arka mengerjakan pekerjaannya.“Ini sangat penting. Kau harus mengertahuinya.” namun wajah Rustam masih terlihat serius, membuat Arka mengang
Sepulang dari rumah sakit, Ammar memutuskan untuk mengajak Naina makan siang di sebuah restoran yang jaraknya tak jauh dari rumah sakit.“Restorannya bagus,” komentar Naina sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling, saat mereka jalan bersisian mencari meja yang kosong dan nyaman.“Kau belum pernah ke sini?” tanya Ammar, membuat Naina menoleh dan menggeleng sebagai jawaban.“Belum.”“Kebetulan sekali. Berarti sangat tepat aku mengajakmu kemari. Karena menu di restoran ini rasanya sangat enak.” Ammar menyunggingkan senyum lebar.Sebenarnya Naina merasa tidak enak hati dengan Pak Sardi karena ia pergi diam-diam bersama Ammar untuk makan siang. Tadinya Naina mau menolak ajakan Ammar, tapi Ammar membujuknya dan menatapnya dengan sorot memohon.Naina akhirnya setuju juga. Selain karena letak restorannya juga tak jauh dari rumah sakit dan Ammar berjanji akan mengantarnya kembali ke rumah sakit karena Pak Sar
Maurin akan mengantarkan laporan ke ruang kerja Arka. Ia pun mengetuk pintu sebanyak tiga kali, setelahnya terdengar sahutan dari dalam.Maurin mendorong daun pintu dan melangkah masuk. Akan tetapi, gerakan kakinya terhenti sejenak saat melihat pemandangan di depannya.Maurin meneguk ludahnya susah payah. Naina dan Arka sedang duduk di sofa panjang yang ada di pojok ruangan, tapi dengan keadaan kemeja Arka yang sedikit kusut, juga rambut Naina yang tampak tak serapi sebelumnya.Bahkan sekilas Maurin melihat lipstick Naina yang agak berantakan, sebelum Naina cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain.“Kenapa, Maurin?” pertanyaan Arka membuyarkan lamunan Maurin.Maurin menahan kesal di dalam hati, semua yang terlihat saat ini cukup menguatkan kecurigaannya. Seketika cemburu makin menguasai dirinya.Meski begitu, Maurin tetap menampilkan wajah biasa saja, seakan tak mengerti apa-apa.“Maaf, Pak Presdir. Aku ingin mengan
Selama perjalanan menuju ke kantor, Naina merasa resah dalam hatinya. Bertanya-tanya tentang apa yang akan Arka lakukan kali ini?Naina melamun sembari membuang pandangan ke kaca mobil, menatap pada pohon-pohon tinggi yang berjejer dan menjulang di pinggir jalan.Tanpa sadar, mobil pun berhenti di depan loby perusahaan Arka.“Maaf, Nyonya. Kita sudah sampai,” ucap sopir membuyarkan Naina dari lamunannya.Mengerjap pelan, Naina kemudian menatap pada Pak Sardi lantas menganggukan kepala.“Iya, Pak. Terima kasih.” Naina pun turun saat Pak Sardi membukakan pintu untuknya.Kini tungkai yang jenjang dan mulus itu menginjak teras depan kantor Arka yang terlihat megah.Naina sempat memberikan senyum kecil pada kedua security yang berdiri di depan dan menyapanya dengan ramah. Sebelum kemudian Naina mengayun langkah memasuki perusahaan itu.Naina menaiki lift untuk sampai di lantai atas, tempat di mana ruang ker