Mona memegang bahuku, menguatkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku menangis tak percaya. Ini pasti rekayasa dari mereka. Aku tergugu menangis, begitu banyak cobaan dari awal pernikahan kami. “Kamu bohong Damar!” aku berteriak seperti orang gila.“Tenangkan dirimu Monica." Mona menenangkanku.Mengapa saat hati ini sudah percaya kami akan bahagia, kembali ujian ini menimpa kami. Tak mungkin abang Brayen meninggal."Jawab, Damar. Kamu bohong 'kan!" Aku kembali berteriak. Rasanya aku memang sudah gila saat ini. "Mon, Damar bohong kan?" tanyaku pada Mona yang menatapku sedih. "Mengapa hanya bahagia saja begitu sulit, Mon.""Itu informasi yang aku dengar, Nyonya," balas Damar."Aku harap informasi yang kamu dapatkan keliru, Damar." Aku tergugu menangis. "Tenangkan dirimu, Monica. Kita harus keluar dari tempat ini terlebih dahulu.” Mona mengingatkanku. Aku bahkan lupa jika terjebak di gedung ini. Ditambah berita yang begitu membuatku tak percaya. Tidak, itu pasti bohong abang Bray
"Bunda ...." Monica berlari memeluk Nina yang sudah menunggunya di depan pintu. "Mengapa begini nasib Monica." Nina membalas pelukan Monica merasa begitu kasihan terhadap anaknya. Nina juga tidak menyangka putrinya mengalami hal seperti ini. Reza tak tahan melihat Monica menangis didepan Nina, dia juga tidak menyangka kejadian ini menimpa Monica--putrinya. Ujian demi ujian tak luput Monica rasakan sejak awal menikah. "Sabar, Sayang." Nina menenangkan Monica yang sedang menangis tersedu-sedu. "Abang, Bund.""Iya, Nak. Kenapa?" tanya Monica. Nina sudah tahu kabar Brayen meninggal karena disiarkam di media. Reza pun sudah mengirim pesan sejak tadi agar Nina tidak percaya dengan berita yang beredar."Abang Brayen dinyatakan meninggal, tetapi Monica yakin jika dia tiidak mungkin meninggal.""Jika kamu yakin dia tidak meninggal, jangan ragukan itu," ucap Nina menasehati putrinya yang sedang menangis. Nina mengecup kepala Monica seraya menguatkan bahwa semua baik-baik saja."Bagaimana ag
"Astaga Irwan, kami kira siapa!" semua berteriak melihat aksi Irwan."Ni tuan Shaka yang ngajarin," balas Irwan. Suara Irwan persis mirip Brayen membuat Monica terkejut, tapi karena semua terkekeh membuat Monica ikut tertawa melihat aksi Irwan.Aksi Irwan setidaknya membuat suasana sedikit berwarna. Shaka tak berhenti tersenyum melihat aksi anak buahnya itu."Keren juga kau Irwan. Hahaha ...." Shaka tak berhenti untuk terus terkekeh."Kenapa juga aku ikut saran tuan." "Memang kamu asisten yang bisa diandalkan.""Semoga saja non Monica tidak labil karena ulah tuan," balas Irwan yang hampir memukul bahu Shaka. "Tenang saja, kali ini aktingmu terbaik. Besok lebih ditingkatkan bagian reffnya," balas Shaka."Eh, cukup kali ini saja tuan Shaka terhormat. Ente kadang-kadang, ya." Shaka yang mendengar penuturan Irwan tak henti tertawa."Bang Irwan, lain kali jangan mau diperintah ma bos somplak kayak gitu," balas Gendis. Semua yang hadir ikut tertawa, untung saja Monica tidak labil karena
"Perkenalkan saya Damar Prasetyo, putra tunggal dari pak Prasetyo." Damar memulai sambutannya. Gemuruh tepuk tangan mewarnai ruangan ini. Sementara aku terpaku tak percaya melihat pengawal yang menjagaku kemarin menjadi sorotan malam ini. Iya, dia adalah pewaris dari tuan Prasetyo.Aku hanya memasang wajah datar, tak ingin berlebihan karena terkejut melihat Damar yang menjadi pewaris presider yang begitu membanggakan. Senyumnya teus mengembang, tak lupa dia menatap kami. Jika ada Mona pasti cerita ini tak kalah heboh."Tak memyangka si Damar ternyata anaknya pak Pras," ujar daddy yang sedikit heran."Bukannya itu pengawalnya Monica?" Bunda ikut bertanya."Iya, Bund. Pantas tampilannya beda, tak seperti pengawal biasanya," balas Abang Shaka.Aku hanya menjadi penikmat saja diantara mereka yang hadir. Bahkan bunda dan daddy pun terpukau melihat sii Damar yang begitu berbeda."Kamu sudah tahu Monica?" tanya bunda yang melihatku tetap santai."Gak tau bund. Dia juga sudah tak jadi pengawa
Aku terdiam melihat sosok yang mendekati kami setelah berteriak itu. Wajahnya mirip sekali dengan Abang Brayen, tetapi mengapa dia tidak mengenaliku? Dia bahkan begitu cuek seperti menganggapku todak ada.Dengan kelihaiannya, pasien yang berteriak itu terdiam. Dia bahkan tak gugup seperti kami, seperti halnya orang yang profesional di bidangnya, dia pun dengan tenang dia membantu pasien yang kesakitan itu dengan cara yang begitu sederhana sekali. Seorang bapak yang terlihat tua tergopoh-gopoh mendekatinya. Orang tua itu seperti takut kehilangan putranya."Nak, pulang, bapak sedari tadi mencarimu," katanya. Kukira dia dokter ternyata hanya petani biasa di sini."Maafkan anak saya, tingkahnya memang sedikit aneh," balas pak tua tadi kepada kami."Kami justru berterima kasih, pak," balas Nabila.Aku dan staf dokter yang lain hanya saling pandang. Menurut kami dari caranya dia bukan orang sembarangan. Keahliannya seperti orang yang ahli di bidang kedokteran. Jujur, kami terpukau dengan c
Dengan lembutnya dia menenangkan laki-laki itu. Mengapa dia begitu mirip, apa sebenarnya dia adalah abang Brayen? Aku terus berbicara di dalam hatiku. Memastikan jika sebenarnya dia adalah abang Brayen yang dinyatakan meninggal. Damar juga begitu terkejut melihatnya. Sebagai bekas tuannya tentu dia kaget karena wajahnya yang memiliki kemiripan. Beda dengan keempat rekanku yang dstang ke tempat ini, dia begitu terpukau dengan abang Brayen."Dia memang keren? Aku jadi curiga dia hanya berpura-pura," ucap dokter Fadila di sampingku. "Pura-pura kenapa?" tanya dokter Rahma."Pura-pura sebenarnya dia orang kaya," balas dokter Fadila sambil terkekeh."Lo kebanyakan nonton sinetron," balas dokter Nabila."Coba perhatikan wajahnya memang dia ganteng," balas dokter Fadila tidak mau kalah."Perhatikan bajunyaana ada laki-laki dari kota berpenampilan seperti itu." Dokter Farhan ikut nimbrung. Aku hanya jadi penikmat diantara mereka yang berdebat sendiri.Sementara Damar hanya diam tanpa banyak
Aku yakin di kehidupan kedu, kita akan bersama tanpa sekat diantara kita berdua. Menuai cinta yang bersemi ini sedari lama, meski rintangan selalu hadir diantara kita tanpa batas waktu yang bisa kita hentikan. Aku yakin bahagia itu nyata.*"Keluar kalian!" teriak para begal itu. "Tetap tenang, rekan-rekan. Jika dia bawa senjata tajam, kita harus pakai logika untuk melawan mereka," ujarku yang membauat mereka tidak tegang. Semua didalam bis tak setegang tadi. Sedikit ada peregangan walau kami akan berhadapan dengan musuh di depan kami."Dokter Farhan, siapkan suntikan bius jika mereka macam-macam," ujarku. Kita memang dilarang menggunakan obat-obatan sembarang, tapi kondisi seperti ini mau tidak mau kita pakai keilmuwan kita."Jangan takut, jumlah kita lebih banyak!" tegasku. Pengalaman di gedung waktu itu mengubah jalan pikirku menjadi lebih kuat. "Dokter Fadila, Nabila dan Rahma siapkan yang bisa kita pakai melawan," ajakku. Setidaknya ada gunting dan pisau medis yang kami punya.
“Harusnya apa yang aku genggam harus aku yakini, pak,” ujarku membuatnya terdiam."Nyatanya tidak ada di muka bumi ini yang benar-benar membuat kita yakin," katanya lagi. Dia memang pintar membuat aegumen."Itu hanya apa yang anda alami, Pak," balasku tak mau kalah.“Aku tidak setua itu dipanggil pak," ucapnya sedikit cemberut.Ada sessuatu yang menghangat di hatiku ketika dia mengajakku bicara. Apa benar abang Brayen masih hidup. Namun, mengapa dia sama sekali tak seperti mengenaliku. Bahkan baju lusuhnya pun tak malu dia pakai. Aku merutuk diriku yang masoh mengharapkan abang Brayen pemuda ini. Setidaknya semua rindu yang sudah mengungkung ragaku tidak bertepuk sebelah tangan.**Kami salat berjamaah beserta para warga di sini, untung saja kami membawa mukenah dari rumah hingga tak perlu meminjam ke warga. Sebagai dokter tentu hal seperti ini sudah kami pertimbangkan baik buruknya, segala sesuatu bisa terjadi jika kita tak bisa menjaga kesehatan dengan baik.“Masya Allah cantiknya