Aku terdiam melihat sosok yang mendekati kami setelah berteriak itu. Wajahnya mirip sekali dengan Abang Brayen, tetapi mengapa dia tidak mengenaliku? Dia bahkan begitu cuek seperti menganggapku todak ada.Dengan kelihaiannya, pasien yang berteriak itu terdiam. Dia bahkan tak gugup seperti kami, seperti halnya orang yang profesional di bidangnya, dia pun dengan tenang dia membantu pasien yang kesakitan itu dengan cara yang begitu sederhana sekali. Seorang bapak yang terlihat tua tergopoh-gopoh mendekatinya. Orang tua itu seperti takut kehilangan putranya."Nak, pulang, bapak sedari tadi mencarimu," katanya. Kukira dia dokter ternyata hanya petani biasa di sini."Maafkan anak saya, tingkahnya memang sedikit aneh," balas pak tua tadi kepada kami."Kami justru berterima kasih, pak," balas Nabila.Aku dan staf dokter yang lain hanya saling pandang. Menurut kami dari caranya dia bukan orang sembarangan. Keahliannya seperti orang yang ahli di bidang kedokteran. Jujur, kami terpukau dengan c
Dengan lembutnya dia menenangkan laki-laki itu. Mengapa dia begitu mirip, apa sebenarnya dia adalah abang Brayen? Aku terus berbicara di dalam hatiku. Memastikan jika sebenarnya dia adalah abang Brayen yang dinyatakan meninggal. Damar juga begitu terkejut melihatnya. Sebagai bekas tuannya tentu dia kaget karena wajahnya yang memiliki kemiripan. Beda dengan keempat rekanku yang dstang ke tempat ini, dia begitu terpukau dengan abang Brayen."Dia memang keren? Aku jadi curiga dia hanya berpura-pura," ucap dokter Fadila di sampingku. "Pura-pura kenapa?" tanya dokter Rahma."Pura-pura sebenarnya dia orang kaya," balas dokter Fadila sambil terkekeh."Lo kebanyakan nonton sinetron," balas dokter Nabila."Coba perhatikan wajahnya memang dia ganteng," balas dokter Fadila tidak mau kalah."Perhatikan bajunyaana ada laki-laki dari kota berpenampilan seperti itu." Dokter Farhan ikut nimbrung. Aku hanya jadi penikmat diantara mereka yang berdebat sendiri.Sementara Damar hanya diam tanpa banyak
Aku yakin di kehidupan kedu, kita akan bersama tanpa sekat diantara kita berdua. Menuai cinta yang bersemi ini sedari lama, meski rintangan selalu hadir diantara kita tanpa batas waktu yang bisa kita hentikan. Aku yakin bahagia itu nyata.*"Keluar kalian!" teriak para begal itu. "Tetap tenang, rekan-rekan. Jika dia bawa senjata tajam, kita harus pakai logika untuk melawan mereka," ujarku yang membauat mereka tidak tegang. Semua didalam bis tak setegang tadi. Sedikit ada peregangan walau kami akan berhadapan dengan musuh di depan kami."Dokter Farhan, siapkan suntikan bius jika mereka macam-macam," ujarku. Kita memang dilarang menggunakan obat-obatan sembarang, tapi kondisi seperti ini mau tidak mau kita pakai keilmuwan kita."Jangan takut, jumlah kita lebih banyak!" tegasku. Pengalaman di gedung waktu itu mengubah jalan pikirku menjadi lebih kuat. "Dokter Fadila, Nabila dan Rahma siapkan yang bisa kita pakai melawan," ajakku. Setidaknya ada gunting dan pisau medis yang kami punya.
“Harusnya apa yang aku genggam harus aku yakini, pak,” ujarku membuatnya terdiam."Nyatanya tidak ada di muka bumi ini yang benar-benar membuat kita yakin," katanya lagi. Dia memang pintar membuat aegumen."Itu hanya apa yang anda alami, Pak," balasku tak mau kalah.“Aku tidak setua itu dipanggil pak," ucapnya sedikit cemberut.Ada sessuatu yang menghangat di hatiku ketika dia mengajakku bicara. Apa benar abang Brayen masih hidup. Namun, mengapa dia sama sekali tak seperti mengenaliku. Bahkan baju lusuhnya pun tak malu dia pakai. Aku merutuk diriku yang masoh mengharapkan abang Brayen pemuda ini. Setidaknya semua rindu yang sudah mengungkung ragaku tidak bertepuk sebelah tangan.**Kami salat berjamaah beserta para warga di sini, untung saja kami membawa mukenah dari rumah hingga tak perlu meminjam ke warga. Sebagai dokter tentu hal seperti ini sudah kami pertimbangkan baik buruknya, segala sesuatu bisa terjadi jika kita tak bisa menjaga kesehatan dengan baik.“Masya Allah cantiknya
Pov DamarApakah mencintai itu begitu sulit? Dari awal aku menyukainya dia bahkan tak mengenalku sama sekali.Aku melihat Monica sejak SMA, dia satu sekolah denganku. Aku beda dua tahun dengannya. Sejak dia baru di sekolah ini, diam-diam aku sudah men Namun, sayangnya dia sama sekali tak mengenalku. Aku hanya mencintainya dalam diam tanpa ada balasan darinya. Setiap keluar main tiba, aku selalu mengintip ke ruangannya. Kami bersekolah di sekolah bertaraf intenasional yang tentunya isinya siswa dari kalangan orang mampu. Seperti yang lainnya Monica sama sekali tak pernah dekat dengan laki-laki manapun. Dia menyibukkan diri dengan belajar.Sebelum masuk ke kelas, aku mampir dulu ke kelasnya Monica terlebih dahulu, hanya sekedar melihat wajahnya yang ayu sudah cukup membuatku bahagia. Cinta dalam diam bahkan sesederhana itu hanya melihatnya baik-baik saja sudah membuat hati ini berbunga-bunga. Setelah itu aku akan kembali ke kelas dengan semangat yang luar biasa. Hanya menatapnya begitu
Ada apa denganmu, Damar?Sejak semalam aku tidak bisa tidur, meski yang lainnya sudah tertidur pulas. Bagaimana tidak pulas, Damar menarikku paksa beserta rombongan keluar dari sini. Dia justru mencarikan kami sebuah Villa di dekat dengan kampung ini. "Bukan kalian yang akan mengobati, tetapi kalian yang akan diobati. Jika berada di tenda ini."Memang sangat prihatin tenda yang dibuat oleh warga, kami memaklumi karena posisi kampung ini memang sangat terpencil. Namun, bukan itu letak masalahnya pemuda yang bernama Akhdan itu begitu mencuri hatiku, seperti layaknya kupu-kupu yang berterbangan di hati dan pikiranku. Aku merasa dia begitu dekat, hingga begitu sulit untuk meninggalkan kampung ini."Apa tidak sopan meninggalkan kampung ini," ujarku pada Damar yang turut membereskan barang-barang kami."Aku sudah izin sama warga beserta kepala RT nya," jawab Damar. Tak perlu diragukan lagi jika bersama Damar, dar segi kekuatan melawan musuh tentu dia pemenangnya. Di wajahnya tak ada rau
Damar hanya diam ketika aku menuju mobil daddy, sebenarnya aku pun tak tega melihatnya begitu mengharapkanku. Dia pun tahu sendiri jika aku tak bisa melupakan suamiku. Apa aku keterlaluan? Aku hanya mengungkapkan apa yang kurasakan tak lebih dari itu.“Nak, apa daddy tidak salah lihat jika pemuda yang membawa buah tangan itu mirip seperti Brayen?” tanya daddy begitu penasaran. “Di dunia ini banyak yang sama, Dad. Kalaupun dia, pasti dia mengenal kita,” balas abang Shaka.Berharap pun sepertinya tak akan mengubah keadaaan jika pemuda itu memang bukan suamiku—Brayen. Semua yang diberikan buah tangan begitu bahagia, terutama dokter Farhan. Dia seperti tak menyangka dibawakan buah tangan oleh warga."Ini dari warga, saya hanya diminta untuk mengantar," katanya. Beberapa pemuda ikut mendampingi, karena buah tangan yang dibawa begitu banyak. Sesekali kami saling pandang, lalu mengalihkan ke tempat lain.Dokter Fadila terus mencuri pandang pada pemuda yang bernama Akhdan itu. Kurasa wajar
"Mungkin bunda hanya kangen saja." Bunda seperti memberi kode ke semua agar tidak kepikiran. Walau sorot mata bunda tidak bisa dibohongi. Jangankan dia, aku pun tak bisa mengendalikan betapa dahsyatnya rindu ini."Enak sekali, ya, Bund." Kak Gendis ikut meramaikan membuat kami melupakan sejenak ucapan bunda tadi."Beli dimana, Monica? Sampai satu karung dibawa." Bunda kembali bertanya, aku tak boleh gugup agar bunda tidak curiga. Bukan tak mau menceritakan semuanya, tetapi memang belum saatnya."Hehe ... di jalan, Bund," ucapku berbohong. Tak ingin menambah pikiran bunda, akhirnya aku pun berbohong. Berbohong demi kebaikan bersama. Jika saatnya tiba, pasti bunda akan tahu juga.Selera makan sedikit berubah karena bunda terlihat murung, aku dan abang Shaka langsung merapikan dan meminta bunda untuk istirahat. Sementara Arvian sudah nyenyak di gendongan Sus Yanti.Daddy sedari tadi diam, kurasa daddy ikut menyakini satu hal jika pemuda itu memiliki kesamaan dengan kami yang pencinta du