Berita konglomerat yang masuk rumah sakit begitu tersebar ke seluruh rumah sakit, tak sedikit yang ingin dekat dengan Damar. Siapa yang tak kenal Damar, semenjak resmi menggantikan ayahnya wajahnya selalu tampil dilayar televisi.Wajahnya yang tampan tentu menarik perhatian, apalagi dia berasala dari keturunan kaya raya.“Oh, itu yang namanya tuan Damar,” bisik salah satu perawat yang berada didekatku.“Iya, ganteng, ya. Kabarnya belum nikah, lho.” Mereka seolah tak memedulikanku yang berada di sampingnya. Pujian terus mereka lontarkan. Pesona Damar menghipnotis semua yang ada di rumah sakit ini.Ting. Ponsel berdenting dari grup yang kami buat.[Semua membicarakan mas Damar, peluang semakin kecil.] pesan dari dokter Nabila, fans garis keras Damar. [Wajar jika dia dibicarakan, anak konglomerat Prasetyo.] balas dokter Rahma.Aku hanya menyimak obrolan mereka, dokter Fadila dan Farhan tidak dimasukkan di grup ini. [Dokter Monica sudah jenguk mas Damar?] Doter Nabila mengirim chat yang
Kubaca lagi surat yang diberikan Damar. Dia memang sengaja membuat rasa tak menentu di dada. Kutelisik semua ruangan ini ternyata tak ada dia di sini. Sial, sepagi ini dia sudah membuat moodku begitu kacau.Walau terasa ada yang seperti mengintipku!***Kubuka bekal yang disiapkan bunda, padahal dari rumah aku sudah makan, tapi tetap saja aku membuka bekal ini, barangkali bisa membuat mood ini sedikit lebih baik, tapi tetap saja aku dibuat kacau. Si Damar benar-benar menguji mentalku sepagi ini.Tok!Tok! Tok!Pintu ruanganku diketuk, siapa lagi yang berkunjung sepagi ini, pikirku. Ternyata yang berkunjung adalah dokter Rahma. Wajahnya begitu fresh seperti orang yang sedang kasmaran. Beda jauh denganku."Mukanya kok ditekuk gitu," ledek dokter Rahma."Lagi sariawan," balasku berbohong."Sariawan kok makannya enak begitu," balasnya terkekeh. Iya, aku akhirnya membuka bekal dari bunda."Wow, apaan itu?' tanyanya antusias." Sushi dan dimsum," jawabku."Aha ... ini sih, rejeki nomplok di
"Bagaimana kabarmu, Damar?" rasanya aku harus memperjelas agar semua rasa yang tidak jelas ini segera pudar. Aku dan dia tak memiliki hubungan apa pun selain pekerjaan. Dia terdiam sesaat melihatku yang nampak baik-baik saja. Mona yang sedari tadi meledekku memperbaiki posisinya. Walau kutahu banyak hal yang ingin Damar utarakan. "Kamu sakit apa, sih, Damar. Sampai semua media heboh," ujar Mona yang duduk di sofa kamar ini. Mona orangnya ceplas ceplos, membuat suasana mencair."Kecapean saja," balasnya singkat.Aku pun duduk memposisikan diri di dekat Mona. Walau kitahu Diamar terus menatapku tak henti, aku pun sama sekali tak meladeni tingkah Damar yang tak jelas itu. "Kamu biasanya cool, Damar. Kenapa sekarang grogi," sambung Mona lagi, dia tahu saja membuat Damar tersipu malu."Aku sakit saja, Cool, Mon. Apalagi sehat," balasnya terkekeh. Namun, tatapannya tak henti padaku."Sepertinya kamu stres karena jadi pengganti ayahmu." Mona masih mengintrogasi si Damar. Aku semakin risih
Diam-diam Damar berfikir keras mengenai sikap Monica yang mulai menjauhinya, dia tak menyangka jika Monica setega itu padanya. Semua rasa berkecamuk, termasuk rasa ingin membalas rasa sakit yang begitu dalam dirasa Damar.Meski begitu, Damar selalu menceritakan keluh kesah pada mamanya. Bisa dikatakan Damar begitu dekat dengan mamanya, segala pasti akan diceritakan jika dirasa begitu beban di hatinya. “Apa dia menolakmu?”tanya Dahlia, ibunya Damar.“Bukan ditolak lagi, Ma. Tapi dihempaskan di dasar jurang,” balas Damar.“Jangan paksa orang lain untuk menyukaimu, bisa jadi dia pun sedang berjuang untuk bisa menahan semua kesedihan yang dialaminya saat ini.”“Iya, Ma. Cintanya begitu besar pada suaminya. Damar sulit masuk meski hanya menjadi orang terdekatnya.""Berarti beruntung suaminya, dia wanita yang setia.""Justru itu yang membuat Damar semakin menyukainya, Ma." Damar meluapkan perasaan yang sedari tadi membuncah di dada.“Kamu harus tahu diri kalau begitu, Nak.” Siapa sangka Da
“Kamu?” hanya itu yang keluar dari mulutku. Namun, sayangnya dia hanya membalasku dengan tatapan biasanya. Apa dia pemuda dari desa itu, tetapi mengapa dia begitu cuek seolah tak mengenalku. Aku terus meracau di dalam pikiranku. Dia langsung duduk di tempat yang sudah disediakan, seperti tak mengenalku dia hanya tersenyum pada yang lain, kesan pertamanya begitu memukau, tentunya dokter yang lain seperti terpesona dengan tampilannya. Sementara denganku dia mengalihkan pandangan. Seolah-olah tak mengenalku. Dia seperti seseorang yang begitu menyebalkan.“Perkenalkan nama saya Akhdan Athaya,” ucapnya mengenalkan diri. Apa aku tidak salah dengar? Apa dia adalah Akhdan pemuda itu. Ini pasti akan menjadi berita heboh di grup yang telah kami buat.“Mohon bantuannya, saya baru dimutasi di sini,” katanya lagi. maksudnya? Jadi dia sebenarnya dokter, tapi pura-pura kelihatan lusuh di depan warga? Kepalaku terasa mumet jika memikirkannya.Rasanya aku ingin menanyakan langsung padanya, siapa di
Aku dan abang Shaka tak henti tertawa, hiburan sekali melihat dokter baru yang sok cuek itu berubah jadi manis. Sampai diparkiran abang Shaka tak henti tersenyum. Jangan tanya seperti apa perasaanku, sedikit puas melihat Akhdan yang tersipu malu.“Tadi katanya gak enak badan, sekarang kayaknya udah segeran,” ucap abang Shaka meledekku. “Abang bisa aja bikin, malu nih.""Kek nya ada jambu merekah, uhuk." Abang Shaka tak henti meledekku, sesekali tawa renyahnya keluar."Mau antar pulang adek Abang yang manis ini, gak?"“Siap tuan putri Mobilmu minta supir saja yang ambil.”“Itu urusan gampan, Bang. Yang penting sampai rumah saja, dulu.”Abang Shaka akhirnya yang mengantarku pulang, sebenarnya kangen dengan si kecil di rumah. Melihat si Akhdan mengingatkanku dengan Arvian. Wajahnya yang mirip dengan abang Brayen tentu memberi kesan tersendiri padaku. Seperti rindu yang tak bisa kubendung.Tak berselang lama kami tiba rumah, daddy sudah menunggu kami berdua di teras rumah. Daddy memang l
"Maksud dokter Monica apa?" tanya dokter Fadila yang heran dan tak henti menatapku."Siapa Brayen itu?" tanyanya kembali.Aku dan dia saling tatap, meski setelah itu dia langsung mengalihkan pandangannya. Seketika aku menyadari bahwa aku keliru dalam berucap. Apa aku sudah gila mengaitkan pemuda ini dengan suamiku?"Maaf aku ngigo," kataku yang langsung meninggalkan mereka. "Aneh sekali dokter Monica hari ini, sudah berdandan kelakuannya juga aneh." Fadila terus mengoceh, sementara si Akhdan hanya diam tak membalas ucapan dokter Fadila.Tak kutanggapi, aku langsung menarik napas perlahan lalu menghembuskannya pelan. Apa aku menor? Perasaan dandanan ini biasa-biasa saja menurutku. Mengapa Fadila terlihat ketus sekali melihatku dandan.Perawat yang biasa membersamaiku datang, aku langsung mencegatnya. Menanyakan langsung bagaimana tampilanku hari ini."Apa aku menor, Dahlia?" tanyaku pada perawat yang biasa membersamaiku bernama Dahlia itu."Gak, kok, Dok. Hanya memang lipstiknya merah
"Sudah tahu nanyak," jawabku ketus. Dia tersenyum sebentar, lalu terdengar ponselnya berdering. Entah telponan siapa dia terlihat gugup.Tanpa permisi, dia berlalu begitu saja. Benar-benar aneh. Mungkin jika dia tidak mirip dengan abang Brayen aku pun tak peduli bagaimana pun sikapnya. Aku kembali ke ruangan, istirahat sejenak karena akan ada pertemuan siang ini. Memejamkan mata sebentar agar fresh ketika pertemuan nanti. Walau wajah teduh tadi menganggu pikiranku. Senyumnya bahkan bak pinang dibelah dunia. semoga ada kabar dari daddy siapa dia sebenarnya. Sebelum aku benar-benar gila dibuat olehnya.Kulihat ponsel berdering kembali.[Rapat diralat menjadi pukul 16.30. Direktur sedang ada tamu dari luar daerah.] Pesan dari admin grup. Setidaknya bisa mengurangi rasa capek. Begitu pentingnya pertemuan ini hingga dilakukan dadakan. Dahlia mengetuk pintu izin ke ruanganku, meyampaikan jika rapat dimundurkan waktunya."Rapat diundurkan bu dokter," ucap Dahlia. Dia memang totalitas dal
Reza dilarikan ke rumah sakit karena ternyata Reza lemas dan mengalami sesak nafas. Kemungkinan yang terjadi karena Reza sempat emosi dan kepikiran Monica sehingga jantungnya kumat."Daddy kenapa, Bund.""Tiba-tiba lemas, padahal paginya daddy segar sekali.""Nafasnya naik turun, ya Allah bunda takut daddymu kenapa-kenapa." Nina menangis dipelukan Shaka. Monica yang mengira hanya chek up biasa ikut panik ketika dikabari abangnya jika Reza masuk ICU. Reza sampai tidak sadarkan diri menambah deretan kepanikan keluarganya."Bukannya tadi bunda bilang hanya chek up saja.""Iya, ternyata daddy lemas untung segera dilarikan ke rumah sakit.""Ya Allah Monica kira tidak separah ini." Terdengar suara serak Monica yang menangis mendengar Reza tidak sadarkan diri."Abang Brayen sudah menuju ke sana.""Iya, Dek. Kamu cepat ke sini," ucap Shaka yang meminta Monica langsung ke rumah sakit. Sementara Brayen shock melihat keadaan Reza, bayangan bersama ketika kecil membuat hati Brayen terenyuh dadd
Misiku kali ini bukan lagi untuk bersatu dengan abang Brayen, tapi memikirkan bagaimana agar abang Brayen bersama daddy seperti dulu lagi. Terkadang kita dipaksa kuat oleh keadaan dan dibuat ikhlas oleh kenyataan, jadi pandai-pandailah menjaga perasaan kita sendiri, karena disaat kita terpuruk, susah dan sedih tidak semua orang akan peduli. “Ikuti saja kata bunda, Dek. Sejauh mana kamu melangkah jika dia jodohmu pasti dia akan kembali mengejarmu.”“Iya, Bang.”“Abang yakin kamu bisa melewatinya, Dek. Demi daddy,” kata abang Shaka.“Makasih, Bang. Demi kalian semua.”Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. sakitnya daddy pasti jalan agar abang Brayen dan daddy bersatu kembali. Aku juga harus sadar jika usia daddy tidak muda lagi. Aku mau daddy di hari tuanya bahagia tanpa beban."Belajar untuk tidak terlalu berharap kepada siapapun kecuali Allah, karena harapan yang berlebihan kepada manusia hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri," ucap ababg Shaka memberi nasehat. "Saatnya kamu le
Reza kembali kumat, ternyata selama ini Reza ada riwayat jantung sehingga harus dikontrol minum obat setiap hari. Nina pun sadar semakin hari usia mereka sudah tidak muda lagi sehingga gampang sekali terkena penyakit.“Kasitahu anak-anak, Bang, kalau jantungmu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nina pada Reza yang terbaring. Nina sadar semenjak Monica gagal menikah lagi, suaminya–Reza sering sakit-sakitan. Dia merasa gagal sebagai orang tua.“Bang, coba diubah pola pikirnya bahwa tidak semua keinginan kita selalu sejalan.”“Iya, Sayang. Daddy baik-baik saja, Bund.”“Baik-baik bagaimana, kata dokter abang harus berobat intensif.” “Tenang saja, Bund. Semua pasti baik-baik saja,” kata Reza. Jauh dari lubuk hatinya sebenarnya dia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Shaka sudah bahagia dengan Gendhis. Sementara Monica masih dilema.“Apa abang memikirkan Monica?” tanya Nina. Dia penasaran akhir-akhir ini suaminya lebih pendiam.“Jangan dipendam, salah satu sumber penyakit adalah
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat