Aku dan abang Shaka tak henti tertawa, hiburan sekali melihat dokter baru yang sok cuek itu berubah jadi manis. Sampai diparkiran abang Shaka tak henti tersenyum. Jangan tanya seperti apa perasaanku, sedikit puas melihat Akhdan yang tersipu malu.“Tadi katanya gak enak badan, sekarang kayaknya udah segeran,” ucap abang Shaka meledekku. “Abang bisa aja bikin, malu nih.""Kek nya ada jambu merekah, uhuk." Abang Shaka tak henti meledekku, sesekali tawa renyahnya keluar."Mau antar pulang adek Abang yang manis ini, gak?"“Siap tuan putri Mobilmu minta supir saja yang ambil.”“Itu urusan gampan, Bang. Yang penting sampai rumah saja, dulu.”Abang Shaka akhirnya yang mengantarku pulang, sebenarnya kangen dengan si kecil di rumah. Melihat si Akhdan mengingatkanku dengan Arvian. Wajahnya yang mirip dengan abang Brayen tentu memberi kesan tersendiri padaku. Seperti rindu yang tak bisa kubendung.Tak berselang lama kami tiba rumah, daddy sudah menunggu kami berdua di teras rumah. Daddy memang l
"Maksud dokter Monica apa?" tanya dokter Fadila yang heran dan tak henti menatapku."Siapa Brayen itu?" tanyanya kembali.Aku dan dia saling tatap, meski setelah itu dia langsung mengalihkan pandangannya. Seketika aku menyadari bahwa aku keliru dalam berucap. Apa aku sudah gila mengaitkan pemuda ini dengan suamiku?"Maaf aku ngigo," kataku yang langsung meninggalkan mereka. "Aneh sekali dokter Monica hari ini, sudah berdandan kelakuannya juga aneh." Fadila terus mengoceh, sementara si Akhdan hanya diam tak membalas ucapan dokter Fadila.Tak kutanggapi, aku langsung menarik napas perlahan lalu menghembuskannya pelan. Apa aku menor? Perasaan dandanan ini biasa-biasa saja menurutku. Mengapa Fadila terlihat ketus sekali melihatku dandan.Perawat yang biasa membersamaiku datang, aku langsung mencegatnya. Menanyakan langsung bagaimana tampilanku hari ini."Apa aku menor, Dahlia?" tanyaku pada perawat yang biasa membersamaiku bernama Dahlia itu."Gak, kok, Dok. Hanya memang lipstiknya merah
"Sudah tahu nanyak," jawabku ketus. Dia tersenyum sebentar, lalu terdengar ponselnya berdering. Entah telponan siapa dia terlihat gugup.Tanpa permisi, dia berlalu begitu saja. Benar-benar aneh. Mungkin jika dia tidak mirip dengan abang Brayen aku pun tak peduli bagaimana pun sikapnya. Aku kembali ke ruangan, istirahat sejenak karena akan ada pertemuan siang ini. Memejamkan mata sebentar agar fresh ketika pertemuan nanti. Walau wajah teduh tadi menganggu pikiranku. Senyumnya bahkan bak pinang dibelah dunia. semoga ada kabar dari daddy siapa dia sebenarnya. Sebelum aku benar-benar gila dibuat olehnya.Kulihat ponsel berdering kembali.[Rapat diralat menjadi pukul 16.30. Direktur sedang ada tamu dari luar daerah.] Pesan dari admin grup. Setidaknya bisa mengurangi rasa capek. Begitu pentingnya pertemuan ini hingga dilakukan dadakan. Dahlia mengetuk pintu izin ke ruanganku, meyampaikan jika rapat dimundurkan waktunya."Rapat diundurkan bu dokter," ucap Dahlia. Dia memang totalitas dal
Tubhku membeku, apa dia bercanda? Melihatku yang melongo membuatnya semakin menarikku dalam pelukannya, dia bahkan mengecup bibirku dengan lembut.“Aku akan melakukan hal lebih jika kamu dekat dengan laki-laki manapun,” bisiknya.Sial, aku bahkan menikmati setiap belaian yang dilakukannya padaku. Apa dia sebenarnya abang Brayen? Otakku bahkan dibuat tak bisa berfikir hingga dia keluar melewati pintu yang lain dalam ruangan ini. Apakah ini mimpi? Berkali-kali kucubit tanganku, tetapi ini nyata.Aku pasti sedang mengigo di sore hari. Apa benar dia abang Brayen? Perasaan macam apa ini. Jika benar aku ingin menikmatinya lebih lama lagi. Aku bahkan sekotor ini dalam berfikir. ***Bahkan setiap belaiannya masih membekas, jika tak memungkinkan aku tak ingin menghapusnya. Tanpa sadar aku meringkuk tak ingin pelukan ini terhapus begitu saja. Deru napasnya yang memburu begitu candu bagiku. Aku tidak naif jika aku butuh sentuhan suamiku, pernikahan kami hanya sebentar tentu belum puas kurasa
“Apakah aku tidak mimpi?” tanyaku padanya.“Tidak, aku memng suamimu, sayang.” Dia membalasku dengan kecupan lagi. Berkali-kali kucubit lenganku merasakan ini hanya halusinasiku, tapi ini nyata. “Lalu kenapa sampai tidak mengingatku?” tanyaku lagi. Kupasang wajah cemberut padanya.“Itu teknik marketing sayang, tapi sayangnya abang masuk ke tempat singa ketika mengingat semua kejadian yang menimpaku, jadi kali ini kita harus berjuang bersama," bisiknya. Tangannya melingkar di pinggangku."Abang pintar sekali membuat hati ini menentu tidak jelas," balasku mencubit hidungnya."Karena beginilah perjalanan cinta kita sayang, begitu menegangkan," katanya."Sampai rasanya maut begitu dekat balasku."Kembali dia memelukku erat, dia bahkan lebih berani dari yang kukira."Tunggu aku, Sayang. Semua ini pasti tidak lama."Aku mengangguk walau dibuat bingung olehnya, maksudnya ke tempat singa itu apa ke tempat mafia itu lagi. Jadi selama ini abang Brayen hanya berpura-pura saja menjadi Akhdan.“B
Aku dan abang Brayen menangis bersama. Merasakan ujian demi ujian tak pernah surut di pernikahan kami. Aku pun tak habis pikir jika abang Brayen memintaku untuk bertunangan dengan Damar. Ini kurasa paling berat. "Apa tak ada ide lain, Bang." Abang Brayen hanya menggeleng. Kurasa dia pun tak ingin kejadian ini menimpa kami.Tetesan bening jatuh di pelupuk matanya. Ujian pernikahan kami memang tidak semudah orang lain."Apa bahagia begitu sulit, Bang?" tanyaku kembali dengan deraian air mata yang tak bisa kutahan. Abang Brayen pun menangis. Dengan pelan dia menghapus semua air mata yang jatuh tanpa kuminta. Begitu banyak gempuran ujian ini, akankan kali ini aku goyah, tetapi kami bahkan bertahan sejauh ini. Bertahan dengan perasaan yang tak pudar oleh waktu."Ini hanya sebentar sayang, kita pasti akan berkumpul bersama," balasnya. Kembali dia merangkulku dengan erat."Kasihan Arvian, Bang."Abang Brayen memelukku lebih erat. Kami berdua menangis memikirkan bagaimana nasib pernikahan
Aku terbangun di tempat yang terasa sunyi kurasa. Namun, ada yang aneh pada diriku aku seperti tak mengenali siapa diriku."Namamu Akhdan.” Begitu pak tua yang berprofesi petani memanggilku."Akhdan?" Aku kembali bertanya."Iya, namamu Akhdan." Pak Tua itu menegaskan. Kulihat di cermin wajahku bahkan penuh dengan luka. Entah bagaimana yang terjadi aku sama sekali tak mengingat apa pun. Benar-benar aneh kurasa.“Kenapa aku bisa sampai lupa dengan diriku, Pak?” tanyaku padanya.“Karena kamu ditemukan di sungai, Nak. Syukurlah kamu selamat sampai saat ini. Kamu baru sadar di hari kelima setelah kamu ditemukan,” ujar pak Tua itu.Cukup lama aku berusaha mengingat, tapi tak satu pun yang terkenang di kepalaku. Bahkan nama Akhdan itu kurasa begitu aneh. “Anggap aku ayahmu,” balasnya lagi. Aku sama sekali tak mengingat diriku, tetapi satu hal yang kuingat bahwa aku lupa ingatan, itu artinya seiring berjalan waktu bisa saja aku mengingat banyak hal di sini hingga aku akan mengingat siapa d
Damar terus menekan Akhdan agar segera membuat Monica jatuh cinta padanya. Terutama agar Akhdan semakin cuek dan tak peduli. Itu semakin menguatkan Monica akan jatuh di tangannya. Namun, Damar merasa Monica justru menjauuhinya. Harusnya kamu tidak bermain-main denganku Akhdan,” ucap Damar yang begitu emosi melihat Akhdan yang belum ada pergerakan sama sekali. Dia merasa diperdaya oleh Akhdan. “Kamu memang tidak becus,” ucap Damar kembali yang mencecar Akhdan.“Aku sudah melakukan yang tuan minta, apa ada yang salah?” tanya Akhdan yang bingung, di depan Damar, Akhdan akan berperilaku seperti orang bodoh. Walau dia muak dengan sikap Damar yang dirasa semakin hari semakin keterlaluan.“Buat dia tidak menyukaimu, agar di mau terenyuh padaku, tapi kamu sepertinya lebih suka bermain denganku,” balasnya membuat akhdan hanya terdiam.Kecemburuan Damar semakin hari semakin menjadi-jadi, sedikit-dikit dia akan mengamuk dan marah yang membuat Akhdan semakin muak dengan tingkahnya. Satu hal ya
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s