“Apakah aku tidak mimpi?” tanyaku padanya.“Tidak, aku memng suamimu, sayang.” Dia membalasku dengan kecupan lagi. Berkali-kali kucubit lenganku merasakan ini hanya halusinasiku, tapi ini nyata. “Lalu kenapa sampai tidak mengingatku?” tanyaku lagi. Kupasang wajah cemberut padanya.“Itu teknik marketing sayang, tapi sayangnya abang masuk ke tempat singa ketika mengingat semua kejadian yang menimpaku, jadi kali ini kita harus berjuang bersama," bisiknya. Tangannya melingkar di pinggangku."Abang pintar sekali membuat hati ini menentu tidak jelas," balasku mencubit hidungnya."Karena beginilah perjalanan cinta kita sayang, begitu menegangkan," katanya."Sampai rasanya maut begitu dekat balasku."Kembali dia memelukku erat, dia bahkan lebih berani dari yang kukira."Tunggu aku, Sayang. Semua ini pasti tidak lama."Aku mengangguk walau dibuat bingung olehnya, maksudnya ke tempat singa itu apa ke tempat mafia itu lagi. Jadi selama ini abang Brayen hanya berpura-pura saja menjadi Akhdan.“B
Aku dan abang Brayen menangis bersama. Merasakan ujian demi ujian tak pernah surut di pernikahan kami. Aku pun tak habis pikir jika abang Brayen memintaku untuk bertunangan dengan Damar. Ini kurasa paling berat. "Apa tak ada ide lain, Bang." Abang Brayen hanya menggeleng. Kurasa dia pun tak ingin kejadian ini menimpa kami.Tetesan bening jatuh di pelupuk matanya. Ujian pernikahan kami memang tidak semudah orang lain."Apa bahagia begitu sulit, Bang?" tanyaku kembali dengan deraian air mata yang tak bisa kutahan. Abang Brayen pun menangis. Dengan pelan dia menghapus semua air mata yang jatuh tanpa kuminta. Begitu banyak gempuran ujian ini, akankan kali ini aku goyah, tetapi kami bahkan bertahan sejauh ini. Bertahan dengan perasaan yang tak pudar oleh waktu."Ini hanya sebentar sayang, kita pasti akan berkumpul bersama," balasnya. Kembali dia merangkulku dengan erat."Kasihan Arvian, Bang."Abang Brayen memelukku lebih erat. Kami berdua menangis memikirkan bagaimana nasib pernikahan
Aku terbangun di tempat yang terasa sunyi kurasa. Namun, ada yang aneh pada diriku aku seperti tak mengenali siapa diriku."Namamu Akhdan.” Begitu pak tua yang berprofesi petani memanggilku."Akhdan?" Aku kembali bertanya."Iya, namamu Akhdan." Pak Tua itu menegaskan. Kulihat di cermin wajahku bahkan penuh dengan luka. Entah bagaimana yang terjadi aku sama sekali tak mengingat apa pun. Benar-benar aneh kurasa.“Kenapa aku bisa sampai lupa dengan diriku, Pak?” tanyaku padanya.“Karena kamu ditemukan di sungai, Nak. Syukurlah kamu selamat sampai saat ini. Kamu baru sadar di hari kelima setelah kamu ditemukan,” ujar pak Tua itu.Cukup lama aku berusaha mengingat, tapi tak satu pun yang terkenang di kepalaku. Bahkan nama Akhdan itu kurasa begitu aneh. “Anggap aku ayahmu,” balasnya lagi. Aku sama sekali tak mengingat diriku, tetapi satu hal yang kuingat bahwa aku lupa ingatan, itu artinya seiring berjalan waktu bisa saja aku mengingat banyak hal di sini hingga aku akan mengingat siapa d
Damar terus menekan Akhdan agar segera membuat Monica jatuh cinta padanya. Terutama agar Akhdan semakin cuek dan tak peduli. Itu semakin menguatkan Monica akan jatuh di tangannya. Namun, Damar merasa Monica justru menjauuhinya. Harusnya kamu tidak bermain-main denganku Akhdan,” ucap Damar yang begitu emosi melihat Akhdan yang belum ada pergerakan sama sekali. Dia merasa diperdaya oleh Akhdan. “Kamu memang tidak becus,” ucap Damar kembali yang mencecar Akhdan.“Aku sudah melakukan yang tuan minta, apa ada yang salah?” tanya Akhdan yang bingung, di depan Damar, Akhdan akan berperilaku seperti orang bodoh. Walau dia muak dengan sikap Damar yang dirasa semakin hari semakin keterlaluan.“Buat dia tidak menyukaimu, agar di mau terenyuh padaku, tapi kamu sepertinya lebih suka bermain denganku,” balasnya membuat akhdan hanya terdiam.Kecemburuan Damar semakin hari semakin menjadi-jadi, sedikit-dikit dia akan mengamuk dan marah yang membuat Akhdan semakin muak dengan tingkahnya. Satu hal ya
Aku pulang diantar abang Shaka yang telah menjemputku. Melihat wajah Damar yang tak terima membuat rasa bahagia tersendir bagikui. Barangkali dia merasa akan menjadi juaranya, tetapi dia tidak sadar jika ambisi yang berlebih akan menyakiti diri sendiri. "Kenapa senyum-senyum, gitu, dek?" tanya abang Shaka. "Gak ada, Bang," jawabku."Beneran, kek orang kasmaran.""Diih, abang Shaka sok tahu," balasku. Walau pernyataan abang Shaka benar jika aku sedang kasmaran saat ini.Sepanjang perjalanan aku tak henti tersenyum mengingat abang Brayen yang kurasa makin berani. Perasaan dulu dia tidak seberani ini jika bercumbu denganku. Apa efek lupa ingatan? Entahlah, yang jelas kurasa itu nilai lebih yang kudapatkan. Cumbuannya bahkan saat ini candu bagiku.Tak berselang lama akhirnya sampai juga di rumah, seperti biasa bunda sudah menunggu di depan teras. Walau daddy tak terlihat bersama bunda seperti biasanya."Lama sekali dek, pulangnya," sambut bunda yang seperti lelah menanti kedatanganku.
“Bagaimana Ini, Bang?” tanyaku panik. Dia justru tetap tenang seilah-olah tak ada kejadian.“Tenang saja, Dik," katanya tetap tenang.“ Bagaimana bisa tenang,” balasku kecut. Aku justru yang berdebar-debar dibuat olehnya.“Pakai maskernya, keluarkan alat medisnya.” "Untuk?" tanyaku heran."Untuk mengelabui mereka, sih," jawabnya. Pengen jitak saja ini orang. Habis dia begitu agresif sekali.Para pemuda itu terus menggedor pintu mobilku, sesekali mereka berteriak seolah menghakimi. Namun, seperti kata abang Brayen aku harus tenang menghadapai mereka. Untung saja perlengkapan medisku selalu ada di mobil."Keluar!" pinta mereka. Jujur aku berdebar-debar."Santai saja, Saayang," balas abang Brayen yang masih tetap tenang.Aku keluar menghadapi mereka, berusaha agar tetap tenang.“Mohon maaf aku sedang melakukan pertolongan pertama dengan pasienku di dalam, dia tidak mau disuntik makanya mobilnya bergerak,” ucapku berbohong. Mereka menatapku lekat. Raut wajaku begitu pias.“Silahkan lihat
Mengapa kau buat hatiku seperti roller coaster, kadang kau buat hatiku terbang di udara. Kadang juga terjun bebas tanpa ampun sedikit pun. Apa bahagia itu sulit, hingga rasa ini bahkan tak bertahan dalam hitungan hari.Aku mundur teratur, merasa kecewa, merasa dikhianati. Menangis mungkin sudah kering air mata ini. Andai saja abang Brayen mau mengajak daddy dan abang Shaka bicara, tentu beda ceritanya. Saat ini aku seperti masuk ke jurang penderitaan yang dia buat."Mau kemana, Dok?" tanya dokter Rahma."Mau kembali ke ruangan." Untuk apa bertahan di sini? Apa hanya untuk melihat kemesraan mereka?Bahkan aku hanya terus berjalan, meski dokter Rahma terus memanggil. Aku tak bisa membohongi hatiku jika saat ini aku dibuat tak berdaya dengan kabar yang beredar. Rasanya aku ingin pergi jauh, sejauh-jauhnya.Dengan langkah gontai aku menuju ruanganku, aku pun tak paham dengan semua perasaan ini. Apa aku harus memaklumi lagi semua yang dilakukan abang Brayen? Sementara kulihat dia begitu m
Aku merasa ini seperti mimpi, dia datang memelukku dengan erat. Sesekali tangisnya juga ikut keluar, begitu terdengar pilu. Hingga kami tersadar bunda dan daddy tak kalah terkejutnya.“Apa benar itu kamu?” tanya daddy lagi. kami membeku, abang Brayen tak terasa mengeluarkan air mata. Titik air mata jatuh tanpa diminta. "Kamu Brayen 'kan?" tanya daddy kembali. Sementara tanganku dilepas dan abang Brayen langsung menemui daddy.Abang Brayen langsung sujud di kaki daddy, air mata ini sudah tak bisa terbendung lagi ketika kami semua larut dalam tangisan. Tangis bahagia yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata."Apa benar ini kamu?" Daddy mengulang lagi pertanyaannya."Iya, Dad. Ini aku ...."“Kamu memang anak nakal, Brayen.”Tangis kami semakin pecah ketika abang Brayen mencium kaki daddy sambil meminta maaf.“Kamu tidak bosan membuat daddy selalu khawatir,” sambung daddy lagi. luruh tanpa diminta, abang Brayen sesenggukan menangis.“Jika fisik daddy tidak kuat mungkin sudah lama daddy