Mengapa kau buat hatiku seperti roller coaster, kadang kau buat hatiku terbang di udara. Kadang juga terjun bebas tanpa ampun sedikit pun. Apa bahagia itu sulit, hingga rasa ini bahkan tak bertahan dalam hitungan hari.Aku mundur teratur, merasa kecewa, merasa dikhianati. Menangis mungkin sudah kering air mata ini. Andai saja abang Brayen mau mengajak daddy dan abang Shaka bicara, tentu beda ceritanya. Saat ini aku seperti masuk ke jurang penderitaan yang dia buat."Mau kemana, Dok?" tanya dokter Rahma."Mau kembali ke ruangan." Untuk apa bertahan di sini? Apa hanya untuk melihat kemesraan mereka?Bahkan aku hanya terus berjalan, meski dokter Rahma terus memanggil. Aku tak bisa membohongi hatiku jika saat ini aku dibuat tak berdaya dengan kabar yang beredar. Rasanya aku ingin pergi jauh, sejauh-jauhnya.Dengan langkah gontai aku menuju ruanganku, aku pun tak paham dengan semua perasaan ini. Apa aku harus memaklumi lagi semua yang dilakukan abang Brayen? Sementara kulihat dia begitu m
Aku merasa ini seperti mimpi, dia datang memelukku dengan erat. Sesekali tangisnya juga ikut keluar, begitu terdengar pilu. Hingga kami tersadar bunda dan daddy tak kalah terkejutnya.“Apa benar itu kamu?” tanya daddy lagi. kami membeku, abang Brayen tak terasa mengeluarkan air mata. Titik air mata jatuh tanpa diminta. "Kamu Brayen 'kan?" tanya daddy kembali. Sementara tanganku dilepas dan abang Brayen langsung menemui daddy.Abang Brayen langsung sujud di kaki daddy, air mata ini sudah tak bisa terbendung lagi ketika kami semua larut dalam tangisan. Tangis bahagia yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata."Apa benar ini kamu?" Daddy mengulang lagi pertanyaannya."Iya, Dad. Ini aku ...."“Kamu memang anak nakal, Brayen.”Tangis kami semakin pecah ketika abang Brayen mencium kaki daddy sambil meminta maaf.“Kamu tidak bosan membuat daddy selalu khawatir,” sambung daddy lagi. luruh tanpa diminta, abang Brayen sesenggukan menangis.“Jika fisik daddy tidak kuat mungkin sudah lama daddy
Sudah lama Monica tidak merasakan tidur yang nyenyak, dipeluk suaminya-- Brayen membuat tidurnya begitu nyenyak. Mimpi indah pun begitu dia rasakan. Hingga pagi menjelang, dia sama sekali tak ada pergerakan. Begitulah indahnya pernikahan jika dua hati menyatu, seperti dunia milik kita berdua.Brayen lebih dulu bangun lalu memandang istrinya, sesekali dia mengucek mata tak percaya jika mereka sedang bersama. Tak mudah bagi mereka bertahan sampai saat ini. Sejak awal nikah terlalu banyak rintangan. Brayen terus introspeksi diri untuk menjadi lebih baik. Barangkali selama ini dia keliru memulai hubungan dengan Monica. Saat ini dia berfikir memulai lebih baik lagi dengan Monica terutama menjemput restu Reza Adytama."Maafkan aku sayang, kamu begitu tertekan selama ini." Brayen mengelus wajah istrinya. Monica yang begitu nyenyak tidur tidak merasakan belaian tangan suaminya."Bangun, Sayang." Brayen membangunkan istrinya yang begitu tertidur pulas. Sesekali dia kecup tanpa ampun agar Moni
Masakan tersedia begitu banyak di meja makan, kami semua melongo tak percaya jika abang Brayen bisa melakukan semua ini sendiri. Dia memasak makanan kesukaan keluarga yang biasa kami pesan jika ke restoran yang biasa kami kunjungi."Paling ini hanya menarik tampilan," ucap daddy. Jangankan daddy, aku pun tak percaya. Abang Brayen hanya diam, tak ada komentar apapun. Hal itu justru membuat kami penasaran. Aku justru memicingkan mata meminta dia membela diri."Silahkan, Bund," ucapnya sambil memberikan kepiting kesukaan bunda. Aku yang menggendong Arvian hanya bisa senyum-senyum tidak jelas. Tak percaya jika dia bisa menjalankan tantangan pertama ini."Mencurigakan," kata Daddy lagi. Abang Brayen tetap tenang meski daddy dan bunda seperti penyelidik yang tidak mempercayainya."Dicoba dulu, Dad. No coment." Sebagai istri sebenarnya aku juga deg-degan."Makasih, sayang," balas abang Brayen yang langsung mengecup karena aku membelanya."Eiits ...." Daddy dan bunda kompak menahanku."Pamer
Aku berharap apapun yang terjadi, kami selalu bersama. Meski ujian kerap datang mendera, meski badai pernikahan ini belum usai. Namun, setidaknya kita selalu seperti ini. Berbagi cerita, berbagi keluh kesah, berbagi rasa yang begitu memdalam di hati ini."Kenapa?" tanyanya. Tak ingin mengulang kisah yang lama. Aku memberikan ponselku.Abang Brayen diam, seolah mencari tahu sesuatu."Yang tau nomormu, siapa?" tanya abang Brayen lagi."Yang tahu cuma daddy, bunda, abang Shaka dan teman yang pernah ke desa terpencil," balasku."Berarti bisa saja salah satu dari mereka," balasku. Apa ini pesan dari Fadila? Karena tidak mungkin Nabila dan Rahma."Apa ini dari Fadila?" tanyaku yang sedang mengelus rqmbutnya. Dia berbaring di pahaku. Baru kusadar dia begitu manja jika berduaan."Jika belum ada bukti jangan menyimpulkan, Sayang." Dia menjawab sembari membelaiku. Lama-lama berduaan dengannya, oksigen ini rasanya mau habis. Walau jujur, aku menyukai caranya."Apa bisa dari orang lain.""Bisa sa
Pesta begitu meriah, bunda dan daddy mendampingi kami berdua. Spesial daddy mengundang orang tua kandung abang Brayen. Dia juga ikut diminta mendampingi. Namun, tak terlihat istri dari ayahnya."Jangan grogi, Sayang." Abang Brayen berbisik padaku, sepanjang acara tanganku tak lepas darinya. Aku justru yang malu menebar kemesraan di depan orang banyak."Ayah kandung abang minta kita menginap di rumahnya tiga malam, katanya mau menyambut kita sebagai sepasang pengantin. ""Pengantin tua, kali, Bang," balasku. "Hehe, adik ada-ada saja.""Beneran tiga malam? Gak salah?" tanyaku balik."Itu sih katanya, Sayang.""Satu malam saja, Bang." Abang Brayen hanya membalas dengan senyuman."Iya, satu malam saja, ya. Kenapa masih manyun kan ketemu ayah mertua," ledeknya. "Gak tahu, Bang."Satu persatu tamu sudah pulang, suasana pesta mulai lenggang. Terlihat Damar dan Mona begitu setia menemani. Seperti dulu mereka begitu akrab. Sesekali kulihat mereka tertawa berdua, sangat serasi menjadi pasanga
"Memang kenapa dengan keluargaku yang kaya, Pak?" tanyaku. Ayahnya diam tak bertanya lagi. Kadang ketika orang kejepit dia bisa melakukan apa saja. Namun, bukan berarti kita harus diam melihat tingkahnya yang semena-mena."Tidak salah aku diangkat sebagai anak oleh Daddy Reza Adytama karena ayah kandung yang seharusnya mengayomi seperti ini perlakuannya.""Kamu tidak tahu yang sebenarnya Brayen, lebih baik diam saja.""Jika orang tua berani memanfaatkan anaknya, itu sudah kriminalisasi. Dulu aku berfikir mengapa ayah kandungku tidak pernah mencariku, ternyata seperti ini kelakuannya. Ayah yang harusnya tempat berbagi peluh, berbagi cinta justru berani menjual anaknya sendiri."Suasana semakin memanas, firasatku ternyata ada benarnya jika undangan ini ada maunya. Suasana kembali hening karena mereka tak bersuara. Aku tak berani terlalu ikut campur, karena di sini posisi kami sebagai tamu.Kupegang tangannya abang Brayen, memberikan transfer cinta padanya, menguatkan dirinya bahwa seti
Meski cerewet minta ampun, ibu tirinya abang Brayen ikut membantuku. Entah apa motinya mengundang kami, yang jelas terlihat sekali jika mereka ada maunya. Kali ini tiidak begitu cerewet seperti yang tadi, kami fokus dengan pekerjaan masing-masing."Kuharap kita tidak memiliki suami yang menyebalkan," ucapnya lagi. "Cukup saja ayahnya yang menyebalkan, dia bahkan sudah menikah lebih tiga kali. Siapa yang betah jika punya suami seperti itu." Ha? Ngeri juga. Maksudnya ini istri ketiganya?"Buah tidak jatuh dari pohonnya, hati-hati saja," balasnya lagi. Aduuh, bikin hati tak menentu saja ibu tiri ini."Brayen itu nasibnya paling baik diantara yang lain, entah mengapa kebiasaan ayahnya jika istrinya hamil dia menikah lagi. Syukurnya Brayen ditemukan dengan keluarga Adytama." Aku tidak membalas setiap cerita yang ibu tirinya sampaikan. Mengalir begitu saja, daddy juga tak pernah menjatuhkan orang tua abang Brayen selama ini. Itulah yang membuat kami tidak ingin mengusik keluarga kandung