Meski cerewet minta ampun, ibu tirinya abang Brayen ikut membantuku. Entah apa motinya mengundang kami, yang jelas terlihat sekali jika mereka ada maunya. Kali ini tiidak begitu cerewet seperti yang tadi, kami fokus dengan pekerjaan masing-masing."Kuharap kita tidak memiliki suami yang menyebalkan," ucapnya lagi. "Cukup saja ayahnya yang menyebalkan, dia bahkan sudah menikah lebih tiga kali. Siapa yang betah jika punya suami seperti itu." Ha? Ngeri juga. Maksudnya ini istri ketiganya?"Buah tidak jatuh dari pohonnya, hati-hati saja," balasnya lagi. Aduuh, bikin hati tak menentu saja ibu tiri ini."Brayen itu nasibnya paling baik diantara yang lain, entah mengapa kebiasaan ayahnya jika istrinya hamil dia menikah lagi. Syukurnya Brayen ditemukan dengan keluarga Adytama." Aku tidak membalas setiap cerita yang ibu tirinya sampaikan. Mengalir begitu saja, daddy juga tak pernah menjatuhkan orang tua abang Brayen selama ini. Itulah yang membuat kami tidak ingin mengusik keluarga kandung
Aku bergegas ke kamar. Ternyata abang Brayen masih tertidur pulas dengan Arvian. Tidak ingin kejadian sebelumnya terulang lagi. Kali ini aku harus berjuang lebih untuk keluargaku. Kebahagiaan ini tak ingin direnggut begitu saja oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.Cukup mencurigakan karena biasanya abang Brayen tidak seperti ini. Tidurnya bahkan begitu pulas meski aku dorong kesana kemari. Apa dia diberi obat tidur? Semakin membuat hati tak tenang saja. Tok! Tok! Tok!"Belum tidur?" tanya ayah mertuaku. Aku semakin menyakini jika ada sesuatu terhadap abang Brayen. Apa dia yang memberi obat tidur, hingga abang Brayen begitu pulas?"Ini ngantuk banget, yah." Aku berbohong, gerak geriknya mencurigakan."Oh, baiklah. Ayah ada urusan sebentar," katanya. Tak lupa senyum yang begitu aneh dia berikan.Aku hanya membalas dengan anggukan. Setelah itu ayah mertuaku keluar begitu saja. Aku langsung menjalankan misi yang ada. Kami harus cepat keluar dari rumah ini.Rasa tak menentu
Bu Marni yang membuka pintu tak kalah terkejut, dia mundur satu langkah. Tak terduga ternyata yang datang mengetuk pintu adalah daddy."Saya Reza Adytama daddy dari Monica, kami kesini untuk membawa mereka pulang karena ada acara khusus untuk mereka hari ini."Jangan tanya bagaimana perasaanku. Hati lega tentunya karena ternyata daddy satu langkah lebih dulu. Bu Marni terlihat gugup dengan kedatangan daddy. Dia bahkan tak bisa berkata apa-apa."Monica, cepat kemasi barang-barangmu."Tak menyangka juga ada bunda ikut mendampingi daddy. Wajah ketakutan bu Marni tidak bisa disembunyikan. Namun, masalahnya abang Brayen tak ada pergerakan sama sekali. Dia masih tertidur pulas. Ini cukup mencurigakan. Sementara Luna entah kemana rimbanya. Keluarga yang membuat spot jantung tak menentu.Melihat abang Brayen yang tertidur pulas, membuatku hatiku sedikit tersentak. Khawatir terjadi hal yang tidak-tidak padanya. Meski aku dokter tanpa bantuan alat juga tidak bisa memastikan bagaimana keadaann
Monica pergi begitu saja ketika Brayen sudah sadar. Nina dan Reza tidak bisa pungkiri jika Monica sepertinya terkejut. Bukan tanpa sebab, Monica ingin seperti pasangan lainnya yang ingin bahagia. Tanpa banyak kata Monica tidak ingin bertemu dengan Brayen lagi."Monica mana, Dad?" tanya Brayen. Sulit bagi Nina memyampaikan jika Monica sedang labil saat ini. Namun, Brayen terus mendesak. Brayen terlihat lebih segar, Matanya terus menelisik mencari keberadaan Monica."Dia pulang, Nak," balas Nina. "Mengapa dia pulang, Bund. Bukannya aku masih dirawat?" tanya Brayen lemah."Iya, Nak. Bunda juga tidak paham." Nina memandang Reza yang masih terdiam. Sebenarnya Reza juga sedikit sebal dengan tingkah Brayen yang belum menemukan titik terang. Walau bagaimana pun kasus ini sudah sangat lama, jika terus didiamkan kasihan Monica dan Arvian yang akan terus mengalami ketidaknyamanan."Aku mau pulang, Dad." Ada nada berat di suara Brayen. Dia seperti menyadari suatu hal, ada yang tidak beres ka
Kita tidak mungkin selalu mengikuti apa yang kita inginkan selama ini. Sementara harus ada hati yang dijaga. Dia adalah anakku --Arvian.Sepanjang perjalanan aku terus berfikir tentang kelangsungan pernikahanku. Rasa cinta ini entah mengapa pudar. Aku seperti berada di titik lemah yang kurasa sebagian orang pernah mengalaminya.Meski begitu aku tetap hancur. Rasa sedih menyergapku."Pertimbangkan dulu dek," ujar abang Shaka yang masih memintaku agar tidak gegabah."Apa yang harus aku pertimbangkan, Bang. Setial tahun aku selalu melangitkan do'a agar selalu bersamanya. Namun, aku manusia biasa yang gampang rapuh. Jika abang Brayen terus menerus masih menyimpan banyak misteri akku tidak bisa, Bang."Kak Gendis hanya diam melihatku yang terisak. Aku sadar diri pasti akan selalu disalahkan."Apa aku harus begini terus, Bang. Jangan tanya bagaimana perasaanku padanya bang, karena hanya dia yang masih bertahta di sini." Aku menunjuk hatiku."Justru itu abang menanyakan, apakah kamu kuat me
Bunda keluar, memberi ruang waktu untukku berpikir sejenak. Semua ini memang terkesan mendadak dan mengejutkan bagi mereka. Namun, entah mengapa aku merasa jenuh dengan semua ini. Jenuh dengan sikap abang Brayen yang seperti menutupi sesuatu."Bunda harap tak ada penyesalan diantara kalian, ada Brayen di luar. Bicaralah baik-baik dengannya.""Iya, Bund." Setelah aku menjawab demikian, bunda keluar. Berkali-kali aku berfikir bahwa inilah yang terbaik bagiku dengan abang Brayen."Nyonya, saya bawa Arvian keluar sebentar," ucap Sus Yanti yang tengah menggendong Arvian. "Iya, Sus. Makasih banyak, ya." Sus Yanti hanya mengangguk. Aku pun bangkit dari ranjang hingga suara ketukan pintu terdengar. Dia nampak begitu segar, lebih tenang dibandingkan denganku."Bang ...." Iya, abang Brayen yang datang.Suasana langsung hening, aku pun tak bisa berkata-kata. Dia pasti telah mendengar semua keinginanku yang ingin berpisah darinya."Sudah makan?" tanyanya. Harusnya aku yang bertanya padanya yang
Brayen pergi begitu saja. Setelah mengucapkan kata talak, dia berlalu begitu saja. Seperti layaknya seorang profesional yang membuat hati wanitanya hancur. Dia bahkan tak menoleh Monica yang sedang tersedu-sedu. Nina dan Reza tak bisa lagi berkata-kata. Melihat mereka berpisah membuat hati Nina sakit. Apalagi melihat tangis Monica yang begitu terlihat hancur. Hati orang tua mana yang kuat melihat semua ini terjadi."Kita gagal, Bang. Mendidik anak," ucap Nina yang begitu sedih. Tetesan air jatuh di pipinya tanpa bisa ditahan."Tidak, Sayang. Beginilah proses dalam hidup kita. Tak selamanya selalu berjalan mulus.""Lihat anak-anak kita, Bang. Mereka sampai berpisah." Kembali Nina tersedu, rasanya tak kuat melihat kenyataan anak-anaknya yang begitu pilu."Itulah yang terbaik walau menyakitkan." Reza terus menasehati istrinya. Takut kesehatan Nina terganggu. "Kita sebagai orang tua mengantar mereka menuju masa depan, bukan mendikte mereka dengan seperti kemauan kita. Mungkin beginilah
"Terima kasih Brayen atas dedikasimu." Mr. Roy alias dokter Gunawan begitu bahagia melihat kemenangannya membuat keluarga Adytama hancur."Aku tertipu oleh Om," ucap Brayen "Kamu hebat, tak salah aku memilihmu menjadi bagian dari balas dendamku." Begitu pedenya Mr. Roy. Senyum tawanya begitu lepas. Apalagi laporan dari beberapa aaham mulai menarik investasi dari perusahaan Adytama."Sejak Awal aku memang tidak salah pilih, kamu luar biasa!"Brayen duduk termenung memikirkan semua yang terjadi. Keegoisannya mengantarkan rasa yang begitu resah padanya. Penyesan sudah tak ada artinya. Harta, tahta dan jabatan saat ini berada pada kendalinya. Mr. Roy bahkan menyerahkan semua yang dia miliki untuk Brayen. Dia begitu puas melihat kehancuran keluarga Adytama."Kamu memang luar biasa, aku akan pergi bersama Ana.""Anda yang luar biasa karena dendam yang anda miliki.""Yang jelas kamu sudah melakukan semua misi yang ada. Terutama bisa mengecoh kan Adytama. Itu nilai plus bagimu."Brayen terus