Bunda keluar, memberi ruang waktu untukku berpikir sejenak. Semua ini memang terkesan mendadak dan mengejutkan bagi mereka. Namun, entah mengapa aku merasa jenuh dengan semua ini. Jenuh dengan sikap abang Brayen yang seperti menutupi sesuatu."Bunda harap tak ada penyesalan diantara kalian, ada Brayen di luar. Bicaralah baik-baik dengannya.""Iya, Bund." Setelah aku menjawab demikian, bunda keluar. Berkali-kali aku berfikir bahwa inilah yang terbaik bagiku dengan abang Brayen."Nyonya, saya bawa Arvian keluar sebentar," ucap Sus Yanti yang tengah menggendong Arvian. "Iya, Sus. Makasih banyak, ya." Sus Yanti hanya mengangguk. Aku pun bangkit dari ranjang hingga suara ketukan pintu terdengar. Dia nampak begitu segar, lebih tenang dibandingkan denganku."Bang ...." Iya, abang Brayen yang datang.Suasana langsung hening, aku pun tak bisa berkata-kata. Dia pasti telah mendengar semua keinginanku yang ingin berpisah darinya."Sudah makan?" tanyanya. Harusnya aku yang bertanya padanya yang
Brayen pergi begitu saja. Setelah mengucapkan kata talak, dia berlalu begitu saja. Seperti layaknya seorang profesional yang membuat hati wanitanya hancur. Dia bahkan tak menoleh Monica yang sedang tersedu-sedu. Nina dan Reza tak bisa lagi berkata-kata. Melihat mereka berpisah membuat hati Nina sakit. Apalagi melihat tangis Monica yang begitu terlihat hancur. Hati orang tua mana yang kuat melihat semua ini terjadi."Kita gagal, Bang. Mendidik anak," ucap Nina yang begitu sedih. Tetesan air jatuh di pipinya tanpa bisa ditahan."Tidak, Sayang. Beginilah proses dalam hidup kita. Tak selamanya selalu berjalan mulus.""Lihat anak-anak kita, Bang. Mereka sampai berpisah." Kembali Nina tersedu, rasanya tak kuat melihat kenyataan anak-anaknya yang begitu pilu."Itulah yang terbaik walau menyakitkan." Reza terus menasehati istrinya. Takut kesehatan Nina terganggu. "Kita sebagai orang tua mengantar mereka menuju masa depan, bukan mendikte mereka dengan seperti kemauan kita. Mungkin beginilah
"Terima kasih Brayen atas dedikasimu." Mr. Roy alias dokter Gunawan begitu bahagia melihat kemenangannya membuat keluarga Adytama hancur."Aku tertipu oleh Om," ucap Brayen "Kamu hebat, tak salah aku memilihmu menjadi bagian dari balas dendamku." Begitu pedenya Mr. Roy. Senyum tawanya begitu lepas. Apalagi laporan dari beberapa aaham mulai menarik investasi dari perusahaan Adytama."Sejak Awal aku memang tidak salah pilih, kamu luar biasa!"Brayen duduk termenung memikirkan semua yang terjadi. Keegoisannya mengantarkan rasa yang begitu resah padanya. Penyesan sudah tak ada artinya. Harta, tahta dan jabatan saat ini berada pada kendalinya. Mr. Roy bahkan menyerahkan semua yang dia miliki untuk Brayen. Dia begitu puas melihat kehancuran keluarga Adytama."Kamu memang luar biasa, aku akan pergi bersama Ana.""Anda yang luar biasa karena dendam yang anda miliki.""Yang jelas kamu sudah melakukan semua misi yang ada. Terutama bisa mengecoh kan Adytama. Itu nilai plus bagimu."Brayen terus
Apa begini perasaan Monica padaku. Rasa ini begitu menyiksaku hingga rasanya ke sendi-sendi dalam tubuhku. Dia sama sekali tak memberiku ampun. Merindukannya setengah mati hingga kurasa aku hampir gila.Jika kamu yang memulai, maka terimalah akibatnya. Bahkan kalimat itu masih terngiang di telingaku. Kalimat yang membuatku menyesal setengah mati.Setelah lima tahun lamanya, rasa ini begitu menyiksaku. Membuat seluruh hidupku berubah drastis. Jabatan kuraih, tetapi faktanya aku sama sekali tak bahagia. "Kamu masih mencarinya?" Doni walaupun begitu mengesalkan, tetapi dia selalu mengingatkan akan semua tingkahku yang aneh ini. "Aku hampir gila.""Kamu yang duluan menyiksanya," ucap Doni."Ini mungkin yang namanya karma.""Apa benar kamu dulu tidak ada rasa?" tanya Doni."Aku hanya menganggapnya sebagai adik, tentunya aku melakukan ini jaga-jaga didepak dari keluarga Adytama karena anak angkat.""Kamu begitu jahat Brayen. Wanita setulus Monica kamu perlakukan seperti itu.""Setiap man
"Maaf anda siapa?" tanya wanita yang kupegang bahunya spontan. Sial, ternyata bukan Monica."Maaf saya salah orang," balasku. Wanita itu nampak cemberut melihat tingkahku, dia berlalu begitu saja. Aku bahkan bisa-bisanya keliru. "Ente kenapa, Bro?" tanya Doni yang sedang bermain dengan anaknya."Gak ada." Tidak mungkin aku cerita melihat sosok seperti Monica."Kenalkan ini CEO mas di kantor," ucapnya lembut pada istrinya."Saya Meiska, Pak," balas istrinya sembari mengulurkan tangan."Brayen," jawabku singkat.Melihat Meiska mengingatkanku lagi dengan Monica. Doni terlihat begitu bahagia bersama anak dan istrinya.Kalau kamu mencintai wanita, cintailah juga omelannya, ngambeknya, manjanya, cerewetnya, cemburunya, dan juga suka hobi belanjanya. Karena itulah wanita. Aku sampai termenung memikirkan jika Monica bersamaku hingga detik ini. Rindu akan hal itu meski cintaku belum sebesar ini waktu itu."Berapa bulan jagoannya, Don?" tanyaku."Masuk enam tahun," balasnya. Lagi dan lagi um
Aku yakin sejauh apapun kamu pergi, kamu akan kembali padaku. Karena hatimu tak bisa tertaut dengan yang lain. Sejak dulu sampai saat ini kamu pasti akan kembali padaku."Tuan lihat siapa?" tanya Fahmi.Namun, sayangnya lagi-lagi aku kecolongan. Wanita itu tidak melirikku sama sekali. Dia justru tertawa bahagia bersama laki-laki di sampingnya."Halo, tuan?" Tanya Fahmi kembali."Eh, iya, ayo kita ke hotel saja langsung."Sepanjang menuju hotel, aku terus memikirkan wanita yang tadi rasanya hatiku begitu sesak ketika dia sama sekali tak menyapaku. Aku sungguh berharap jika itu bukan Monica adik anngkatku sekaligus istriku. Apa aku salah jika dia sama sekali tak menganggapku? Mengapa rasanya begitu sakit."Apa ada yang mengganggu, Tuan?" tanya Fahmi lagi."Tidak ada, Fahmi." Aku berbohong agar Fahmi tidak banyak bertanya.Bahkan wajah laki-laki yang tadi begitu tampan, terlihat sangat berkelas. Aku terus bertanya-tanya apa yang tadi benar Monica atau tidak. Apa selama ini dia tinggal di
Dia duduk di samping tuan Aksen dan terus tersenyum. Namun, dia sama sekali tak menolehku sama sekali. Aku dianggap tak ada olehnya. "Ini istri saya, Monica Adytama," katanya. Semua menatap dengan takjub, sementara aku terus memegang dadaku. Apakah ini yang namanya karma? Tepat didepanku wanita yang pernah menjadi istriku telah menikah dengan laki-laki lain. Rasanya begitu menyesakkan, aku bahkan sulit bernapas dibuat.Monica hanya tersenyum, tanpa melirikku. Rasanya tak kuat mengikuti pertemuan ini. Jauh-jauh aku kesini hanya melihat kebahagiaan mereka. Menyesakkan lagi wanita yang membuat hidupku tak menentu sedang begitu bahagia di samping suaminya."Mereka memang pasangan serasi, Tuan Aksen yang begitu menawan dan istrinya yang begitu cantik sekali."Rasanya aku ingin menyela Fahmi yang terus memuji mereka berdua. Dia sama sekali tidak tahu jika Monica adalah mantan istri yang selama ini kucari. Dia bahkan tak peka sama sekali dengan perasaanku."Kita mulai pertemuan ini. Saya s
Dia berlalu tanpa memedulikanku, memedulikan bagaimana perasaanku. Dia berubah seiring berjalannya waktu. Tepat di lima tahun perceraianku dia hadir bersama laki-laki lain. Yang lebih menyakitkan dia bersama dengan laki-laki yang jauh diatasku. "Aku mencari tuan kemana-mana, ternyata di sini." Fahmi datang dengan wajah ngos-ngosan. Dia tidak tahu jika hati ini sedang sakit terpuruk."Tuan kenapa?" tanya Fahmi penasaran."Istri tuan Aksen adalah mantan istriku yang kucari lima tahun ini," balasku pelan."Ha? Maksudnya ibunya Arvian?" tanyanya kembali. Aku hanya membalas dengan anggukan. Rasanya tak kuat jika mengingat kenangan yang masih begitu membekas di hati."Iya, dia adalah Monica Adytama."Fahmi diam tanpa membalasku lagi. Bolehkah aku menangis? Sekian lama menunggunya ternyata dia sudah memiliki kehidupan yang baru. Tak kuasa aku terus berjalan tanpa tahu malu, berharap ini semua hanya bualan semata. Berharap Monica sedang bercanda jika sudah memiliki pengganti diriku. Fahmi y
Reza dilarikan ke rumah sakit karena ternyata Reza lemas dan mengalami sesak nafas. Kemungkinan yang terjadi karena Reza sempat emosi dan kepikiran Monica sehingga jantungnya kumat."Daddy kenapa, Bund.""Tiba-tiba lemas, padahal paginya daddy segar sekali.""Nafasnya naik turun, ya Allah bunda takut daddymu kenapa-kenapa." Nina menangis dipelukan Shaka. Monica yang mengira hanya chek up biasa ikut panik ketika dikabari abangnya jika Reza masuk ICU. Reza sampai tidak sadarkan diri menambah deretan kepanikan keluarganya."Bukannya tadi bunda bilang hanya chek up saja.""Iya, ternyata daddy lemas untung segera dilarikan ke rumah sakit.""Ya Allah Monica kira tidak separah ini." Terdengar suara serak Monica yang menangis mendengar Reza tidak sadarkan diri."Abang Brayen sudah menuju ke sana.""Iya, Dek. Kamu cepat ke sini," ucap Shaka yang meminta Monica langsung ke rumah sakit. Sementara Brayen shock melihat keadaan Reza, bayangan bersama ketika kecil membuat hati Brayen terenyuh dadd
Misiku kali ini bukan lagi untuk bersatu dengan abang Brayen, tapi memikirkan bagaimana agar abang Brayen bersama daddy seperti dulu lagi. Terkadang kita dipaksa kuat oleh keadaan dan dibuat ikhlas oleh kenyataan, jadi pandai-pandailah menjaga perasaan kita sendiri, karena disaat kita terpuruk, susah dan sedih tidak semua orang akan peduli. “Ikuti saja kata bunda, Dek. Sejauh mana kamu melangkah jika dia jodohmu pasti dia akan kembali mengejarmu.”“Iya, Bang.”“Abang yakin kamu bisa melewatinya, Dek. Demi daddy,” kata abang Shaka.“Makasih, Bang. Demi kalian semua.”Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. sakitnya daddy pasti jalan agar abang Brayen dan daddy bersatu kembali. Aku juga harus sadar jika usia daddy tidak muda lagi. Aku mau daddy di hari tuanya bahagia tanpa beban."Belajar untuk tidak terlalu berharap kepada siapapun kecuali Allah, karena harapan yang berlebihan kepada manusia hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri," ucap ababg Shaka memberi nasehat. "Saatnya kamu le
Reza kembali kumat, ternyata selama ini Reza ada riwayat jantung sehingga harus dikontrol minum obat setiap hari. Nina pun sadar semakin hari usia mereka sudah tidak muda lagi sehingga gampang sekali terkena penyakit.“Kasitahu anak-anak, Bang, kalau jantungmu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nina pada Reza yang terbaring. Nina sadar semenjak Monica gagal menikah lagi, suaminya–Reza sering sakit-sakitan. Dia merasa gagal sebagai orang tua.“Bang, coba diubah pola pikirnya bahwa tidak semua keinginan kita selalu sejalan.”“Iya, Sayang. Daddy baik-baik saja, Bund.”“Baik-baik bagaimana, kata dokter abang harus berobat intensif.” “Tenang saja, Bund. Semua pasti baik-baik saja,” kata Reza. Jauh dari lubuk hatinya sebenarnya dia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Shaka sudah bahagia dengan Gendhis. Sementara Monica masih dilema.“Apa abang memikirkan Monica?” tanya Nina. Dia penasaran akhir-akhir ini suaminya lebih pendiam.“Jangan dipendam, salah satu sumber penyakit adalah
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat