Dia berlalu tanpa memedulikanku, memedulikan bagaimana perasaanku. Dia berubah seiring berjalannya waktu. Tepat di lima tahun perceraianku dia hadir bersama laki-laki lain. Yang lebih menyakitkan dia bersama dengan laki-laki yang jauh diatasku. "Aku mencari tuan kemana-mana, ternyata di sini." Fahmi datang dengan wajah ngos-ngosan. Dia tidak tahu jika hati ini sedang sakit terpuruk."Tuan kenapa?" tanya Fahmi penasaran."Istri tuan Aksen adalah mantan istriku yang kucari lima tahun ini," balasku pelan."Ha? Maksudnya ibunya Arvian?" tanyanya kembali. Aku hanya membalas dengan anggukan. Rasanya tak kuat jika mengingat kenangan yang masih begitu membekas di hati."Iya, dia adalah Monica Adytama."Fahmi diam tanpa membalasku lagi. Bolehkah aku menangis? Sekian lama menunggunya ternyata dia sudah memiliki kehidupan yang baru. Tak kuasa aku terus berjalan tanpa tahu malu, berharap ini semua hanya bualan semata. Berharap Monica sedang bercanda jika sudah memiliki pengganti diriku. Fahmi y
Aksen dari jauh terus menatap Monica, tak menyangka wanita yang selama ini membuat tidurnya tidak nyenyak menjadi istrinya, walau dia sadar tidak bisa mengambil hatinya. Meski dia berusaha sekuat tenaga, Monica tak bergeming membuka hati untuknya."Sabar, Nak." Nina menasehati Aksen yang baru saja menjadi menantunya. Nina begitu peduli dengan Aksen, karena semangat dan sabar Aksen menunjukkan bahwa dia begitu peduli dengan Monica dan Arvian."Iya, Bund.""Seiring berjalannya waktu dia akan menjadi istrimu seutuhnya." Aksen tersenyum mendengar penuturan Nina--mertuanya."Ini saja Aksen begitu bahagia, Bund."Nina terharu melihat kegigihan Aksen. Setahun mengejar Monica tidak mudah bagi Aksen. Arvian bahkan begitu menyanyanginya, tetapi sayang Monica sama sekali tidak melirik Aksen sama sekali. Hati Monica masih tertaut dengan Brayen. Namun, sayang kandas dan sulit untuk kembalimMonica menerima pinangan Aksen karena bunda dan daddynya yang meminta. "Belajarlah jatuh cinta, agar kamu m
Setelah pertemuan singkat dengan abang Brayen lalu melihat kesungguhan Aksen, membuatku tersadar jika aku sudah memiliki suami, meski jujur hati ini belum bisa berpaling dari abang Brayen. Sakit hati berkali-kali pun tetap saja namanya bersemi di hatiku. Seperti kata orang cinta Pertama tidak bisa secepat itu untuk dilupakan.Aksen bahkan dengan sabar tidak menuntut lebih dariku, aku pun sadar akan hal itu. Sadar jika aku adalah istrinya, tetapi bagaimana aku bisa memaksa segenap hatiku untuk mencintainya, sementara hati ini masih belum bisa lepas dari satu nama. Iya, siapa lagi kalau bukan abang Brayen."Sudah siap semuanya?" tanya Aksen lembut. Aku tahu dia ingin bertanya ini itu padaku, tetapi dia tahan untuk itu. Tahan agar tidak membuatku tersinggung.Aku hanya balas dengan anggukan."Kabari bunda sama daddy, Monica. Terutama sama Arvian." Aksen mengingatkanku."Sudah," balasku singkat.Aksen menghembuskan napas pelan, terlihat dia selalu curi pandang, itu terasa ketika tatapan
Aku langsung masuk ke kamar mandi, beberapa kali aku menarik napas. Sesuatu mulai menjalar di hatiku, debaran pun tak bisa kuelakkan lagi. Ada-ada saja Aksen. Kuurasa dia begitu manis. Aksen memang laki-laki tampan blasteran yang membuat siapa saja terpana. Berada di kamar ini sepertinya begitu berat bagiku, bayangan abang Brayen begitu jelas kurasakan di sini. Aku begitu bodoh membiarkan rasa ini terus tumbuh berkembang. Apa karena dia cinta pertamaku? Kata orang cinta pertama begitu tak bisa terlupakan. Terutama dia pernah menjadi suami pertama, sulit untuk dilupakan.Aku bahkan pernah mengunjungi aunty Fatia, mantan om Gunawan dulu, dia nampak lebih tenang karena sekian tahun terpenjara oleh perasaannya. Karena faktanya om Gunawan hanya mencintai bunda. Apa aku juga begitu? Hanya mencintai abang Brayen, tak peduli betapa hebatnya suamiku saat ini. Semoga aku tidak seperti itu. Perasaan ini membunuhku."Kenapa lama sekali?!" tanya Aksen menggedor pintu kamar mandi.Pikiranku keman
Aksen langsung mengembalikan posisinya seperti semula, malu karena dipergok Arvian. Senyumnya terus mengembang, sesekali dia melirikku yang merapikan Arvian untuk tidur lagi. "Daddy ke kamar mandi, dulu, ya," ucap Aksen yang ke kamar mandi."Siap, Dad," balas Arvian."Tidurlah, Nak. Besok 'kan sekolah," ucapku menenangkan Arvian."Iya, Bund. Rasanya menyenangkan ada daddy dan bunda." "Arvian sedih gak ada bunda?" tanyaku sambil mengelus rambutnya."Iya, rasanya lama sekali bunda pulang. Tapi untung daddy setiap hari menelponku." "Kapan daddy nelpon?" tanyaku."Setiap pulang sekolah, sama sebelum tidur malam. Daddy selalu menelpon menanyakan Arvian bagaimana hari ini." Ya Allah sesak sekali rasanya, dia saja begitu peduli dengan anakku."Sudah lama Arvian tidak merasakan memiliki daddy seperti cerita teman-teman di sekolah. Ternyata benar Punya daddy itu menyenangkan."Aku langsung memeluk Arvian. Titik itu jatuh begitu saja."Halo, kalian kenapa?" tanya Aksen tiba-tiba di dekat kam
Ditengah teriakan orang lain, Aksen bukannya melepasku, dia justru semakin lengket. Sekarang aku yang malu dilihat oleh banyak orang, tak sedikit mereka begitu bahagia. "Sultan bucin," bisikku."Biarin." Astaga, apa-apaan kami ini."Lain kali kalau manggil jangan salah nama," katanya.Ha? Maksudnya?"Namaku Aksen Andara, Sayang. Bukan Ardana," sambungnya lagi. Astagfirullah, bisa-bisanya aku salah memanggil namanya."Saking semangatnya tuan," jawab asisten resek di belakang. Diih, kena aku kan gara-gara omongan mereka tadi. Mereka yang memancingku hingga cemburu tidak jelas."Santai saja, jangan grogi." Aksen mulai menggodaku. Mau ditaruh dimana muka ini, malunya setengah mati.Selama peresmian, Aksen tak melepas genggaman tanganku. Benar-benar seperti laki-laki labil yang takut kehilangan kekasihnya. Lepas dikit, dia langsung menarikku pada rangkulannya. Astagfirullah, emang boleh sebucin ini, atau justru aku yang sebenarnya bucin? Entahlah."Aku ke kamar mandi, ya?" "Tunggu ... ak
Siapa sangka abang Brayen membeli rumah di kawasan ini. Sesuatu yang tak terduga jika abang Brayen tertarik membeli rumah di kawasan ini. Tanpa banyak kata Aksen langsung menggenggam tanganku. Memberi semangat untukku agar tetap tenang.Semntara Aksen tak menghiraukan dia tetap mengajakku untuk melihat rumah ini. Namun, takbisa dipungkiri raut wajahnya tidak melukiskan kecemburuan sedikit pun. Melihat kami Abang Brayen mendekat, kurasa dia sudah benar-benar move on tentang hubungan kami sejak lima tahun yang dulu. "Tuan Aksen, apa kabar?" tanyanya basa basi."Alhamdulillah, baik," jawab Aksen ramah. Sekilas abang Brayen melihatku, tapi kualihkan. "Apa tuan Aksen yang akan membeli rumah ini?" tanya abang Brayen. Sepertinya Abang Brayen penasaran. "Memangnya pak Brayen tinggal di sini juga?" balas Aksen tak mau kalah bertanya."Iya, saya tinggal di sini, sepertinya kita jodoh untuk menjadi tetangga," balasnya pede."Kalau saya tergantung istri saya," balas Aksen. Abang Brayen memang
Bunda dan Daddy terus tersenyum melihat kami berdua, Aksen bingung melihat bunda dan Daddy yang tidak biasanya. Duuh, benar-benar meresahkan."Kalian istirahat, ya, Arvian juga belum pulang," ucap Daddy."Baik, Dad." Aksen membalas dengan santun.Aku dan aksen masuk ke kamar, bunda mengedipkan matanya dari jauh. Ya ampun, bunda seperti abege labil. Tak lupa daddy juga senyum-senyum tidak jelas, ini pasti karena video yang viral itu. Walau jujur aku cemburu melihat bunda yang semakin tua semakin mesra dengan Daddy."Bunda dan Daddy seperti pengantin baru, ya, mesra sekali," ucap Aksen."Iya, kita mah kalah jauh.""Sepertinya aku harus minta resep dari Daddy biar awet seperti itu," balas Aksen terkekeh. Aku justru membalas dengan manyun, menurut bunda kadang daddy juga mengesalkan. "Kok cemberut?" tanyanya lagi. "Siapa juga yang cemberut," balasku."Bagaimana rasanya ketemu mantan?" tanyanya. "Lain kali kalau ketemu jangan grogi, aku cemburu," katanya berlalu. Astaga wajahku langsung