Setelah pertemuan singkat dengan abang Brayen lalu melihat kesungguhan Aksen, membuatku tersadar jika aku sudah memiliki suami, meski jujur hati ini belum bisa berpaling dari abang Brayen. Sakit hati berkali-kali pun tetap saja namanya bersemi di hatiku. Seperti kata orang cinta Pertama tidak bisa secepat itu untuk dilupakan.Aksen bahkan dengan sabar tidak menuntut lebih dariku, aku pun sadar akan hal itu. Sadar jika aku adalah istrinya, tetapi bagaimana aku bisa memaksa segenap hatiku untuk mencintainya, sementara hati ini masih belum bisa lepas dari satu nama. Iya, siapa lagi kalau bukan abang Brayen."Sudah siap semuanya?" tanya Aksen lembut. Aku tahu dia ingin bertanya ini itu padaku, tetapi dia tahan untuk itu. Tahan agar tidak membuatku tersinggung.Aku hanya balas dengan anggukan."Kabari bunda sama daddy, Monica. Terutama sama Arvian." Aksen mengingatkanku."Sudah," balasku singkat.Aksen menghembuskan napas pelan, terlihat dia selalu curi pandang, itu terasa ketika tatapan
Aku langsung masuk ke kamar mandi, beberapa kali aku menarik napas. Sesuatu mulai menjalar di hatiku, debaran pun tak bisa kuelakkan lagi. Ada-ada saja Aksen. Kuurasa dia begitu manis. Aksen memang laki-laki tampan blasteran yang membuat siapa saja terpana. Berada di kamar ini sepertinya begitu berat bagiku, bayangan abang Brayen begitu jelas kurasakan di sini. Aku begitu bodoh membiarkan rasa ini terus tumbuh berkembang. Apa karena dia cinta pertamaku? Kata orang cinta pertama begitu tak bisa terlupakan. Terutama dia pernah menjadi suami pertama, sulit untuk dilupakan.Aku bahkan pernah mengunjungi aunty Fatia, mantan om Gunawan dulu, dia nampak lebih tenang karena sekian tahun terpenjara oleh perasaannya. Karena faktanya om Gunawan hanya mencintai bunda. Apa aku juga begitu? Hanya mencintai abang Brayen, tak peduli betapa hebatnya suamiku saat ini. Semoga aku tidak seperti itu. Perasaan ini membunuhku."Kenapa lama sekali?!" tanya Aksen menggedor pintu kamar mandi.Pikiranku keman
Aksen langsung mengembalikan posisinya seperti semula, malu karena dipergok Arvian. Senyumnya terus mengembang, sesekali dia melirikku yang merapikan Arvian untuk tidur lagi. "Daddy ke kamar mandi, dulu, ya," ucap Aksen yang ke kamar mandi."Siap, Dad," balas Arvian."Tidurlah, Nak. Besok 'kan sekolah," ucapku menenangkan Arvian."Iya, Bund. Rasanya menyenangkan ada daddy dan bunda." "Arvian sedih gak ada bunda?" tanyaku sambil mengelus rambutnya."Iya, rasanya lama sekali bunda pulang. Tapi untung daddy setiap hari menelponku." "Kapan daddy nelpon?" tanyaku."Setiap pulang sekolah, sama sebelum tidur malam. Daddy selalu menelpon menanyakan Arvian bagaimana hari ini." Ya Allah sesak sekali rasanya, dia saja begitu peduli dengan anakku."Sudah lama Arvian tidak merasakan memiliki daddy seperti cerita teman-teman di sekolah. Ternyata benar Punya daddy itu menyenangkan."Aku langsung memeluk Arvian. Titik itu jatuh begitu saja."Halo, kalian kenapa?" tanya Aksen tiba-tiba di dekat kam
Ditengah teriakan orang lain, Aksen bukannya melepasku, dia justru semakin lengket. Sekarang aku yang malu dilihat oleh banyak orang, tak sedikit mereka begitu bahagia. "Sultan bucin," bisikku."Biarin." Astaga, apa-apaan kami ini."Lain kali kalau manggil jangan salah nama," katanya.Ha? Maksudnya?"Namaku Aksen Andara, Sayang. Bukan Ardana," sambungnya lagi. Astagfirullah, bisa-bisanya aku salah memanggil namanya."Saking semangatnya tuan," jawab asisten resek di belakang. Diih, kena aku kan gara-gara omongan mereka tadi. Mereka yang memancingku hingga cemburu tidak jelas."Santai saja, jangan grogi." Aksen mulai menggodaku. Mau ditaruh dimana muka ini, malunya setengah mati.Selama peresmian, Aksen tak melepas genggaman tanganku. Benar-benar seperti laki-laki labil yang takut kehilangan kekasihnya. Lepas dikit, dia langsung menarikku pada rangkulannya. Astagfirullah, emang boleh sebucin ini, atau justru aku yang sebenarnya bucin? Entahlah."Aku ke kamar mandi, ya?" "Tunggu ... ak
Siapa sangka abang Brayen membeli rumah di kawasan ini. Sesuatu yang tak terduga jika abang Brayen tertarik membeli rumah di kawasan ini. Tanpa banyak kata Aksen langsung menggenggam tanganku. Memberi semangat untukku agar tetap tenang.Semntara Aksen tak menghiraukan dia tetap mengajakku untuk melihat rumah ini. Namun, takbisa dipungkiri raut wajahnya tidak melukiskan kecemburuan sedikit pun. Melihat kami Abang Brayen mendekat, kurasa dia sudah benar-benar move on tentang hubungan kami sejak lima tahun yang dulu. "Tuan Aksen, apa kabar?" tanyanya basa basi."Alhamdulillah, baik," jawab Aksen ramah. Sekilas abang Brayen melihatku, tapi kualihkan. "Apa tuan Aksen yang akan membeli rumah ini?" tanya abang Brayen. Sepertinya Abang Brayen penasaran. "Memangnya pak Brayen tinggal di sini juga?" balas Aksen tak mau kalah bertanya."Iya, saya tinggal di sini, sepertinya kita jodoh untuk menjadi tetangga," balasnya pede."Kalau saya tergantung istri saya," balas Aksen. Abang Brayen memang
Bunda dan Daddy terus tersenyum melihat kami berdua, Aksen bingung melihat bunda dan Daddy yang tidak biasanya. Duuh, benar-benar meresahkan."Kalian istirahat, ya, Arvian juga belum pulang," ucap Daddy."Baik, Dad." Aksen membalas dengan santun.Aku dan aksen masuk ke kamar, bunda mengedipkan matanya dari jauh. Ya ampun, bunda seperti abege labil. Tak lupa daddy juga senyum-senyum tidak jelas, ini pasti karena video yang viral itu. Walau jujur aku cemburu melihat bunda yang semakin tua semakin mesra dengan Daddy."Bunda dan Daddy seperti pengantin baru, ya, mesra sekali," ucap Aksen."Iya, kita mah kalah jauh.""Sepertinya aku harus minta resep dari Daddy biar awet seperti itu," balas Aksen terkekeh. Aku justru membalas dengan manyun, menurut bunda kadang daddy juga mengesalkan. "Kok cemberut?" tanyanya lagi. "Siapa juga yang cemberut," balasku."Bagaimana rasanya ketemu mantan?" tanyanya. "Lain kali kalau ketemu jangan grogi, aku cemburu," katanya berlalu. Astaga wajahku langsung
Wanita yang bernama Silva Mahendra itu mundur teratur, baru pertama kalinya kulihat Aksen marah. Para pengawal yang membersamai segera mengeluarkan Silva dari tempat kami.Wajah malu Silva tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, tak peduli Aksen terus menatapku. "Maafkan aku atas kekacauan ini," kata Aksen memegang tanganku. Aku hanya diam, berapa banyak lagi wanita yang ada didekat Aksen. Sejak pagi selalu ada wanita yang ingin mendekatinya. Kurasa dia bukan orang sembarangan yang tidak memiliki wanita idaman."Tidak usah makan." Hanya itu yang keluar dari mulutku. Selera makanku tiba-tiba berubah."Apa kamu marah?" tanyanya. Aku menggeleng pelan. Siapa aku yang mau marah dengannya. Janda sepertiku memang tidak pantas bersanding dengannya."Jadi anda Tuan Aksen Andara?" tanya seorang gadis yang tiba-tiba mendekati kami.Aksen hanya diam. Dia tetap fokus padaku tanpa memedulikan wanita yang mendekati kami."Aku pengagummu, anda begitu keren." Aksen memandangku, sungguh sulit rasanya h
Aksen membawaku ke tempat seafood terbaik, berkat bantuan asistennya kami berdua kencan di tempat yang lumayan elit. Ruangannya begitu nyaman, beda jauh dengan kaki lima yang tadi."Aku tidak marah istriku makan sembarang tempat, tapi harus juga perhatikan kebersihan dan kenyamanan ketika makan.""Aku suka hal yang berbau sederhana sejak kecil, bunda pun tidak pernah melarang." Aku membela diri."Apa Daddy Reza juga bisa makan di pinggir jalan?" tanyanya."Kalau Daddy sangat pemilih, beda dengan bunda yang memang sejak kecil sudah terbiasa. Tuan Aksen sepertinya mirip Daddy." Eh, dia justru terkekeh mendengar ucapanku. Makanan di sini begitu menggoda, cita rasamya sangat enak. Aksen sesekali menghapus bibirku dengan tisu karena belepotan, dia begitu romantis melakukan hal yang tidak pernah kurasakan sebelumnya."Pelan-pelan, sayang," ucapnya lembut.Padahal dia tidak ikut makan. Hanya memesan air putih saja. Dia memang begitu menjaga pola makannya."Kenapa tidak ikut makan?" "Aku al
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te