Aksen langsung merangkulku, keadaan mulai tenang setelah pelemparan batu itu. Semua pengawal yang mulanya tidak ada langsung muncul. Sepertinya Aksen memiliki tombol keamanan sehingga semua kaca langsung dibereskan. Mereka dengan sigap membersihkan."Maafkan kami yang terlambat, hingga mengganggu tuan dan nyonya."Aksen hanya mengangkat tangannya, seperti kode bahwa tidak ada masalah. Kami duduk dengan tenang kembali meski selera makan sudah hilang."Semua sudah aman, seluruh pengawal sudah stand by di depan.""Terima kasih, Mas Ari. Saya tunggu laporan siapa yang membuat kekacauan ini," ucap Aksen."Siap, Tuan. Sebentar kami akan melaporkan."Namanya Mas Ari, asisten Aksen yang menjaga selama 24 jam. Ari yang masih terlihat muda begitu totalitas dalam menjaga Aksen. Sebenarnya Aksen yang meminta kencan hanya berdua, tapi siapa sangka kecolongan seperti ini."Cek dari mereka yang beekhianat, tidak mungkin mereka tahu keberadaan kami di tempat baru ini.""Siap, Tuan," balas Ari yang t
Aku bahagia nyatanya sebenarnya aku sakit hati. Monica membuat hidupku hancur seketika. Rasanya aku ingin mengulang waktu bersama dengannya. Baru sekarang terasa semua kebaikan yang ada pada dirinya."Mereka semakin mesra, Tuan," ucap Fahmi asistenku. Aku yang hampir gila ini selalu mencari tahu keberadaanya. Apalagi Aksen kembali ke Indonesia bersama Monica."Bayar salah satu dari mereka untuk menjadi penyusup.""Mereka sangat ketat, Tuan. Tidak mudah untuk menyusup ke mereka. Apa tuan lupa jika Aksen sudah memutus beberapa investasi dengan kita. Aku takut berimbas dengan perusahaan.""Aku tidak peduli Fahmi, yang jelas bayar berkali lipat agar bisa bayar salah satu dari mereka menjadi penyusup." Fahmi terdiam, dia selalu mengikuti kemauanku. Rasanya semua harta ini tak ada artinya melihat Monica baik-baik saja hingga memiliki pasangan tanpa memedulikan perasaanku.Aku tersiksa, sementara Monica begitu terlihat bahagia. Rasanya aku ingin segera menghancurkan kebahagiaannya. Seperti
Hari yang begitu melelahkan, sepertinya mantan begitu meresahkan hingga ada dimana-mana. Apa dia tidak punya pekerjaan."Kita kemana, Mas?" tanyaku pada Aksen yang sedikit murung di dalam mobil."Kita ke puncak, ya, ada seafood enak di sana.""Aku nurut, Mas."Selama perjalanan kami hanya diam, kami larut dalam pikiran masing-masing. Drama yang terjadi pada kami bukannya berkurang, tetapi semakin bertambah. Abang Brayen sepertinya semakin nekat. Dia begitu meresahkan membuat kami tidak nyaman. Tak berselang lama kami sampai ke puncak, Aksen membawaku ke tempat yang tidak pernah kukunjungi."Aku tidak tahu ternya di sini ada pemandangan yang begitu indah," kataku."Aku tahu dari Ari, sebelum pulang aku menanyakan tempat seafood yang enak."Dia bahkan hafal makanan kesukaanku, meski dia tidak berani makan makanan seperti itu. Memang benar kata orang ketika kedua orang tua restu semuanya terasa begitu mudah. Aku bahkan mulai bucin dengan Aksen. Rasanya bersamanya begitu indah.Makanan y
Tanpa malu abang Brayen terus menarikku dalam pelukannya. Aksen justru hanya mematung melihat tingkah abang Brayen yang begitu menjijikkan ini. Tak peduli dengan keberadaan Aksen, Brayen terus memaksaku untuk berada di dekapannya."Lepaskan aku tuan Brayen, kamu tidak berhak atas diriku.""Siapa bilang, ha! Kamu harus bersamaku sampai akhir.""Anda sepertinya sudah gila!" Aku kembali berteriak."Aku memang gila!" Nafas kami berburu, aku hampir sesak napas dibuat oleh tangan kekarnya. Dia bahkan mulai kasar. Entah apa yang dipikirkan olehnya."Aku bilang lepas!""Lihat suamimu, dia hanya bisa mematung, suami macam apa itu. Hahaha ...."Ya Allah dia begitu menjijikkan membuatku ingin meludahinya. Suaranya begitu mengejek Aksen, seolah Aksen tidak layak menjadi suamiku. Padahal dia justru lebih tidak layak menjadi suami."Brayen Atmadja, lepaskan istriku!""Hahaha ... kamu laki-laki cemen, Aksen!"Mata Aksen memerah, amarahnya nampak jelas di matanya. Tangannya dikepal, aku justru takut
Akhirnya bisa napas lega karena kami sampai ke rumah dalam keadaan selamat. Bunda menunggu di depan pintu. Daddy juga demikian bersama abang Shaka yang selalu ada untukku."Kamu baik-baik saja, Nak?" tanya bunda. Ada kepanikan di wajahnya. Aku berusaha agar bunda dan daddy tidak khawatir dengan kejadian yang menimpa kami. Meski begitu aku tidak ingin menyembunyikan masalah apapun dnegan bunda apalagi masalah abang Brayen."Tenryata perang itu belum usai, Bund," balasku."Brayen masih mengintai?" tanya daddy kembali."Iya, Dad."Aksen hanya menyimak, dia juga seperti berfikir keras. Kejadian demi kejadian masih mengintai kami. Walau jujur, aku memang belum sepenuhnya tahu bagaimana cara kerja Aksen ketika mengalami masalah."Tunggu dulu maksudmu apa, Monic?" tanya bunda penasaran."Kami tadi hampir kehilangan nyawa karena ulahnya, Bund.""Maksudmu, Dek?" abang Shaka juga penasaran."Dia menahanku tadi, untung kami bisa keluar.""Astagfirullah, dia juga sempat ingin mengambil Arvian tad
Suara Hati AksenSemakin hari semakin kurasakan Monica tidak mencintaiku. Tidak bisa bisa dipungkiri, dia begitu mencintai sang mantan. Abang angkatnya yang telah begitu lama mencuri hatinya. Terasa sakit, meski tak berdarah. Ternyata ketika kamu mencintai melihatnya bahagia adalah anugerah terindah. Namun, ketika melihatnya terluka rasanya sakit, raga ini lelah rasanya ingin menyerah. Aku bergelimang harta, tapi cinta sangat jauh kurasakan. "Apa yang kamu lakukan jika ternyata orang yang kamu perjuangkan setenga mati, tetap saja tidak bisa mencintaimu?" tanyaku pada asisten yang telah lama membersamaiku. "Aku tidak pernah jatuh cinta, Tuan," ucapnya polos. "Kamu harus jatuh cinta biar tahu rasanya.""Kalau hanya untuk terluka lebih baik aku begini saja.""Dia begitu istimewa. ""Tidak ada yang istimewa jika dia tidak menghargai perasaan tuan." Diih, ini asisten bikin tensi naik saja."Kita berhak bahagia, dia pun juga berhak bahagia. Mungkik jodohnya bukan untuk tuan.""Tapi aku
Aksen pergi begitu saja, aku seperti tersadar dari mimpi jika Aksen tidak ingin bersamaku lagi. Dia bahkan tak menolehku ketika berangkat.Sementara bunda hanya melihatku tanpa banyak kata. Semakin menambah deretan kesalahan yang telah kulakukan. Aku memang salah dan pantas untuk diperlakukan seperti ini."Bund ....""Makan itu cintamu pada Brayen, bunda tidak mau ikut campur lagi dengan segala urusanmu.""Bunda ....""Kamu bahkan menipu kami sebagai orang tua, lima tahun apa tidak cukup kamu menderita karena laki-laki yang bahkan ikut menyakiti hati daddymu yang merawatnya sejak kecil."Rasanya begitu sesak mendengarnya. Bunda saja tidak memedulikanku lagi. Iya, karena aku tidak belajar dari kesalahan. Harusnya aku sadar Brayen itu harusnya dibuang tanpa menyakiti Aksen yang begitu baik menerimaku yang janda ini.Daddy tak berbicara sedikit pun, daddy langsung masuk ke kamar. Ya Allah rasanya sakit melihat daddy semarah itu. Aksen begitu berarti di hati mereka."Bunda ... maafkan Mo
Arvian sepanjang jalan hanya diam, ini yang kutakuti. Dia mengetahui istilah yang belum seharusnya dia ketahui. Harusnya anak tidak perlu tahu bagaimana masalah orang dewasa. Karena masa emas anak seperti Arvian yang dia tahu bagaimana bahagia. "Apa itu janda, Bund?" tanya Arvian. Akhirnya keluar juga pertanyaan yang aku takutkan. Iya, dia pasti mendengar istilah tadi."Janda itu ...." Rasanya berat, tapi aku harus berkata sebenarnya."Apa Bund?" Arvian masih penasaran."Janda itu wanita atau seorang istri yang sudah berpisah dengan suaminya." "Kenapa dia bilang ke bunda?" tanyanya lagi."Bunda sudah berpisah dengan ayahmu lima tahun yang lalu, Nak." Hening. Meski aku tidak tahu apa yang ada dipikiran Arvian. Cepat atau lambat seiring tumbuh kembangnya banyak hal yang akan dia pahami."Mengapa mereka menghina bunda? Bukannya bunda sudah ada daddy?" tanya Arvian lagi.Cukup lama aku menarik napas agar tidak salah memberi jawaban. "Mengapa, Bun?" Arvian kembali mempertegas."Itu bia