Arvian sepanjang jalan hanya diam, ini yang kutakuti. Dia mengetahui istilah yang belum seharusnya dia ketahui. Harusnya anak tidak perlu tahu bagaimana masalah orang dewasa. Karena masa emas anak seperti Arvian yang dia tahu bagaimana bahagia. "Apa itu janda, Bund?" tanya Arvian. Akhirnya keluar juga pertanyaan yang aku takutkan. Iya, dia pasti mendengar istilah tadi."Janda itu ...." Rasanya berat, tapi aku harus berkata sebenarnya."Apa Bund?" Arvian masih penasaran."Janda itu wanita atau seorang istri yang sudah berpisah dengan suaminya." "Kenapa dia bilang ke bunda?" tanyanya lagi."Bunda sudah berpisah dengan ayahmu lima tahun yang lalu, Nak." Hening. Meski aku tidak tahu apa yang ada dipikiran Arvian. Cepat atau lambat seiring tumbuh kembangnya banyak hal yang akan dia pahami."Mengapa mereka menghina bunda? Bukannya bunda sudah ada daddy?" tanya Arvian lagi.Cukup lama aku menarik napas agar tidak salah memberi jawaban. "Mengapa, Bun?" Arvian kembali mempertegas."Itu bia
Brayen?!Sontak kami berteriak. Brayen langsung memeluk Arvian yang berada didepannya. Seperti layaknya seorang ayah yang begitu merindukan anaknya. Sementara kami masih mematung tak percaya."Apa kamu tidak merindukan ayah, Arvian?" tanya abang Brayen begitu tulus.Bukannya simpati, Arvian justru takut melihat ayahnya yang mendadak memeluknya. "Apa kamu sudah gila anak durhaka!" teriak bunda secara spontan. Jangankan bunda kami semua seperti patung tak percaya. "Pergi kamu!" bunda lagi berteriak. Suasana tegang, Arvian langsung memelukku ketakutan. "Kenapa dia bisa masuk kesini!" daddy tak kalah berteriaknya. Suasana yang haru kini seperti berada di medan perang.Abang Brayen hanya duduk tak ada pergerakan. Layaknya anak kecil yang sedang meminta maaf, dia duduk bersimpuh di hadapan bunda dan daddy."Aku gila, Bun!""Aku sangat gila!"Dia menangis sambil duduk. Kami tak habis pikir dia berani masuk ke rumah ini. Menangis? Rasanya sangat tidak masuk akal dia berubah seperti ini."
Hanya karena dia pernah menjadi yang pertama, bukan berarti akan selamanya dinanti. ~Ummi_SalmiahAksen berdiri menatap kami, suasana kembali mendingin sejenak meski abang Brayen tetap pada posisinya. Dia tetap bertahan agar bisa menyakinkan kami."Untuk apa Aksen? Kamu percaya dengan pembohong ini?!" tanya daddy dengan tegas. Raut amarah daddy jangan ditanya."Aksen hanya berusaha menyakinkan diri, dia datang ke kantor meminta padaku agar bisa bicara ke Monica -- cinta pertamanya."Semua sontak menatapku dengan tatapan aneh."Sebelum janur kuning, setidaknya aku sudah berusaha untuk kembali ke Monica, Dad," ucap abang Brayen."Kamu memang yang pertama mencuri hatiku, tapi itu dulu. Saat ini aku hanya mau menjadi istri Aksen Andara." Kupandang wajah Aksen mencari jawaban di wajahnya. Namun, sayang begitu datar tanpa bisa aku temukan maknanya. Apakah Aksen berubah? Aku merasa dia seolah tak peduli lagi denganku."Selamanya kamu hanya mencintaiku, Monica. Aku tahu itu!" abang Brayen ke
"Menurut abang bagaimana?" tanya Nina yang sedang berduaan dengan Reza--suaminya di kamar. "Bagaimana apa sayang?" tanya Reza yang sedang menyisir rambut istrinya. Sebelum istirahat mereka selalu seperti pengantin baru, bercerita tentang apa yang terjadi hari ini. Reza selalu menumbuhkan cinta meski usia mereka semakin tua. Nina juga sesekali memijit suaminya yang masih produktif memantau perusahaannya."Brayen ...." Suara Nina terputus karena Reza begitu sensitif dengan Brayen."Kita sebagai orang tua tak perlu melangkah lebih jauh, sayang. Namun, ketika alarm bahaya berbunyi, kita garda terdepan untuk anak-anak kita."Reza sepertinya sudah melupakan semua sikap Brayen. Reza hanya ingin menjadi orang tua dan suami yang terbaik bagi anak dan istrinya. Masalah Brayen dia sudah tak ingin membahasnya lagi. Bahkan dia sudah memberi maaf, meski tak bisa bersamanya lagi. Penghianatan Brayen bagi Reza sungguh diluar batas kewajaran."Aku trauma, Sayang," balas Nina. Iya, Nina tak ingin Mon
Setidaknya dia peduli meski dia masih dingin. Aksen kembali tidur, padahal aku ingin menanyakan siapa wanita yang menelpon tadi. Rasa cemburu tidak bisa kutahan. "Apa dia mantan, Mas?" tanyaku. Sebisa mungkin aku tidak terlihat cemburu. Antara rindu semua bercampur di hatiku. "Siapa?" tanyanya balik."Wanita yang menelpon tadi." Memperjelas jika aku cemburu. Rasa ini tak bisa kutahan."Bukan siapa-siapa," balasnya. Jujur aku tidak terima jika dia mulai berpaling padaku. Aku memang salah, tapi kami belum memulai kisah ini. Mengapa dia begitu menawan, hanya menatapnya saja rasanya begitu mendebarkan.Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan, meski aku ingin dia mengatakan bahwa hanya aku yang dihatinya. Namun, sayangnya itu tidak mungkin terjadi karena Aksen lagsung berbalik diri lagi. Aku turut membelakanginya karena sebal juga melihat dia yang cuek padaku. Rasanya ingin cepat pagi agar tidak tersiksa dengan perasaan ini. Apa Aksen sebelumnya seperti ini? Rasanya begitu menyiksa.**
Selama sarapan, pikiranku tak fokus, jangan sampai aku kalah main rubik dengan Aksen. Itu artinya aku dan dia akan melaksanakan ibadah malam ini. Buatin Arvian adik? Ada-ada saja Aksen ini. Aku bahkan tak berselera makan dibuat olehnya."Ayo Bund, makan yang banyak biar kalahin Daddy," ucap Arvian semangat."Meski Arvian ragu, sih," sambungnya lagi."Main apa?" tanya Daddy."Main rubik opa," balas Arvian."Memangnya kamu bisa, Mon?" tanya Daddy. Astaga, Daddy juga ikut meragukanku. Aksen hanya senyum tipis, jelas dia merasa menang karena banyak pendukungnya. "Aku tunggu, pastikan kalah biar nanti malam kita ...," ucapnya sambil menyatukan tangannya. "Jangan pede tuan Aksen, aku yang akan menang," balasku tak mau kalah."Buktikan nyonya Monica," balasnya nyengir. Diih!Aksen terlebih dulu selesai untuk sarapan, dia terus tersenyum tak jelas beda jauh denganku yang dilanda kegalauan. Aku benar-benar tak fokus selama di meja makan. Takut kalah intinya, tapi bukannya dia suamiku yang ha
"Wah bunda keren ....""Yeay, aku menang!" spontan aku berteriak. Bunda dan daddy terlihat lemas, mereka tak percaya jika aku bisa mengalahkan Aksen. Selain itu, bunda yang ingin melihatku dengan Aksen untuk buatkan Arvian adik, kandas begitu saja. Duh, senangnya hati ini.Aksen terdiam, sembari mengangkat jempolnya. Dia terus tersenyum. Setidaknya dia menerima kekalahannya. Walaupun kami tidak jadi bersatu di ranjang cinta. Sepertinya aku pun sudah berfikir yang aneh-aneh. "Istriku memang keren," ucapnya jujur. Duuh, meleleh hati ini buat. "Non keren banget, tapi kok bisa menang, ya," ucap bik Jum. Dia terlihat tidak percaya dengan kemenanganku."Akui saja, Bik, jika nona manis anak bunda Nina ini memang keren," balasku pede. Yang jelas kali ini aku menjadi pemenangnya. Apalagi semua memikah Aksen, makin mekar ini telinga."Iya, keren, tapi kenapa harus curang," bisik Aksen tiba-tiba. Aku ketahuan!"Itu namanya strategi, Bang," balasku.Bunda tak ada bicara sedikit pun. Kecewa nam
Aksen tak henti-hentinya memandangku. Aku dibuat salah tingkah olehnya. Sesekali aku menghalau wajahnya agar berhenti memandangku. Namun, dia seperti tak ingin berjauhan terus menempel di sampingku."Jangan menatapku begitu, malu." Aku menutup wajahku dengan selimut, Aksen terus menatapku. Dia langsung membuka selimut yang kugunakan untuk menutup wajahku."Tak sia-sia aku menunggumu, sayang," ucapnya mengecup keningku."Jangan rayu lagi, masih terasa, nih.""Kamu candu bagiku," ucapnya yang langsung merangkulku. Astagfirullah, tidak mungkin, kan dia mau menerkamku lagi."Kamu membuatku gila, tuan Aksen!" Dia hanya tersenyum tidak jelas mendengar ocehanku. "Kita kan mau buatkan Arvian adik, Sayang. Harus semangat."Aku langsung mendelik membuat tuan Aksen tertawa lepas. Namun, entah mengapa aku begitu menyukainya. Ah, sepertinya aku pun sangat menikmati semua ini."Bangunlah, Sayang. Sudah lama aku ingin mandi bersamamu," balasnya.Mandi bareng maksudnya? Duh, kenapa tuan Aksen begit
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te