Selama sarapan, pikiranku tak fokus, jangan sampai aku kalah main rubik dengan Aksen. Itu artinya aku dan dia akan melaksanakan ibadah malam ini. Buatin Arvian adik? Ada-ada saja Aksen ini. Aku bahkan tak berselera makan dibuat olehnya."Ayo Bund, makan yang banyak biar kalahin Daddy," ucap Arvian semangat."Meski Arvian ragu, sih," sambungnya lagi."Main apa?" tanya Daddy."Main rubik opa," balas Arvian."Memangnya kamu bisa, Mon?" tanya Daddy. Astaga, Daddy juga ikut meragukanku. Aksen hanya senyum tipis, jelas dia merasa menang karena banyak pendukungnya. "Aku tunggu, pastikan kalah biar nanti malam kita ...," ucapnya sambil menyatukan tangannya. "Jangan pede tuan Aksen, aku yang akan menang," balasku tak mau kalah."Buktikan nyonya Monica," balasnya nyengir. Diih!Aksen terlebih dulu selesai untuk sarapan, dia terus tersenyum tak jelas beda jauh denganku yang dilanda kegalauan. Aku benar-benar tak fokus selama di meja makan. Takut kalah intinya, tapi bukannya dia suamiku yang ha
"Wah bunda keren ....""Yeay, aku menang!" spontan aku berteriak. Bunda dan daddy terlihat lemas, mereka tak percaya jika aku bisa mengalahkan Aksen. Selain itu, bunda yang ingin melihatku dengan Aksen untuk buatkan Arvian adik, kandas begitu saja. Duh, senangnya hati ini.Aksen terdiam, sembari mengangkat jempolnya. Dia terus tersenyum. Setidaknya dia menerima kekalahannya. Walaupun kami tidak jadi bersatu di ranjang cinta. Sepertinya aku pun sudah berfikir yang aneh-aneh. "Istriku memang keren," ucapnya jujur. Duuh, meleleh hati ini buat. "Non keren banget, tapi kok bisa menang, ya," ucap bik Jum. Dia terlihat tidak percaya dengan kemenanganku."Akui saja, Bik, jika nona manis anak bunda Nina ini memang keren," balasku pede. Yang jelas kali ini aku menjadi pemenangnya. Apalagi semua memikah Aksen, makin mekar ini telinga."Iya, keren, tapi kenapa harus curang," bisik Aksen tiba-tiba. Aku ketahuan!"Itu namanya strategi, Bang," balasku.Bunda tak ada bicara sedikit pun. Kecewa nam
Aksen tak henti-hentinya memandangku. Aku dibuat salah tingkah olehnya. Sesekali aku menghalau wajahnya agar berhenti memandangku. Namun, dia seperti tak ingin berjauhan terus menempel di sampingku."Jangan menatapku begitu, malu." Aku menutup wajahku dengan selimut, Aksen terus menatapku. Dia langsung membuka selimut yang kugunakan untuk menutup wajahku."Tak sia-sia aku menunggumu, sayang," ucapnya mengecup keningku."Jangan rayu lagi, masih terasa, nih.""Kamu candu bagiku," ucapnya yang langsung merangkulku. Astagfirullah, tidak mungkin, kan dia mau menerkamku lagi."Kamu membuatku gila, tuan Aksen!" Dia hanya tersenyum tidak jelas mendengar ocehanku. "Kita kan mau buatkan Arvian adik, Sayang. Harus semangat."Aku langsung mendelik membuat tuan Aksen tertawa lepas. Namun, entah mengapa aku begitu menyukainya. Ah, sepertinya aku pun sangat menikmati semua ini."Bangunlah, Sayang. Sudah lama aku ingin mandi bersamamu," balasnya.Mandi bareng maksudnya? Duh, kenapa tuan Aksen begit
Pagi menyapa, selepas acara pesta kecil-kecilan aku tertidur pulas. Ditambah Aksen yang tak pernah puas sejak semalam, dia terus menggodaku. Hingga gelutan panas itu mewarnai permainan kami sampai pagi. Sebelumnya aku memang tak seberuntung orang lain, dimanja dan disayang sepenuh hati oleh pasangan. Bersamanya aku menemukan sesuatu yang berbeda, meski kuakui dia begitu perkasa di ranjang."Sudah bangun ratuku?" Aksen mendekatiku, tak lupa mengecupku."Sudah pagi ternyata," balasku yang masih malu karena telat bangun.Aksen terlihat rapi dan siap untuk berangkat ke masjid. Baju koko putih menambah kesan gagah di wajahnya. Dia begitu bersinar membuat debaran di hatiku semakin kuat."Aku tinggal sebentar, ya, mau ke masjid dulu sama Arvian," ujarnya."Siap sayang.""Pulang-pulang sudah cantik, ya.""Mau kemana?""Mau jogging sayang," balasnya lembut. Dia memang selalu menjaga pola hidupnya."Aku ikut.""Beneran?" selidiknya tak percaya."Beneran, lah, masak aku bohong," balasku."Oke."
Aku melirik Aksen agar tidak bertarung dengan mantan meresahkan, bukan tanpa sebab itu karena abang Brayen sangat jago main basket, tetapi sepertinya Aksen tidak peduli. Dia bahkan menantang balik."Santai saja, doakan yang terbaik," ucapnya sambil melirikku. Sekilas kulihat Abang Brayen mengepalkan tangannya. Cemburu sangat terlihat jelas di wajahnya. Memangnya aku peduli?Aksen bersiap bertanding dengan Abang Brayen. Apa dia mengintai kami sepanjang hari? Dia begitu sangat totalitas dalam menyiapkan pertandingan ini. Tak tanggung-tanggung dia juga menyiapkan suporter agar banyak pendukungnya. Ckck ... kelakuan mantan!"Mantan meresahkan," ucapku. Aksen tertawa geli melihatku yang berkata demikian."Itu artinya dia sebenarnya kalah, makanya cari-cari kesalahan.""Sepertinya.""Apa dia jago main basket?" tanya Aksen. Sebenarnya aku tidak ingin jujur, tapi aku harus mengatakan sebenarnya agar Aksen menyiapkan diri sebaik-baiknya."Iya, dia sangat jago, Mas.""Oh ...." Dia hanya ber oh
Puas sekali ketika melihat mantan kalah. Wajah marah abang Brayen tak bisa disembunyikan. Ah, memangnya aku pikirin, ternyata dia memang tak patut diperjuangkan. Sepanjang perjalanan aku tak henti tersenyum ditambah genggaman Aksen yang membuat hati meleleh. "Kondisikan senyumnya, manis," ledek Aksen mencubit hidungku."Lucu, Mas.""Apanya yang lucu?" tanya Aksen."Ada deh." Dia memang tidak peka sama sekali.Tanpa malu sepanjang jalan genggaman tanganku tak pernah lepas dari genggamannya. Seperti ini indahnya pernikahan, hanya berada didekatnya jantung ini tak bisa dikondisikan."Boleh panggil aku abang?" tanya Aksen tiba-tiba padaku. Aku menutup mulut tak percaya. Ternyata diam-diam ada yang ingin dipanggil abang."Alasannya?""Pengen aja, kayaknya seru dipanggil abang.""Harusnya jelas kenapa ingin dipanggil abang." Aku mulai mengomporinya, penasaran saja kenapa tiba-tiba ingin dipanggil abang."Biar romantis," jawabnya lagi."Itu saja?" "Karena aku cemburu ketika kamu manggil ma
Aku akan terus berusaha agar bisa mendapatkanmu. Walaupum dengan cara kotor sekali pun. _Brayen"Sudahi Tuan, semakin tuan memaksa semakin tersakiti," ucap Fahmi asisten yang selalu menjagaku."Kamu mungkin tidak pernah merasakan yang namanya penyesalan.""Justru karena penyesalan itu harusnya tuan sadar jika nyonya Monica harus bahagia."Dia benar, tapi nyatanya hati ini terlanjur sakit. Bayangan aku yang menelantarkan Monica dan Arvian selalu menghantuiku. Rasa penyesalan ini sangat menyiksaku."Tuan Aksen bahkan membantu mengurangi beban kita yang hampir bangkrut." Iya, Aksen dengan sukarela membantu semua asetku yang bangkrut. Bagi Aksen jika aku terpuruk maka Arvian anakku juga terpuruk. Sebaik itu Aksen. Namun, aku justru sebaliknya.Aku sampai tidak menyangka jika ada laki-laki yang sebaik Aksen. Laki-laki yang tulus, tapi hatiku yang disakiti tetap saja menganggap Aksen jahat.Bagi Aksen yang penting Monica bahagia, tapi kenapa aku seperti tidak rela. Rasanya aku tak ingin dia
Arvian memelukku, menciumku beberapa kali. Menambah deretan perasaan yang tak menentu dariku. Sebenarnya apa yang sedang Arvian pikirkan, aku merasa ada hal yang Arvian sembunyikan dariku. Pikiranku tentu saja pada ayahnya--Brayen."Ikutlah dengan ayah, Arvian," ucap abang Brayen."Aku ibunya, aku lebih berhak!" Tak bisa kutahan segala yang mengganjal di hatiku. Fix, ini semua pasti abang Brayen terlibat."Beda ceritanya jika kamu belum menikah," balas abang Brayen lagi. Dia belum mau mengalah."Arvian butuh sosok ayah, tapi itu bukan kamu!""Jangan egois Monica! Tidak ada anak yang mau orang tuanya berpisah, kamu saja yang peka!""Lalu aku harus bersamamu? Harusnya anda introspeksi diri!" dia diam, kenapa masih ada bayang-bayang mantan, bukankah dia sudah mendapatkan semua yang diinginkan? Aksen memegang tanganku dengan lembut. Seperti memintaku untuk tidak melanjutkan lagi. Arvian yang melihat kami berseteru hanya diam, Aksen memeluknya dengan lembut."Jangan berdebat di depan anak
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s