Brayen?!Sontak kami berteriak. Brayen langsung memeluk Arvian yang berada didepannya. Seperti layaknya seorang ayah yang begitu merindukan anaknya. Sementara kami masih mematung tak percaya."Apa kamu tidak merindukan ayah, Arvian?" tanya abang Brayen begitu tulus.Bukannya simpati, Arvian justru takut melihat ayahnya yang mendadak memeluknya. "Apa kamu sudah gila anak durhaka!" teriak bunda secara spontan. Jangankan bunda kami semua seperti patung tak percaya. "Pergi kamu!" bunda lagi berteriak. Suasana tegang, Arvian langsung memelukku ketakutan. "Kenapa dia bisa masuk kesini!" daddy tak kalah berteriaknya. Suasana yang haru kini seperti berada di medan perang.Abang Brayen hanya duduk tak ada pergerakan. Layaknya anak kecil yang sedang meminta maaf, dia duduk bersimpuh di hadapan bunda dan daddy."Aku gila, Bun!""Aku sangat gila!"Dia menangis sambil duduk. Kami tak habis pikir dia berani masuk ke rumah ini. Menangis? Rasanya sangat tidak masuk akal dia berubah seperti ini."
Hanya karena dia pernah menjadi yang pertama, bukan berarti akan selamanya dinanti. ~Ummi_SalmiahAksen berdiri menatap kami, suasana kembali mendingin sejenak meski abang Brayen tetap pada posisinya. Dia tetap bertahan agar bisa menyakinkan kami."Untuk apa Aksen? Kamu percaya dengan pembohong ini?!" tanya daddy dengan tegas. Raut amarah daddy jangan ditanya."Aksen hanya berusaha menyakinkan diri, dia datang ke kantor meminta padaku agar bisa bicara ke Monica -- cinta pertamanya."Semua sontak menatapku dengan tatapan aneh."Sebelum janur kuning, setidaknya aku sudah berusaha untuk kembali ke Monica, Dad," ucap abang Brayen."Kamu memang yang pertama mencuri hatiku, tapi itu dulu. Saat ini aku hanya mau menjadi istri Aksen Andara." Kupandang wajah Aksen mencari jawaban di wajahnya. Namun, sayang begitu datar tanpa bisa aku temukan maknanya. Apakah Aksen berubah? Aku merasa dia seolah tak peduli lagi denganku."Selamanya kamu hanya mencintaiku, Monica. Aku tahu itu!" abang Brayen ke
"Menurut abang bagaimana?" tanya Nina yang sedang berduaan dengan Reza--suaminya di kamar. "Bagaimana apa sayang?" tanya Reza yang sedang menyisir rambut istrinya. Sebelum istirahat mereka selalu seperti pengantin baru, bercerita tentang apa yang terjadi hari ini. Reza selalu menumbuhkan cinta meski usia mereka semakin tua. Nina juga sesekali memijit suaminya yang masih produktif memantau perusahaannya."Brayen ...." Suara Nina terputus karena Reza begitu sensitif dengan Brayen."Kita sebagai orang tua tak perlu melangkah lebih jauh, sayang. Namun, ketika alarm bahaya berbunyi, kita garda terdepan untuk anak-anak kita."Reza sepertinya sudah melupakan semua sikap Brayen. Reza hanya ingin menjadi orang tua dan suami yang terbaik bagi anak dan istrinya. Masalah Brayen dia sudah tak ingin membahasnya lagi. Bahkan dia sudah memberi maaf, meski tak bisa bersamanya lagi. Penghianatan Brayen bagi Reza sungguh diluar batas kewajaran."Aku trauma, Sayang," balas Nina. Iya, Nina tak ingin Mon
Setidaknya dia peduli meski dia masih dingin. Aksen kembali tidur, padahal aku ingin menanyakan siapa wanita yang menelpon tadi. Rasa cemburu tidak bisa kutahan. "Apa dia mantan, Mas?" tanyaku. Sebisa mungkin aku tidak terlihat cemburu. Antara rindu semua bercampur di hatiku. "Siapa?" tanyanya balik."Wanita yang menelpon tadi." Memperjelas jika aku cemburu. Rasa ini tak bisa kutahan."Bukan siapa-siapa," balasnya. Jujur aku tidak terima jika dia mulai berpaling padaku. Aku memang salah, tapi kami belum memulai kisah ini. Mengapa dia begitu menawan, hanya menatapnya saja rasanya begitu mendebarkan.Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan, meski aku ingin dia mengatakan bahwa hanya aku yang dihatinya. Namun, sayangnya itu tidak mungkin terjadi karena Aksen lagsung berbalik diri lagi. Aku turut membelakanginya karena sebal juga melihat dia yang cuek padaku. Rasanya ingin cepat pagi agar tidak tersiksa dengan perasaan ini. Apa Aksen sebelumnya seperti ini? Rasanya begitu menyiksa.**
Selama sarapan, pikiranku tak fokus, jangan sampai aku kalah main rubik dengan Aksen. Itu artinya aku dan dia akan melaksanakan ibadah malam ini. Buatin Arvian adik? Ada-ada saja Aksen ini. Aku bahkan tak berselera makan dibuat olehnya."Ayo Bund, makan yang banyak biar kalahin Daddy," ucap Arvian semangat."Meski Arvian ragu, sih," sambungnya lagi."Main apa?" tanya Daddy."Main rubik opa," balas Arvian."Memangnya kamu bisa, Mon?" tanya Daddy. Astaga, Daddy juga ikut meragukanku. Aksen hanya senyum tipis, jelas dia merasa menang karena banyak pendukungnya. "Aku tunggu, pastikan kalah biar nanti malam kita ...," ucapnya sambil menyatukan tangannya. "Jangan pede tuan Aksen, aku yang akan menang," balasku tak mau kalah."Buktikan nyonya Monica," balasnya nyengir. Diih!Aksen terlebih dulu selesai untuk sarapan, dia terus tersenyum tak jelas beda jauh denganku yang dilanda kegalauan. Aku benar-benar tak fokus selama di meja makan. Takut kalah intinya, tapi bukannya dia suamiku yang ha
"Wah bunda keren ....""Yeay, aku menang!" spontan aku berteriak. Bunda dan daddy terlihat lemas, mereka tak percaya jika aku bisa mengalahkan Aksen. Selain itu, bunda yang ingin melihatku dengan Aksen untuk buatkan Arvian adik, kandas begitu saja. Duh, senangnya hati ini.Aksen terdiam, sembari mengangkat jempolnya. Dia terus tersenyum. Setidaknya dia menerima kekalahannya. Walaupun kami tidak jadi bersatu di ranjang cinta. Sepertinya aku pun sudah berfikir yang aneh-aneh. "Istriku memang keren," ucapnya jujur. Duuh, meleleh hati ini buat. "Non keren banget, tapi kok bisa menang, ya," ucap bik Jum. Dia terlihat tidak percaya dengan kemenanganku."Akui saja, Bik, jika nona manis anak bunda Nina ini memang keren," balasku pede. Yang jelas kali ini aku menjadi pemenangnya. Apalagi semua memikah Aksen, makin mekar ini telinga."Iya, keren, tapi kenapa harus curang," bisik Aksen tiba-tiba. Aku ketahuan!"Itu namanya strategi, Bang," balasku.Bunda tak ada bicara sedikit pun. Kecewa nam
Aksen tak henti-hentinya memandangku. Aku dibuat salah tingkah olehnya. Sesekali aku menghalau wajahnya agar berhenti memandangku. Namun, dia seperti tak ingin berjauhan terus menempel di sampingku."Jangan menatapku begitu, malu." Aku menutup wajahku dengan selimut, Aksen terus menatapku. Dia langsung membuka selimut yang kugunakan untuk menutup wajahku."Tak sia-sia aku menunggumu, sayang," ucapnya mengecup keningku."Jangan rayu lagi, masih terasa, nih.""Kamu candu bagiku," ucapnya yang langsung merangkulku. Astagfirullah, tidak mungkin, kan dia mau menerkamku lagi."Kamu membuatku gila, tuan Aksen!" Dia hanya tersenyum tidak jelas mendengar ocehanku. "Kita kan mau buatkan Arvian adik, Sayang. Harus semangat."Aku langsung mendelik membuat tuan Aksen tertawa lepas. Namun, entah mengapa aku begitu menyukainya. Ah, sepertinya aku pun sangat menikmati semua ini."Bangunlah, Sayang. Sudah lama aku ingin mandi bersamamu," balasnya.Mandi bareng maksudnya? Duh, kenapa tuan Aksen begit
Pagi menyapa, selepas acara pesta kecil-kecilan aku tertidur pulas. Ditambah Aksen yang tak pernah puas sejak semalam, dia terus menggodaku. Hingga gelutan panas itu mewarnai permainan kami sampai pagi. Sebelumnya aku memang tak seberuntung orang lain, dimanja dan disayang sepenuh hati oleh pasangan. Bersamanya aku menemukan sesuatu yang berbeda, meski kuakui dia begitu perkasa di ranjang."Sudah bangun ratuku?" Aksen mendekatiku, tak lupa mengecupku."Sudah pagi ternyata," balasku yang masih malu karena telat bangun.Aksen terlihat rapi dan siap untuk berangkat ke masjid. Baju koko putih menambah kesan gagah di wajahnya. Dia begitu bersinar membuat debaran di hatiku semakin kuat."Aku tinggal sebentar, ya, mau ke masjid dulu sama Arvian," ujarnya."Siap sayang.""Pulang-pulang sudah cantik, ya.""Mau kemana?""Mau jogging sayang," balasnya lembut. Dia memang selalu menjaga pola hidupnya."Aku ikut.""Beneran?" selidiknya tak percaya."Beneran, lah, masak aku bohong," balasku."Oke."