Suara Hati AksenSemakin hari semakin kurasakan Monica tidak mencintaiku. Tidak bisa bisa dipungkiri, dia begitu mencintai sang mantan. Abang angkatnya yang telah begitu lama mencuri hatinya. Terasa sakit, meski tak berdarah. Ternyata ketika kamu mencintai melihatnya bahagia adalah anugerah terindah. Namun, ketika melihatnya terluka rasanya sakit, raga ini lelah rasanya ingin menyerah. Aku bergelimang harta, tapi cinta sangat jauh kurasakan. "Apa yang kamu lakukan jika ternyata orang yang kamu perjuangkan setenga mati, tetap saja tidak bisa mencintaimu?" tanyaku pada asisten yang telah lama membersamaiku. "Aku tidak pernah jatuh cinta, Tuan," ucapnya polos. "Kamu harus jatuh cinta biar tahu rasanya.""Kalau hanya untuk terluka lebih baik aku begini saja.""Dia begitu istimewa. ""Tidak ada yang istimewa jika dia tidak menghargai perasaan tuan." Diih, ini asisten bikin tensi naik saja."Kita berhak bahagia, dia pun juga berhak bahagia. Mungkik jodohnya bukan untuk tuan.""Tapi aku
Aksen pergi begitu saja, aku seperti tersadar dari mimpi jika Aksen tidak ingin bersamaku lagi. Dia bahkan tak menolehku ketika berangkat.Sementara bunda hanya melihatku tanpa banyak kata. Semakin menambah deretan kesalahan yang telah kulakukan. Aku memang salah dan pantas untuk diperlakukan seperti ini."Bund ....""Makan itu cintamu pada Brayen, bunda tidak mau ikut campur lagi dengan segala urusanmu.""Bunda ....""Kamu bahkan menipu kami sebagai orang tua, lima tahun apa tidak cukup kamu menderita karena laki-laki yang bahkan ikut menyakiti hati daddymu yang merawatnya sejak kecil."Rasanya begitu sesak mendengarnya. Bunda saja tidak memedulikanku lagi. Iya, karena aku tidak belajar dari kesalahan. Harusnya aku sadar Brayen itu harusnya dibuang tanpa menyakiti Aksen yang begitu baik menerimaku yang janda ini.Daddy tak berbicara sedikit pun, daddy langsung masuk ke kamar. Ya Allah rasanya sakit melihat daddy semarah itu. Aksen begitu berarti di hati mereka."Bunda ... maafkan Mo
Arvian sepanjang jalan hanya diam, ini yang kutakuti. Dia mengetahui istilah yang belum seharusnya dia ketahui. Harusnya anak tidak perlu tahu bagaimana masalah orang dewasa. Karena masa emas anak seperti Arvian yang dia tahu bagaimana bahagia. "Apa itu janda, Bund?" tanya Arvian. Akhirnya keluar juga pertanyaan yang aku takutkan. Iya, dia pasti mendengar istilah tadi."Janda itu ...." Rasanya berat, tapi aku harus berkata sebenarnya."Apa Bund?" Arvian masih penasaran."Janda itu wanita atau seorang istri yang sudah berpisah dengan suaminya." "Kenapa dia bilang ke bunda?" tanyanya lagi."Bunda sudah berpisah dengan ayahmu lima tahun yang lalu, Nak." Hening. Meski aku tidak tahu apa yang ada dipikiran Arvian. Cepat atau lambat seiring tumbuh kembangnya banyak hal yang akan dia pahami."Mengapa mereka menghina bunda? Bukannya bunda sudah ada daddy?" tanya Arvian lagi.Cukup lama aku menarik napas agar tidak salah memberi jawaban. "Mengapa, Bun?" Arvian kembali mempertegas."Itu bia
Brayen?!Sontak kami berteriak. Brayen langsung memeluk Arvian yang berada didepannya. Seperti layaknya seorang ayah yang begitu merindukan anaknya. Sementara kami masih mematung tak percaya."Apa kamu tidak merindukan ayah, Arvian?" tanya abang Brayen begitu tulus.Bukannya simpati, Arvian justru takut melihat ayahnya yang mendadak memeluknya. "Apa kamu sudah gila anak durhaka!" teriak bunda secara spontan. Jangankan bunda kami semua seperti patung tak percaya. "Pergi kamu!" bunda lagi berteriak. Suasana tegang, Arvian langsung memelukku ketakutan. "Kenapa dia bisa masuk kesini!" daddy tak kalah berteriaknya. Suasana yang haru kini seperti berada di medan perang.Abang Brayen hanya duduk tak ada pergerakan. Layaknya anak kecil yang sedang meminta maaf, dia duduk bersimpuh di hadapan bunda dan daddy."Aku gila, Bun!""Aku sangat gila!"Dia menangis sambil duduk. Kami tak habis pikir dia berani masuk ke rumah ini. Menangis? Rasanya sangat tidak masuk akal dia berubah seperti ini."
Hanya karena dia pernah menjadi yang pertama, bukan berarti akan selamanya dinanti. ~Ummi_SalmiahAksen berdiri menatap kami, suasana kembali mendingin sejenak meski abang Brayen tetap pada posisinya. Dia tetap bertahan agar bisa menyakinkan kami."Untuk apa Aksen? Kamu percaya dengan pembohong ini?!" tanya daddy dengan tegas. Raut amarah daddy jangan ditanya."Aksen hanya berusaha menyakinkan diri, dia datang ke kantor meminta padaku agar bisa bicara ke Monica -- cinta pertamanya."Semua sontak menatapku dengan tatapan aneh."Sebelum janur kuning, setidaknya aku sudah berusaha untuk kembali ke Monica, Dad," ucap abang Brayen."Kamu memang yang pertama mencuri hatiku, tapi itu dulu. Saat ini aku hanya mau menjadi istri Aksen Andara." Kupandang wajah Aksen mencari jawaban di wajahnya. Namun, sayang begitu datar tanpa bisa aku temukan maknanya. Apakah Aksen berubah? Aku merasa dia seolah tak peduli lagi denganku."Selamanya kamu hanya mencintaiku, Monica. Aku tahu itu!" abang Brayen ke
"Menurut abang bagaimana?" tanya Nina yang sedang berduaan dengan Reza--suaminya di kamar. "Bagaimana apa sayang?" tanya Reza yang sedang menyisir rambut istrinya. Sebelum istirahat mereka selalu seperti pengantin baru, bercerita tentang apa yang terjadi hari ini. Reza selalu menumbuhkan cinta meski usia mereka semakin tua. Nina juga sesekali memijit suaminya yang masih produktif memantau perusahaannya."Brayen ...." Suara Nina terputus karena Reza begitu sensitif dengan Brayen."Kita sebagai orang tua tak perlu melangkah lebih jauh, sayang. Namun, ketika alarm bahaya berbunyi, kita garda terdepan untuk anak-anak kita."Reza sepertinya sudah melupakan semua sikap Brayen. Reza hanya ingin menjadi orang tua dan suami yang terbaik bagi anak dan istrinya. Masalah Brayen dia sudah tak ingin membahasnya lagi. Bahkan dia sudah memberi maaf, meski tak bisa bersamanya lagi. Penghianatan Brayen bagi Reza sungguh diluar batas kewajaran."Aku trauma, Sayang," balas Nina. Iya, Nina tak ingin Mon
Setidaknya dia peduli meski dia masih dingin. Aksen kembali tidur, padahal aku ingin menanyakan siapa wanita yang menelpon tadi. Rasa cemburu tidak bisa kutahan. "Apa dia mantan, Mas?" tanyaku. Sebisa mungkin aku tidak terlihat cemburu. Antara rindu semua bercampur di hatiku. "Siapa?" tanyanya balik."Wanita yang menelpon tadi." Memperjelas jika aku cemburu. Rasa ini tak bisa kutahan."Bukan siapa-siapa," balasnya. Jujur aku tidak terima jika dia mulai berpaling padaku. Aku memang salah, tapi kami belum memulai kisah ini. Mengapa dia begitu menawan, hanya menatapnya saja rasanya begitu mendebarkan.Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan, meski aku ingin dia mengatakan bahwa hanya aku yang dihatinya. Namun, sayangnya itu tidak mungkin terjadi karena Aksen lagsung berbalik diri lagi. Aku turut membelakanginya karena sebal juga melihat dia yang cuek padaku. Rasanya ingin cepat pagi agar tidak tersiksa dengan perasaan ini. Apa Aksen sebelumnya seperti ini? Rasanya begitu menyiksa.**
Selama sarapan, pikiranku tak fokus, jangan sampai aku kalah main rubik dengan Aksen. Itu artinya aku dan dia akan melaksanakan ibadah malam ini. Buatin Arvian adik? Ada-ada saja Aksen ini. Aku bahkan tak berselera makan dibuat olehnya."Ayo Bund, makan yang banyak biar kalahin Daddy," ucap Arvian semangat."Meski Arvian ragu, sih," sambungnya lagi."Main apa?" tanya Daddy."Main rubik opa," balas Arvian."Memangnya kamu bisa, Mon?" tanya Daddy. Astaga, Daddy juga ikut meragukanku. Aksen hanya senyum tipis, jelas dia merasa menang karena banyak pendukungnya. "Aku tunggu, pastikan kalah biar nanti malam kita ...," ucapnya sambil menyatukan tangannya. "Jangan pede tuan Aksen, aku yang akan menang," balasku tak mau kalah."Buktikan nyonya Monica," balasnya nyengir. Diih!Aksen terlebih dulu selesai untuk sarapan, dia terus tersenyum tak jelas beda jauh denganku yang dilanda kegalauan. Aku benar-benar tak fokus selama di meja makan. Takut kalah intinya, tapi bukannya dia suamiku yang ha