Aku dan abang Brayen menangis bersama. Merasakan ujian demi ujian tak pernah surut di pernikahan kami. Aku pun tak habis pikir jika abang Brayen memintaku untuk bertunangan dengan Damar. Ini kurasa paling berat. "Apa tak ada ide lain, Bang." Abang Brayen hanya menggeleng. Kurasa dia pun tak ingin kejadian ini menimpa kami.Tetesan bening jatuh di pelupuk matanya. Ujian pernikahan kami memang tidak semudah orang lain."Apa bahagia begitu sulit, Bang?" tanyaku kembali dengan deraian air mata yang tak bisa kutahan. Abang Brayen pun menangis. Dengan pelan dia menghapus semua air mata yang jatuh tanpa kuminta. Begitu banyak gempuran ujian ini, akankan kali ini aku goyah, tetapi kami bahkan bertahan sejauh ini. Bertahan dengan perasaan yang tak pudar oleh waktu."Ini hanya sebentar sayang, kita pasti akan berkumpul bersama," balasnya. Kembali dia merangkulku dengan erat."Kasihan Arvian, Bang."Abang Brayen memelukku lebih erat. Kami berdua menangis memikirkan bagaimana nasib pernikahan
Aku terbangun di tempat yang terasa sunyi kurasa. Namun, ada yang aneh pada diriku aku seperti tak mengenali siapa diriku."Namamu Akhdan.” Begitu pak tua yang berprofesi petani memanggilku."Akhdan?" Aku kembali bertanya."Iya, namamu Akhdan." Pak Tua itu menegaskan. Kulihat di cermin wajahku bahkan penuh dengan luka. Entah bagaimana yang terjadi aku sama sekali tak mengingat apa pun. Benar-benar aneh kurasa.“Kenapa aku bisa sampai lupa dengan diriku, Pak?” tanyaku padanya.“Karena kamu ditemukan di sungai, Nak. Syukurlah kamu selamat sampai saat ini. Kamu baru sadar di hari kelima setelah kamu ditemukan,” ujar pak Tua itu.Cukup lama aku berusaha mengingat, tapi tak satu pun yang terkenang di kepalaku. Bahkan nama Akhdan itu kurasa begitu aneh. “Anggap aku ayahmu,” balasnya lagi. Aku sama sekali tak mengingat diriku, tetapi satu hal yang kuingat bahwa aku lupa ingatan, itu artinya seiring berjalan waktu bisa saja aku mengingat banyak hal di sini hingga aku akan mengingat siapa d
Damar terus menekan Akhdan agar segera membuat Monica jatuh cinta padanya. Terutama agar Akhdan semakin cuek dan tak peduli. Itu semakin menguatkan Monica akan jatuh di tangannya. Namun, Damar merasa Monica justru menjauuhinya. Harusnya kamu tidak bermain-main denganku Akhdan,” ucap Damar yang begitu emosi melihat Akhdan yang belum ada pergerakan sama sekali. Dia merasa diperdaya oleh Akhdan. “Kamu memang tidak becus,” ucap Damar kembali yang mencecar Akhdan.“Aku sudah melakukan yang tuan minta, apa ada yang salah?” tanya Akhdan yang bingung, di depan Damar, Akhdan akan berperilaku seperti orang bodoh. Walau dia muak dengan sikap Damar yang dirasa semakin hari semakin keterlaluan.“Buat dia tidak menyukaimu, agar di mau terenyuh padaku, tapi kamu sepertinya lebih suka bermain denganku,” balasnya membuat akhdan hanya terdiam.Kecemburuan Damar semakin hari semakin menjadi-jadi, sedikit-dikit dia akan mengamuk dan marah yang membuat Akhdan semakin muak dengan tingkahnya. Satu hal ya
Aku pulang diantar abang Shaka yang telah menjemputku. Melihat wajah Damar yang tak terima membuat rasa bahagia tersendir bagikui. Barangkali dia merasa akan menjadi juaranya, tetapi dia tidak sadar jika ambisi yang berlebih akan menyakiti diri sendiri. "Kenapa senyum-senyum, gitu, dek?" tanya abang Shaka. "Gak ada, Bang," jawabku."Beneran, kek orang kasmaran.""Diih, abang Shaka sok tahu," balasku. Walau pernyataan abang Shaka benar jika aku sedang kasmaran saat ini.Sepanjang perjalanan aku tak henti tersenyum mengingat abang Brayen yang kurasa makin berani. Perasaan dulu dia tidak seberani ini jika bercumbu denganku. Apa efek lupa ingatan? Entahlah, yang jelas kurasa itu nilai lebih yang kudapatkan. Cumbuannya bahkan saat ini candu bagiku.Tak berselang lama akhirnya sampai juga di rumah, seperti biasa bunda sudah menunggu di depan teras. Walau daddy tak terlihat bersama bunda seperti biasanya."Lama sekali dek, pulangnya," sambut bunda yang seperti lelah menanti kedatanganku.
“Bagaimana Ini, Bang?” tanyaku panik. Dia justru tetap tenang seilah-olah tak ada kejadian.“Tenang saja, Dik," katanya tetap tenang.“ Bagaimana bisa tenang,” balasku kecut. Aku justru yang berdebar-debar dibuat olehnya.“Pakai maskernya, keluarkan alat medisnya.” "Untuk?" tanyaku heran."Untuk mengelabui mereka, sih," jawabnya. Pengen jitak saja ini orang. Habis dia begitu agresif sekali.Para pemuda itu terus menggedor pintu mobilku, sesekali mereka berteriak seolah menghakimi. Namun, seperti kata abang Brayen aku harus tenang menghadapai mereka. Untung saja perlengkapan medisku selalu ada di mobil."Keluar!" pinta mereka. Jujur aku berdebar-debar."Santai saja, Saayang," balas abang Brayen yang masih tetap tenang.Aku keluar menghadapi mereka, berusaha agar tetap tenang.“Mohon maaf aku sedang melakukan pertolongan pertama dengan pasienku di dalam, dia tidak mau disuntik makanya mobilnya bergerak,” ucapku berbohong. Mereka menatapku lekat. Raut wajaku begitu pias.“Silahkan lihat
Mengapa kau buat hatiku seperti roller coaster, kadang kau buat hatiku terbang di udara. Kadang juga terjun bebas tanpa ampun sedikit pun. Apa bahagia itu sulit, hingga rasa ini bahkan tak bertahan dalam hitungan hari.Aku mundur teratur, merasa kecewa, merasa dikhianati. Menangis mungkin sudah kering air mata ini. Andai saja abang Brayen mau mengajak daddy dan abang Shaka bicara, tentu beda ceritanya. Saat ini aku seperti masuk ke jurang penderitaan yang dia buat."Mau kemana, Dok?" tanya dokter Rahma."Mau kembali ke ruangan." Untuk apa bertahan di sini? Apa hanya untuk melihat kemesraan mereka?Bahkan aku hanya terus berjalan, meski dokter Rahma terus memanggil. Aku tak bisa membohongi hatiku jika saat ini aku dibuat tak berdaya dengan kabar yang beredar. Rasanya aku ingin pergi jauh, sejauh-jauhnya.Dengan langkah gontai aku menuju ruanganku, aku pun tak paham dengan semua perasaan ini. Apa aku harus memaklumi lagi semua yang dilakukan abang Brayen? Sementara kulihat dia begitu m
Aku merasa ini seperti mimpi, dia datang memelukku dengan erat. Sesekali tangisnya juga ikut keluar, begitu terdengar pilu. Hingga kami tersadar bunda dan daddy tak kalah terkejutnya.“Apa benar itu kamu?” tanya daddy lagi. kami membeku, abang Brayen tak terasa mengeluarkan air mata. Titik air mata jatuh tanpa diminta. "Kamu Brayen 'kan?" tanya daddy kembali. Sementara tanganku dilepas dan abang Brayen langsung menemui daddy.Abang Brayen langsung sujud di kaki daddy, air mata ini sudah tak bisa terbendung lagi ketika kami semua larut dalam tangisan. Tangis bahagia yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata."Apa benar ini kamu?" Daddy mengulang lagi pertanyaannya."Iya, Dad. Ini aku ...."“Kamu memang anak nakal, Brayen.”Tangis kami semakin pecah ketika abang Brayen mencium kaki daddy sambil meminta maaf.“Kamu tidak bosan membuat daddy selalu khawatir,” sambung daddy lagi. luruh tanpa diminta, abang Brayen sesenggukan menangis.“Jika fisik daddy tidak kuat mungkin sudah lama daddy
Sudah lama Monica tidak merasakan tidur yang nyenyak, dipeluk suaminya-- Brayen membuat tidurnya begitu nyenyak. Mimpi indah pun begitu dia rasakan. Hingga pagi menjelang, dia sama sekali tak ada pergerakan. Begitulah indahnya pernikahan jika dua hati menyatu, seperti dunia milik kita berdua.Brayen lebih dulu bangun lalu memandang istrinya, sesekali dia mengucek mata tak percaya jika mereka sedang bersama. Tak mudah bagi mereka bertahan sampai saat ini. Sejak awal nikah terlalu banyak rintangan. Brayen terus introspeksi diri untuk menjadi lebih baik. Barangkali selama ini dia keliru memulai hubungan dengan Monica. Saat ini dia berfikir memulai lebih baik lagi dengan Monica terutama menjemput restu Reza Adytama."Maafkan aku sayang, kamu begitu tertekan selama ini." Brayen mengelus wajah istrinya. Monica yang begitu nyenyak tidur tidak merasakan belaian tangan suaminya."Bangun, Sayang." Brayen membangunkan istrinya yang begitu tertidur pulas. Sesekali dia kecup tanpa ampun agar Moni
Reza dilarikan ke rumah sakit karena ternyata Reza lemas dan mengalami sesak nafas. Kemungkinan yang terjadi karena Reza sempat emosi dan kepikiran Monica sehingga jantungnya kumat."Daddy kenapa, Bund.""Tiba-tiba lemas, padahal paginya daddy segar sekali.""Nafasnya naik turun, ya Allah bunda takut daddymu kenapa-kenapa." Nina menangis dipelukan Shaka. Monica yang mengira hanya chek up biasa ikut panik ketika dikabari abangnya jika Reza masuk ICU. Reza sampai tidak sadarkan diri menambah deretan kepanikan keluarganya."Bukannya tadi bunda bilang hanya chek up saja.""Iya, ternyata daddy lemas untung segera dilarikan ke rumah sakit.""Ya Allah Monica kira tidak separah ini." Terdengar suara serak Monica yang menangis mendengar Reza tidak sadarkan diri."Abang Brayen sudah menuju ke sana.""Iya, Dek. Kamu cepat ke sini," ucap Shaka yang meminta Monica langsung ke rumah sakit. Sementara Brayen shock melihat keadaan Reza, bayangan bersama ketika kecil membuat hati Brayen terenyuh dadd
Misiku kali ini bukan lagi untuk bersatu dengan abang Brayen, tapi memikirkan bagaimana agar abang Brayen bersama daddy seperti dulu lagi. Terkadang kita dipaksa kuat oleh keadaan dan dibuat ikhlas oleh kenyataan, jadi pandai-pandailah menjaga perasaan kita sendiri, karena disaat kita terpuruk, susah dan sedih tidak semua orang akan peduli. “Ikuti saja kata bunda, Dek. Sejauh mana kamu melangkah jika dia jodohmu pasti dia akan kembali mengejarmu.”“Iya, Bang.”“Abang yakin kamu bisa melewatinya, Dek. Demi daddy,” kata abang Shaka.“Makasih, Bang. Demi kalian semua.”Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. sakitnya daddy pasti jalan agar abang Brayen dan daddy bersatu kembali. Aku juga harus sadar jika usia daddy tidak muda lagi. Aku mau daddy di hari tuanya bahagia tanpa beban."Belajar untuk tidak terlalu berharap kepada siapapun kecuali Allah, karena harapan yang berlebihan kepada manusia hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri," ucap ababg Shaka memberi nasehat. "Saatnya kamu le
Reza kembali kumat, ternyata selama ini Reza ada riwayat jantung sehingga harus dikontrol minum obat setiap hari. Nina pun sadar semakin hari usia mereka sudah tidak muda lagi sehingga gampang sekali terkena penyakit.“Kasitahu anak-anak, Bang, kalau jantungmu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nina pada Reza yang terbaring. Nina sadar semenjak Monica gagal menikah lagi, suaminya–Reza sering sakit-sakitan. Dia merasa gagal sebagai orang tua.“Bang, coba diubah pola pikirnya bahwa tidak semua keinginan kita selalu sejalan.”“Iya, Sayang. Daddy baik-baik saja, Bund.”“Baik-baik bagaimana, kata dokter abang harus berobat intensif.” “Tenang saja, Bund. Semua pasti baik-baik saja,” kata Reza. Jauh dari lubuk hatinya sebenarnya dia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Shaka sudah bahagia dengan Gendhis. Sementara Monica masih dilema.“Apa abang memikirkan Monica?” tanya Nina. Dia penasaran akhir-akhir ini suaminya lebih pendiam.“Jangan dipendam, salah satu sumber penyakit adalah
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat