"Bagaimana kabarmu, Damar?" rasanya aku harus memperjelas agar semua rasa yang tidak jelas ini segera pudar. Aku dan dia tak memiliki hubungan apa pun selain pekerjaan. Dia terdiam sesaat melihatku yang nampak baik-baik saja. Mona yang sedari tadi meledekku memperbaiki posisinya. Walau kutahu banyak hal yang ingin Damar utarakan. "Kamu sakit apa, sih, Damar. Sampai semua media heboh," ujar Mona yang duduk di sofa kamar ini. Mona orangnya ceplas ceplos, membuat suasana mencair."Kecapean saja," balasnya singkat.Aku pun duduk memposisikan diri di dekat Mona. Walau kitahu Diamar terus menatapku tak henti, aku pun sama sekali tak meladeni tingkah Damar yang tak jelas itu. "Kamu biasanya cool, Damar. Kenapa sekarang grogi," sambung Mona lagi, dia tahu saja membuat Damar tersipu malu."Aku sakit saja, Cool, Mon. Apalagi sehat," balasnya terkekeh. Namun, tatapannya tak henti padaku."Sepertinya kamu stres karena jadi pengganti ayahmu." Mona masih mengintrogasi si Damar. Aku semakin risih
Diam-diam Damar berfikir keras mengenai sikap Monica yang mulai menjauhinya, dia tak menyangka jika Monica setega itu padanya. Semua rasa berkecamuk, termasuk rasa ingin membalas rasa sakit yang begitu dalam dirasa Damar.Meski begitu, Damar selalu menceritakan keluh kesah pada mamanya. Bisa dikatakan Damar begitu dekat dengan mamanya, segala pasti akan diceritakan jika dirasa begitu beban di hatinya. “Apa dia menolakmu?”tanya Dahlia, ibunya Damar.“Bukan ditolak lagi, Ma. Tapi dihempaskan di dasar jurang,” balas Damar.“Jangan paksa orang lain untuk menyukaimu, bisa jadi dia pun sedang berjuang untuk bisa menahan semua kesedihan yang dialaminya saat ini.”“Iya, Ma. Cintanya begitu besar pada suaminya. Damar sulit masuk meski hanya menjadi orang terdekatnya.""Berarti beruntung suaminya, dia wanita yang setia.""Justru itu yang membuat Damar semakin menyukainya, Ma." Damar meluapkan perasaan yang sedari tadi membuncah di dada.“Kamu harus tahu diri kalau begitu, Nak.” Siapa sangka Da
“Kamu?” hanya itu yang keluar dari mulutku. Namun, sayangnya dia hanya membalasku dengan tatapan biasanya. Apa dia pemuda dari desa itu, tetapi mengapa dia begitu cuek seolah tak mengenalku. Aku terus meracau di dalam pikiranku. Dia langsung duduk di tempat yang sudah disediakan, seperti tak mengenalku dia hanya tersenyum pada yang lain, kesan pertamanya begitu memukau, tentunya dokter yang lain seperti terpesona dengan tampilannya. Sementara denganku dia mengalihkan pandangan. Seolah-olah tak mengenalku. Dia seperti seseorang yang begitu menyebalkan.“Perkenalkan nama saya Akhdan Athaya,” ucapnya mengenalkan diri. Apa aku tidak salah dengar? Apa dia adalah Akhdan pemuda itu. Ini pasti akan menjadi berita heboh di grup yang telah kami buat.“Mohon bantuannya, saya baru dimutasi di sini,” katanya lagi. maksudnya? Jadi dia sebenarnya dokter, tapi pura-pura kelihatan lusuh di depan warga? Kepalaku terasa mumet jika memikirkannya.Rasanya aku ingin menanyakan langsung padanya, siapa di
Aku dan abang Shaka tak henti tertawa, hiburan sekali melihat dokter baru yang sok cuek itu berubah jadi manis. Sampai diparkiran abang Shaka tak henti tersenyum. Jangan tanya seperti apa perasaanku, sedikit puas melihat Akhdan yang tersipu malu.“Tadi katanya gak enak badan, sekarang kayaknya udah segeran,” ucap abang Shaka meledekku. “Abang bisa aja bikin, malu nih.""Kek nya ada jambu merekah, uhuk." Abang Shaka tak henti meledekku, sesekali tawa renyahnya keluar."Mau antar pulang adek Abang yang manis ini, gak?"“Siap tuan putri Mobilmu minta supir saja yang ambil.”“Itu urusan gampan, Bang. Yang penting sampai rumah saja, dulu.”Abang Shaka akhirnya yang mengantarku pulang, sebenarnya kangen dengan si kecil di rumah. Melihat si Akhdan mengingatkanku dengan Arvian. Wajahnya yang mirip dengan abang Brayen tentu memberi kesan tersendiri padaku. Seperti rindu yang tak bisa kubendung.Tak berselang lama kami tiba rumah, daddy sudah menunggu kami berdua di teras rumah. Daddy memang l
"Maksud dokter Monica apa?" tanya dokter Fadila yang heran dan tak henti menatapku."Siapa Brayen itu?" tanyanya kembali.Aku dan dia saling tatap, meski setelah itu dia langsung mengalihkan pandangannya. Seketika aku menyadari bahwa aku keliru dalam berucap. Apa aku sudah gila mengaitkan pemuda ini dengan suamiku?"Maaf aku ngigo," kataku yang langsung meninggalkan mereka. "Aneh sekali dokter Monica hari ini, sudah berdandan kelakuannya juga aneh." Fadila terus mengoceh, sementara si Akhdan hanya diam tak membalas ucapan dokter Fadila.Tak kutanggapi, aku langsung menarik napas perlahan lalu menghembuskannya pelan. Apa aku menor? Perasaan dandanan ini biasa-biasa saja menurutku. Mengapa Fadila terlihat ketus sekali melihatku dandan.Perawat yang biasa membersamaiku datang, aku langsung mencegatnya. Menanyakan langsung bagaimana tampilanku hari ini."Apa aku menor, Dahlia?" tanyaku pada perawat yang biasa membersamaiku bernama Dahlia itu."Gak, kok, Dok. Hanya memang lipstiknya merah
"Sudah tahu nanyak," jawabku ketus. Dia tersenyum sebentar, lalu terdengar ponselnya berdering. Entah telponan siapa dia terlihat gugup.Tanpa permisi, dia berlalu begitu saja. Benar-benar aneh. Mungkin jika dia tidak mirip dengan abang Brayen aku pun tak peduli bagaimana pun sikapnya. Aku kembali ke ruangan, istirahat sejenak karena akan ada pertemuan siang ini. Memejamkan mata sebentar agar fresh ketika pertemuan nanti. Walau wajah teduh tadi menganggu pikiranku. Senyumnya bahkan bak pinang dibelah dunia. semoga ada kabar dari daddy siapa dia sebenarnya. Sebelum aku benar-benar gila dibuat olehnya.Kulihat ponsel berdering kembali.[Rapat diralat menjadi pukul 16.30. Direktur sedang ada tamu dari luar daerah.] Pesan dari admin grup. Setidaknya bisa mengurangi rasa capek. Begitu pentingnya pertemuan ini hingga dilakukan dadakan. Dahlia mengetuk pintu izin ke ruanganku, meyampaikan jika rapat dimundurkan waktunya."Rapat diundurkan bu dokter," ucap Dahlia. Dia memang totalitas dal
Tubhku membeku, apa dia bercanda? Melihatku yang melongo membuatnya semakin menarikku dalam pelukannya, dia bahkan mengecup bibirku dengan lembut.“Aku akan melakukan hal lebih jika kamu dekat dengan laki-laki manapun,” bisiknya.Sial, aku bahkan menikmati setiap belaian yang dilakukannya padaku. Apa dia sebenarnya abang Brayen? Otakku bahkan dibuat tak bisa berfikir hingga dia keluar melewati pintu yang lain dalam ruangan ini. Apakah ini mimpi? Berkali-kali kucubit tanganku, tetapi ini nyata.Aku pasti sedang mengigo di sore hari. Apa benar dia abang Brayen? Perasaan macam apa ini. Jika benar aku ingin menikmatinya lebih lama lagi. Aku bahkan sekotor ini dalam berfikir. ***Bahkan setiap belaiannya masih membekas, jika tak memungkinkan aku tak ingin menghapusnya. Tanpa sadar aku meringkuk tak ingin pelukan ini terhapus begitu saja. Deru napasnya yang memburu begitu candu bagiku. Aku tidak naif jika aku butuh sentuhan suamiku, pernikahan kami hanya sebentar tentu belum puas kurasa
“Apakah aku tidak mimpi?” tanyaku padanya.“Tidak, aku memng suamimu, sayang.” Dia membalasku dengan kecupan lagi. Berkali-kali kucubit lenganku merasakan ini hanya halusinasiku, tapi ini nyata. “Lalu kenapa sampai tidak mengingatku?” tanyaku lagi. Kupasang wajah cemberut padanya.“Itu teknik marketing sayang, tapi sayangnya abang masuk ke tempat singa ketika mengingat semua kejadian yang menimpaku, jadi kali ini kita harus berjuang bersama," bisiknya. Tangannya melingkar di pinggangku."Abang pintar sekali membuat hati ini menentu tidak jelas," balasku mencubit hidungnya."Karena beginilah perjalanan cinta kita sayang, begitu menegangkan," katanya."Sampai rasanya maut begitu dekat balasku."Kembali dia memelukku erat, dia bahkan lebih berani dari yang kukira."Tunggu aku, Sayang. Semua ini pasti tidak lama."Aku mengangguk walau dibuat bingung olehnya, maksudnya ke tempat singa itu apa ke tempat mafia itu lagi. Jadi selama ini abang Brayen hanya berpura-pura saja menjadi Akhdan.“B