Pov DamarApakah mencintai itu begitu sulit? Dari awal aku menyukainya dia bahkan tak mengenalku sama sekali.Aku melihat Monica sejak SMA, dia satu sekolah denganku. Aku beda dua tahun dengannya. Sejak dia baru di sekolah ini, diam-diam aku sudah men Namun, sayangnya dia sama sekali tak mengenalku. Aku hanya mencintainya dalam diam tanpa ada balasan darinya. Setiap keluar main tiba, aku selalu mengintip ke ruangannya. Kami bersekolah di sekolah bertaraf intenasional yang tentunya isinya siswa dari kalangan orang mampu. Seperti yang lainnya Monica sama sekali tak pernah dekat dengan laki-laki manapun. Dia menyibukkan diri dengan belajar.Sebelum masuk ke kelas, aku mampir dulu ke kelasnya Monica terlebih dahulu, hanya sekedar melihat wajahnya yang ayu sudah cukup membuatku bahagia. Cinta dalam diam bahkan sesederhana itu hanya melihatnya baik-baik saja sudah membuat hati ini berbunga-bunga. Setelah itu aku akan kembali ke kelas dengan semangat yang luar biasa. Hanya menatapnya begitu
Ada apa denganmu, Damar?Sejak semalam aku tidak bisa tidur, meski yang lainnya sudah tertidur pulas. Bagaimana tidak pulas, Damar menarikku paksa beserta rombongan keluar dari sini. Dia justru mencarikan kami sebuah Villa di dekat dengan kampung ini. "Bukan kalian yang akan mengobati, tetapi kalian yang akan diobati. Jika berada di tenda ini."Memang sangat prihatin tenda yang dibuat oleh warga, kami memaklumi karena posisi kampung ini memang sangat terpencil. Namun, bukan itu letak masalahnya pemuda yang bernama Akhdan itu begitu mencuri hatiku, seperti layaknya kupu-kupu yang berterbangan di hati dan pikiranku. Aku merasa dia begitu dekat, hingga begitu sulit untuk meninggalkan kampung ini."Apa tidak sopan meninggalkan kampung ini," ujarku pada Damar yang turut membereskan barang-barang kami."Aku sudah izin sama warga beserta kepala RT nya," jawab Damar. Tak perlu diragukan lagi jika bersama Damar, dar segi kekuatan melawan musuh tentu dia pemenangnya. Di wajahnya tak ada rau
Damar hanya diam ketika aku menuju mobil daddy, sebenarnya aku pun tak tega melihatnya begitu mengharapkanku. Dia pun tahu sendiri jika aku tak bisa melupakan suamiku. Apa aku keterlaluan? Aku hanya mengungkapkan apa yang kurasakan tak lebih dari itu.“Nak, apa daddy tidak salah lihat jika pemuda yang membawa buah tangan itu mirip seperti Brayen?” tanya daddy begitu penasaran. “Di dunia ini banyak yang sama, Dad. Kalaupun dia, pasti dia mengenal kita,” balas abang Shaka.Berharap pun sepertinya tak akan mengubah keadaaan jika pemuda itu memang bukan suamiku—Brayen. Semua yang diberikan buah tangan begitu bahagia, terutama dokter Farhan. Dia seperti tak menyangka dibawakan buah tangan oleh warga."Ini dari warga, saya hanya diminta untuk mengantar," katanya. Beberapa pemuda ikut mendampingi, karena buah tangan yang dibawa begitu banyak. Sesekali kami saling pandang, lalu mengalihkan ke tempat lain.Dokter Fadila terus mencuri pandang pada pemuda yang bernama Akhdan itu. Kurasa wajar
"Mungkin bunda hanya kangen saja." Bunda seperti memberi kode ke semua agar tidak kepikiran. Walau sorot mata bunda tidak bisa dibohongi. Jangankan dia, aku pun tak bisa mengendalikan betapa dahsyatnya rindu ini."Enak sekali, ya, Bund." Kak Gendis ikut meramaikan membuat kami melupakan sejenak ucapan bunda tadi."Beli dimana, Monica? Sampai satu karung dibawa." Bunda kembali bertanya, aku tak boleh gugup agar bunda tidak curiga. Bukan tak mau menceritakan semuanya, tetapi memang belum saatnya."Hehe ... di jalan, Bund," ucapku berbohong. Tak ingin menambah pikiran bunda, akhirnya aku pun berbohong. Berbohong demi kebaikan bersama. Jika saatnya tiba, pasti bunda akan tahu juga.Selera makan sedikit berubah karena bunda terlihat murung, aku dan abang Shaka langsung merapikan dan meminta bunda untuk istirahat. Sementara Arvian sudah nyenyak di gendongan Sus Yanti.Daddy sedari tadi diam, kurasa daddy ikut menyakini satu hal jika pemuda itu memiliki kesamaan dengan kami yang pencinta du
Berita konglomerat yang masuk rumah sakit begitu tersebar ke seluruh rumah sakit, tak sedikit yang ingin dekat dengan Damar. Siapa yang tak kenal Damar, semenjak resmi menggantikan ayahnya wajahnya selalu tampil dilayar televisi.Wajahnya yang tampan tentu menarik perhatian, apalagi dia berasala dari keturunan kaya raya.“Oh, itu yang namanya tuan Damar,” bisik salah satu perawat yang berada didekatku.“Iya, ganteng, ya. Kabarnya belum nikah, lho.” Mereka seolah tak memedulikanku yang berada di sampingnya. Pujian terus mereka lontarkan. Pesona Damar menghipnotis semua yang ada di rumah sakit ini.Ting. Ponsel berdenting dari grup yang kami buat.[Semua membicarakan mas Damar, peluang semakin kecil.] pesan dari dokter Nabila, fans garis keras Damar. [Wajar jika dia dibicarakan, anak konglomerat Prasetyo.] balas dokter Rahma.Aku hanya menyimak obrolan mereka, dokter Fadila dan Farhan tidak dimasukkan di grup ini. [Dokter Monica sudah jenguk mas Damar?] Doter Nabila mengirim chat yang
Kubaca lagi surat yang diberikan Damar. Dia memang sengaja membuat rasa tak menentu di dada. Kutelisik semua ruangan ini ternyata tak ada dia di sini. Sial, sepagi ini dia sudah membuat moodku begitu kacau.Walau terasa ada yang seperti mengintipku!***Kubuka bekal yang disiapkan bunda, padahal dari rumah aku sudah makan, tapi tetap saja aku membuka bekal ini, barangkali bisa membuat mood ini sedikit lebih baik, tapi tetap saja aku dibuat kacau. Si Damar benar-benar menguji mentalku sepagi ini.Tok!Tok! Tok!Pintu ruanganku diketuk, siapa lagi yang berkunjung sepagi ini, pikirku. Ternyata yang berkunjung adalah dokter Rahma. Wajahnya begitu fresh seperti orang yang sedang kasmaran. Beda jauh denganku."Mukanya kok ditekuk gitu," ledek dokter Rahma."Lagi sariawan," balasku berbohong."Sariawan kok makannya enak begitu," balasnya terkekeh. Iya, aku akhirnya membuka bekal dari bunda."Wow, apaan itu?' tanyanya antusias." Sushi dan dimsum," jawabku."Aha ... ini sih, rejeki nomplok di
"Bagaimana kabarmu, Damar?" rasanya aku harus memperjelas agar semua rasa yang tidak jelas ini segera pudar. Aku dan dia tak memiliki hubungan apa pun selain pekerjaan. Dia terdiam sesaat melihatku yang nampak baik-baik saja. Mona yang sedari tadi meledekku memperbaiki posisinya. Walau kutahu banyak hal yang ingin Damar utarakan. "Kamu sakit apa, sih, Damar. Sampai semua media heboh," ujar Mona yang duduk di sofa kamar ini. Mona orangnya ceplas ceplos, membuat suasana mencair."Kecapean saja," balasnya singkat.Aku pun duduk memposisikan diri di dekat Mona. Walau kitahu Diamar terus menatapku tak henti, aku pun sama sekali tak meladeni tingkah Damar yang tak jelas itu. "Kamu biasanya cool, Damar. Kenapa sekarang grogi," sambung Mona lagi, dia tahu saja membuat Damar tersipu malu."Aku sakit saja, Cool, Mon. Apalagi sehat," balasnya terkekeh. Namun, tatapannya tak henti padaku."Sepertinya kamu stres karena jadi pengganti ayahmu." Mona masih mengintrogasi si Damar. Aku semakin risih
Diam-diam Damar berfikir keras mengenai sikap Monica yang mulai menjauhinya, dia tak menyangka jika Monica setega itu padanya. Semua rasa berkecamuk, termasuk rasa ingin membalas rasa sakit yang begitu dalam dirasa Damar.Meski begitu, Damar selalu menceritakan keluh kesah pada mamanya. Bisa dikatakan Damar begitu dekat dengan mamanya, segala pasti akan diceritakan jika dirasa begitu beban di hatinya. “Apa dia menolakmu?”tanya Dahlia, ibunya Damar.“Bukan ditolak lagi, Ma. Tapi dihempaskan di dasar jurang,” balas Damar.“Jangan paksa orang lain untuk menyukaimu, bisa jadi dia pun sedang berjuang untuk bisa menahan semua kesedihan yang dialaminya saat ini.”“Iya, Ma. Cintanya begitu besar pada suaminya. Damar sulit masuk meski hanya menjadi orang terdekatnya.""Berarti beruntung suaminya, dia wanita yang setia.""Justru itu yang membuat Damar semakin menyukainya, Ma." Damar meluapkan perasaan yang sedari tadi membuncah di dada.“Kamu harus tahu diri kalau begitu, Nak.” Siapa sangka Da
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Hah
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,