"Bunda ...." Monica berlari memeluk Nina yang sudah menunggunya di depan pintu. "Mengapa begini nasib Monica." Nina membalas pelukan Monica merasa begitu kasihan terhadap anaknya. Nina juga tidak menyangka putrinya mengalami hal seperti ini. Reza tak tahan melihat Monica menangis didepan Nina, dia juga tidak menyangka kejadian ini menimpa Monica--putrinya. Ujian demi ujian tak luput Monica rasakan sejak awal menikah. "Sabar, Sayang." Nina menenangkan Monica yang sedang menangis tersedu-sedu. "Abang, Bund.""Iya, Nak. Kenapa?" tanya Monica. Nina sudah tahu kabar Brayen meninggal karena disiarkam di media. Reza pun sudah mengirim pesan sejak tadi agar Nina tidak percaya dengan berita yang beredar."Abang Brayen dinyatakan meninggal, tetapi Monica yakin jika dia tiidak mungkin meninggal.""Jika kamu yakin dia tidak meninggal, jangan ragukan itu," ucap Nina menasehati putrinya yang sedang menangis. Nina mengecup kepala Monica seraya menguatkan bahwa semua baik-baik saja."Bagaimana ag
"Astaga Irwan, kami kira siapa!" semua berteriak melihat aksi Irwan."Ni tuan Shaka yang ngajarin," balas Irwan. Suara Irwan persis mirip Brayen membuat Monica terkejut, tapi karena semua terkekeh membuat Monica ikut tertawa melihat aksi Irwan.Aksi Irwan setidaknya membuat suasana sedikit berwarna. Shaka tak berhenti tersenyum melihat aksi anak buahnya itu."Keren juga kau Irwan. Hahaha ...." Shaka tak berhenti untuk terus terkekeh."Kenapa juga aku ikut saran tuan." "Memang kamu asisten yang bisa diandalkan.""Semoga saja non Monica tidak labil karena ulah tuan," balas Irwan yang hampir memukul bahu Shaka. "Tenang saja, kali ini aktingmu terbaik. Besok lebih ditingkatkan bagian reffnya," balas Shaka."Eh, cukup kali ini saja tuan Shaka terhormat. Ente kadang-kadang, ya." Shaka yang mendengar penuturan Irwan tak henti tertawa."Bang Irwan, lain kali jangan mau diperintah ma bos somplak kayak gitu," balas Gendis. Semua yang hadir ikut tertawa, untung saja Monica tidak labil karena
"Perkenalkan saya Damar Prasetyo, putra tunggal dari pak Prasetyo." Damar memulai sambutannya. Gemuruh tepuk tangan mewarnai ruangan ini. Sementara aku terpaku tak percaya melihat pengawal yang menjagaku kemarin menjadi sorotan malam ini. Iya, dia adalah pewaris dari tuan Prasetyo.Aku hanya memasang wajah datar, tak ingin berlebihan karena terkejut melihat Damar yang menjadi pewaris presider yang begitu membanggakan. Senyumnya teus mengembang, tak lupa dia menatap kami. Jika ada Mona pasti cerita ini tak kalah heboh."Tak memyangka si Damar ternyata anaknya pak Pras," ujar daddy yang sedikit heran."Bukannya itu pengawalnya Monica?" Bunda ikut bertanya."Iya, Bund. Pantas tampilannya beda, tak seperti pengawal biasanya," balas Abang Shaka.Aku hanya menjadi penikmat saja diantara mereka yang hadir. Bahkan bunda dan daddy pun terpukau melihat sii Damar yang begitu berbeda."Kamu sudah tahu Monica?" tanya bunda yang melihatku tetap santai."Gak tau bund. Dia juga sudah tak jadi pengawa
Aku terdiam melihat sosok yang mendekati kami setelah berteriak itu. Wajahnya mirip sekali dengan Abang Brayen, tetapi mengapa dia tidak mengenaliku? Dia bahkan begitu cuek seperti menganggapku todak ada.Dengan kelihaiannya, pasien yang berteriak itu terdiam. Dia bahkan tak gugup seperti kami, seperti halnya orang yang profesional di bidangnya, dia pun dengan tenang dia membantu pasien yang kesakitan itu dengan cara yang begitu sederhana sekali. Seorang bapak yang terlihat tua tergopoh-gopoh mendekatinya. Orang tua itu seperti takut kehilangan putranya."Nak, pulang, bapak sedari tadi mencarimu," katanya. Kukira dia dokter ternyata hanya petani biasa di sini."Maafkan anak saya, tingkahnya memang sedikit aneh," balas pak tua tadi kepada kami."Kami justru berterima kasih, pak," balas Nabila.Aku dan staf dokter yang lain hanya saling pandang. Menurut kami dari caranya dia bukan orang sembarangan. Keahliannya seperti orang yang ahli di bidang kedokteran. Jujur, kami terpukau dengan c
Dengan lembutnya dia menenangkan laki-laki itu. Mengapa dia begitu mirip, apa sebenarnya dia adalah abang Brayen? Aku terus berbicara di dalam hatiku. Memastikan jika sebenarnya dia adalah abang Brayen yang dinyatakan meninggal. Damar juga begitu terkejut melihatnya. Sebagai bekas tuannya tentu dia kaget karena wajahnya yang memiliki kemiripan. Beda dengan keempat rekanku yang dstang ke tempat ini, dia begitu terpukau dengan abang Brayen."Dia memang keren? Aku jadi curiga dia hanya berpura-pura," ucap dokter Fadila di sampingku. "Pura-pura kenapa?" tanya dokter Rahma."Pura-pura sebenarnya dia orang kaya," balas dokter Fadila sambil terkekeh."Lo kebanyakan nonton sinetron," balas dokter Nabila."Coba perhatikan wajahnya memang dia ganteng," balas dokter Fadila tidak mau kalah."Perhatikan bajunyaana ada laki-laki dari kota berpenampilan seperti itu." Dokter Farhan ikut nimbrung. Aku hanya jadi penikmat diantara mereka yang berdebat sendiri.Sementara Damar hanya diam tanpa banyak
Aku yakin di kehidupan kedu, kita akan bersama tanpa sekat diantara kita berdua. Menuai cinta yang bersemi ini sedari lama, meski rintangan selalu hadir diantara kita tanpa batas waktu yang bisa kita hentikan. Aku yakin bahagia itu nyata.*"Keluar kalian!" teriak para begal itu. "Tetap tenang, rekan-rekan. Jika dia bawa senjata tajam, kita harus pakai logika untuk melawan mereka," ujarku yang membauat mereka tidak tegang. Semua didalam bis tak setegang tadi. Sedikit ada peregangan walau kami akan berhadapan dengan musuh di depan kami."Dokter Farhan, siapkan suntikan bius jika mereka macam-macam," ujarku. Kita memang dilarang menggunakan obat-obatan sembarang, tapi kondisi seperti ini mau tidak mau kita pakai keilmuwan kita."Jangan takut, jumlah kita lebih banyak!" tegasku. Pengalaman di gedung waktu itu mengubah jalan pikirku menjadi lebih kuat. "Dokter Fadila, Nabila dan Rahma siapkan yang bisa kita pakai melawan," ajakku. Setidaknya ada gunting dan pisau medis yang kami punya.
“Harusnya apa yang aku genggam harus aku yakini, pak,” ujarku membuatnya terdiam."Nyatanya tidak ada di muka bumi ini yang benar-benar membuat kita yakin," katanya lagi. Dia memang pintar membuat aegumen."Itu hanya apa yang anda alami, Pak," balasku tak mau kalah.“Aku tidak setua itu dipanggil pak," ucapnya sedikit cemberut.Ada sessuatu yang menghangat di hatiku ketika dia mengajakku bicara. Apa benar abang Brayen masih hidup. Namun, mengapa dia sama sekali tak seperti mengenaliku. Bahkan baju lusuhnya pun tak malu dia pakai. Aku merutuk diriku yang masoh mengharapkan abang Brayen pemuda ini. Setidaknya semua rindu yang sudah mengungkung ragaku tidak bertepuk sebelah tangan.**Kami salat berjamaah beserta para warga di sini, untung saja kami membawa mukenah dari rumah hingga tak perlu meminjam ke warga. Sebagai dokter tentu hal seperti ini sudah kami pertimbangkan baik buruknya, segala sesuatu bisa terjadi jika kita tak bisa menjaga kesehatan dengan baik.“Masya Allah cantiknya
Pov DamarApakah mencintai itu begitu sulit? Dari awal aku menyukainya dia bahkan tak mengenalku sama sekali.Aku melihat Monica sejak SMA, dia satu sekolah denganku. Aku beda dua tahun dengannya. Sejak dia baru di sekolah ini, diam-diam aku sudah men Namun, sayangnya dia sama sekali tak mengenalku. Aku hanya mencintainya dalam diam tanpa ada balasan darinya. Setiap keluar main tiba, aku selalu mengintip ke ruangannya. Kami bersekolah di sekolah bertaraf intenasional yang tentunya isinya siswa dari kalangan orang mampu. Seperti yang lainnya Monica sama sekali tak pernah dekat dengan laki-laki manapun. Dia menyibukkan diri dengan belajar.Sebelum masuk ke kelas, aku mampir dulu ke kelasnya Monica terlebih dahulu, hanya sekedar melihat wajahnya yang ayu sudah cukup membuatku bahagia. Cinta dalam diam bahkan sesederhana itu hanya melihatnya baik-baik saja sudah membuat hati ini berbunga-bunga. Setelah itu aku akan kembali ke kelas dengan semangat yang luar biasa. Hanya menatapnya begitu
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa