Berangkat ke kantor dengan perasaan tidak menentu. Bunda yang ingin segera melihatku menikah sungguh membuatku terus memikirkannya. Dalam pikiranku hanya satu, ingin melihat bunda sehat, itu saja.
Apa dulu daddy merasakan hal yang sama ketika akan menikah dengan bunda? Jujur pusing aku memikirkan semua ini. Memikirkan wanita saja membuat kepalaku begitu mumet. Apalagi ditambah kehadiran Alifa yang membuatku semakin dilema.
Sampai di kantor aku langsung membuka laporan untuk meeting hari ini. Kami akan bertemu dengan beberapa perusahaan untuk membicarakan mega proyek. Di kantor memang aku seperti arjunanya. Banyak karyawan perempuan yang ingin memikatku. Sayangnya aku tidak tertarik sama sekali. Entah mengapa aku lebih menyukai pekerjaan daripada rasa yang tidak menentu. Namun, Ana? Lalu kehadiran Alifa membuat konsentrasiku pudar.
"Tumben telat," ucap sekertaris sekaligus sahabatku waktu kuliah. Aku memilih sekertaris laki-laki agar tidak canggung ke
Alifa begitu lancar menyampaikan persentasinya. Terlihat sekali ambisinya untuk mendapatkan proyek ini. Namun, satu hal yang dia belum paham bahwa dalam bisnis kita juga harus melihat peluang dari lawan kita. Itu yang aku pelajari beberapa tahun terakhir ini. Kecerdasan dan ketangkasan harus nomor satu."Persentasi yang dilakukan oleh ibu Alifa memang sangat menarik. Namun, satu hal yang dia belum tampilkan bahawa lokasi project disana itu bisa dikatakan rawan banjir dan longsor. Selain view yang menarik kita harus survey lokasi dulu dan saya sendiri pernah ke lokasi tersebut dan menanyakan langsung ke warga bahwa posisi disana seringkali banyak tragedi alam. Harusnya ibu Alifa dan pimpinan melihat langsung dan menanyakan ke warga bagaimana lokasi tersebut."Alifa dan bosnya diam. Dia kalah satu langkah padahal dari segi semuanya kurasa dia terbaik pada pertemuan kali ini."Itulah yang menyebabkan saya memilih Sembalun sebagai tempat pembangunan hotel karena Dad
"Kamu beneran mau nikah dengan bos ini? kalau dia masih muda, bagaimana?" tanya si Arya. Perutnya terus dipegang. Pengen namplok ini orang dia ikut mengerjaiku."Iya, tapi sayangnya bosnya botak, kecil, hitam kayak gitu siapa mau," bisiknya. Ya Allah ini anak polos atau bagaimana. Perusahaan sebesar ini dia tidak tahu siapa bosnya."Umurmu berapa tahun?" tanya si Arya lagi. Jangan tanya wajah si Gendis ini, dia begitu manis dan mata sipitnya mirip artis Korea Song Hye Kyo."Masih 23 aku baru lulus kuliah, sayangnya aku tidak seberuntung mereka yang punya orang tua lengkap, aku hidup sebatang kara yang sangat sulit cari uang," jawabnya."Tenang saja, ada pangeran yang akan mendengar keluhanmu.""Tak meski pangeran, karena di drama korea sudah biasa aku lihat pangeran-pangeran yang tampan," jawabnya dengan polos. Astaga, kenapa pula aku mendengar ini gadis. Si Arya juga bisa-bisanya dia meladeni ini gadis."O, ya, lalu kenapa
Setelah adegan lempar penghapus, aku kembali berkutat ke laporan. Si Gendis benar-benar hiburan bagiku. Syukurnya dia tidak menyadari kalau tidak, aku juga tidak yakin dia malu sendiri. Ponsel berdering, Monica menelponku. "Bang, jam berapa pulang?" tanyanya. Tumben-tumbennya dia menanyakanku pulang, biasanya ini anak cuek sekali. "Banyak sekali kerjaan, dek. Malam kayaknya." "Pulang sore. Titik." Idiih, ini anak pemaksaan sekali. "Kerjaan masih banyak dek, masak abang tinggalkan." "Pokoknya abang pulang sore paling lama jam enam," jawabnya. Dia langsung menutup ponselnya. Kek bayi saja ini anak. Aku melihat ditanganku, sebentar lagi salat ashar. Jam kantor berakhir pukul 16. 30. Aku harus bereskan pekerjaan sampai sore agar tidak kena omelan oleh Monica. ***Kali ini aku memilih salat ashar di mushola perusahaan. Salah satu hal yang tidak pernah aku tinggalkan adalah salat lima waktu, itu dulu pesan bunda. Mau seperti
Setelah berbisik tanpa merasa bersalah, si Gendis berlalu begitu saja. Dia meninggalkanku dengan Ana di halte. Kurasa rumahnya anak itu dekat sini hingga tak perlu memerlukan kendaraan lagi, dia santai pulang berjalan kaki."Katanya abang tidak punya kenalan, tapi wanita yang tadi?" tanyanya."Dia bukan siapa-siapa Ana, aku bertemu di bis, tapi dia memang karyawan di kantor. Cuma dia tidak tahu jika aku ....." Aku menjeda ucapanku."Tidak tahu jika abang bosnya 'kan," ucapnya sambil tersenyum. Baru pertama kali kulihat dia begitu manis."Begitulah ....""Yang kayak begitu bisanya bisa dijadikan pasaanga." Aku mendengar itu seperti kata-kata penolakan olehnya. Penolakan agar aku segera mencari yang lain.Hingga Irwan datang membuyarkan pembicaraan kami."Tuan, mobil sudah saya siapkan, apa kita langsung pulang? Nona Monica menelponku bertanya tuan ada dimana," jelas Irwan begitu sopan."Mau ikut, Ana?" tanyaku."Aku ada p
Malam ini aku tidak bisa tidur nyenyak memikirkan ucapan bunda. Beginilah nasib jomlo sepanjang masa. Sebenarnya bukan tidak mau pacaran, tapi sangat merepotkan kurasa yang namanya jatuh cinta ini. Apalagi kebanyakan dari mereka hanya melihat apa yang aku punya, bukan apa yang sedang dirasakan. Mungkin dari segi harta aku bisa berikan. Namun, bagaimana dengan hatiku apa aku bisa membahagiakannya. Gendis? Wanita itu jujur bukan list kriteriaku. Dia terlalu bar-bar menurutku. ***Pagi menyapa membuatku lebih semangat untuk bekerja. Kali ini aku harus mencari pendapat si Arya. Jika kepepet berarti aku harus menemui si Gendis. Gadis yang sebenarnya bukan list kriteriaku. "Bang, pagi amat?" tanya Monica yang heran melihatku. Bukan apa-apa aku hanya ingin menghindari bunda dan daddy yang akan banyak pertanyaannya dengan gadis yang kusuka, padahal kenyataan orangnya tidak ada. "Shaka, kalau bisa makan siang di rumah. Daddy sudah hubungi Arya agar pekerjaanmu hari
Kutinggalkan si Toni dan Gendis yang terus menatapku tidak percaya. Sisanya Arya yang akan membereskan. Semua menatapku dengan senyum memgembang karena si Toni hanya akan tinggal kenangan.Aku kembali meilhat di pergelangan tangan masih jam 11 siang. Secepatnya aku harus segera membereskan pekerjaan ini. Namun, lagi-lagi ada saja yang menganggu. "Kalau lihat tuan Shaka tadi persis adegan drama korea, seru!" Siapa lagi yang teriak kalau bukan si Arya. "Memang si botak itu harus diberi pelajaran. Trending saat ini semua jadi tau CEO nya adalah Shaka Adytama." Si Arya ceramah panjang kali lebar.Selama ini aku memang tidak pernah mengumumkan diri. Aku juga hanya pakai nama Adytama ketika di perusahaan, Shaka hanya untuk orang-orang tertentu ini guna kestabilan perusahaan karena aku masih muda bagi kalangan bisnis. Hanya beberapa orang yang tahu, aku juga malas jika banyak yang tahu siapa aku. Yang sedikit saja banyak yang cari perhatian apalagi lebih banyak lagi."Arya, apa benar kamu
"Iya, bund," jawabnya. Apa mereka saudara kandung? Tapi bukannya si Gendis bilang yatim piatu hidup sebatang kara."Itu siapa, mbak?" tanya bunda."Saudaranya Ana, cuma beda pemikiran dengan kami." Jadi mereka saudara. Astaga, untung aku belum buat kesepakatan."Maksudnya?" tanya bunda."Dia lebih senang hidup mandiri dan tidak bisa diatur, berbagai cara kami lakukan. Dia menentang ayahnya. Namun, mungkin sedang masa labil." Diih, kenapa dia bilang hidup sebatang kara. Benar-benar tu bocah."Kecerdasannya melebihi kecerdasn orang biasa, Nin. Dia memiliki IQ di atas rata-rata. Banyak yang bilang dia indigo. Tapi aku masih tetap percaya dia sama dengan yang lainnya. Masih normal," ucap om Gunawan."Dia lulusan S2 di Inggris. Pernah ikut akselerasi, kami sempat kewalahan dia buat. Gila buku, dan dia bertentangan dengan Ana." Lalu itu anak tujuannya ke perusahaan untuk apa?"Dia karyawan di kantor Shaka," jawabku.Bunda diam
Fix, kita NikahDiputuskan kami akan menikah hari minggu. Aku pulang dengan rasa yang tak menentu. Apa keputusanku ini benar. Apalagk ketika di taman rumahnya, si Gendis langsung menyerangku."Diih, ngebet banget pengen nikah," ucapnya meledekku."Bukannya kamu yang ngebet nikah denganku. Ada Arya juga yang jadi saksi kunci.""Awas aja si Arya tau aku nikah denganmu," ucapnya lagi."Aku kali yang gak pede denganmu," jawabku tak mau kalah."Bilang saja kamu mengkambing hitamkan aku karena ditolak sama kak Ana. Diih, cemen gitu jadi laki." Astagfirullah ini wanita."Siapa juga mau sama kamu yang penampilan sok kecakepan.""Wah, tuan Shaka ternyata begini ya, orangnya. Kalau mau nikah sama penampilan cari sana model atau artis ternama.""Gampang bagiku," jawabku lagi."Gampang-gampang , tapi gak laku-laku." Wah, ngajak perang ini orang."Ckck ... sepasang kekasih kok ribut. Tom and Jerry kalian." Siapa lagi yang nguping kalau bukan si Dokter itu. Benar-benar tidak jelas ini orang."Ckck
Reza dilarikan ke rumah sakit karena ternyata Reza lemas dan mengalami sesak nafas. Kemungkinan yang terjadi karena Reza sempat emosi dan kepikiran Monica sehingga jantungnya kumat."Daddy kenapa, Bund.""Tiba-tiba lemas, padahal paginya daddy segar sekali.""Nafasnya naik turun, ya Allah bunda takut daddymu kenapa-kenapa." Nina menangis dipelukan Shaka. Monica yang mengira hanya chek up biasa ikut panik ketika dikabari abangnya jika Reza masuk ICU. Reza sampai tidak sadarkan diri menambah deretan kepanikan keluarganya."Bukannya tadi bunda bilang hanya chek up saja.""Iya, ternyata daddy lemas untung segera dilarikan ke rumah sakit.""Ya Allah Monica kira tidak separah ini." Terdengar suara serak Monica yang menangis mendengar Reza tidak sadarkan diri."Abang Brayen sudah menuju ke sana.""Iya, Dek. Kamu cepat ke sini," ucap Shaka yang meminta Monica langsung ke rumah sakit. Sementara Brayen shock melihat keadaan Reza, bayangan bersama ketika kecil membuat hati Brayen terenyuh dadd
Misiku kali ini bukan lagi untuk bersatu dengan abang Brayen, tapi memikirkan bagaimana agar abang Brayen bersama daddy seperti dulu lagi. Terkadang kita dipaksa kuat oleh keadaan dan dibuat ikhlas oleh kenyataan, jadi pandai-pandailah menjaga perasaan kita sendiri, karena disaat kita terpuruk, susah dan sedih tidak semua orang akan peduli. “Ikuti saja kata bunda, Dek. Sejauh mana kamu melangkah jika dia jodohmu pasti dia akan kembali mengejarmu.”“Iya, Bang.”“Abang yakin kamu bisa melewatinya, Dek. Demi daddy,” kata abang Shaka.“Makasih, Bang. Demi kalian semua.”Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. sakitnya daddy pasti jalan agar abang Brayen dan daddy bersatu kembali. Aku juga harus sadar jika usia daddy tidak muda lagi. Aku mau daddy di hari tuanya bahagia tanpa beban."Belajar untuk tidak terlalu berharap kepada siapapun kecuali Allah, karena harapan yang berlebihan kepada manusia hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri," ucap ababg Shaka memberi nasehat. "Saatnya kamu le
Reza kembali kumat, ternyata selama ini Reza ada riwayat jantung sehingga harus dikontrol minum obat setiap hari. Nina pun sadar semakin hari usia mereka sudah tidak muda lagi sehingga gampang sekali terkena penyakit.“Kasitahu anak-anak, Bang, kalau jantungmu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nina pada Reza yang terbaring. Nina sadar semenjak Monica gagal menikah lagi, suaminya–Reza sering sakit-sakitan. Dia merasa gagal sebagai orang tua.“Bang, coba diubah pola pikirnya bahwa tidak semua keinginan kita selalu sejalan.”“Iya, Sayang. Daddy baik-baik saja, Bund.”“Baik-baik bagaimana, kata dokter abang harus berobat intensif.” “Tenang saja, Bund. Semua pasti baik-baik saja,” kata Reza. Jauh dari lubuk hatinya sebenarnya dia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Shaka sudah bahagia dengan Gendhis. Sementara Monica masih dilema.“Apa abang memikirkan Monica?” tanya Nina. Dia penasaran akhir-akhir ini suaminya lebih pendiam.“Jangan dipendam, salah satu sumber penyakit adalah
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat