Pernikahan Brayen dan Monica benar-benar di ujung tanduk, Brayen yang sudah terlanjur dendam dengan keluarga Adytama membuatnya ikut menyakiti hati Monica. Meski cinta begitu besar, tetapi dendam yang Brayen rasakan tidak mengubah keputusannya untuk membalas dendam dengan Reza Adytama. “Semua ini ulah tuan Reza, kami berharap tuan Brayen membalas semua perlakuan Reza Adytama.” Napas Brayen berat, meski kali ini dia harus melawan keluarga yang pernah menjadi bagian hidupnya ditambah dengan Reza adalah orang yang begitu berjasa dalam hidupnya.“Kalau bisa pisah saja dengan Monica, dia adalah bagian Adytama.” Bagi Brayen ini sungguh berat, selama ini mereka berjuang untuk bersama, tetapi kali ini harus berpisah.“Ini bagian dari balas budimu kepada Mr.Roy,” ucap asisten yang selalu memberikan informasi padaku.Data dan fakta memang menjurus semua ke Reza, sakit hati Brayen berakibat fatal pada dirinya. Bahkan Arvian pun tak pernah lagi dia rawat karena ada nama Adytama yang disematkan.
Kita memang hanya ditakdirkan untuk sesaat bersama berbagi segala peran yang pernah ada. Meski pada akhirnya kita tetap berpisah. Aku tahu pernikahan yang sukses adalah pernikahan yang membuat jatuh cinta berkali-kali. Akan tetapi, aku juga tidak tahan jika terus begini setiap hari. Aku tak tahan menunggu terlalu lama, diam pun begitu berat kurasa. Apakah aku harus menunggu menjadi gila dulu untuk tetap bersamanya. Bunda sedang membutuhkan tenaga dariku, ditambah abang Brayen yang semakin hari semakin aneh kurasa. Apakah dengan berpisah semua menjadi tenang. Jujur, aku merasa ragaku terasa begitu melelahkan.Pulang bertemu Mona dan abang Brayen, aku langsung mengambil Arvian. Segera berkemas untuk kembali ke rumah bunda, meski aku tahu jika penyakit bunda tidak boleh mendengar kabar buruk. Namun, kemana aku pergi jika tidak ke rumah."Nona mau kemana?" tanya asisten yang menjagaku. Tentu dia bertanya melihatku membawa tas berisi baju."Kasitahu Tuan kalian, jika aku pergi, " balasku.
Sampai rumah kami tak ada pembicaraan lagi. Arvian yang ada digendonganku terus kupeluk. Hanya memeluk Arvian, beban di pundak ini terasa berkurang. Do'aku semoga bunda tidak kambuh, tak kurang satu apa pun.“Jangan jadi istri durhaka,” ujarnya lagi.“Jangan pula jadi suami yang hanya menyakiti, selama kita bersama aku baru sadar ternyata sisi negatif abang begitu menyeramkan.” Aku dan dia seperti minyak dan air yang sulit untuk di satukan lagi. Apa yang dia harapkan dari pernikahan ini jika sudah tak memiliki rasa terhadapku dan keluarga yang selama ini menyanyangi kami sepenuh hati.Kututup pintu kamar, untungnya aku sudah makan, jadi tidak perlu keluar kamar lagi. Arvian adalah penyemangatku. Banyak hal yang kupikirkan, salah satunya, sikap abang Brayen yang kurasa semakin aneh. Apa ada yang salah hingga dia berubah seperti ini. Sepertinya aku harus mencari tahu. Sampai menjelang isya aku tak keluar kamar mencoba introspeksi diri, bayangan tadi sore juga begitu menyeramkan bagik
Meski begitu, dia mengambil jus alpukat itu, tak sabar rasanya melihat dia sakit perut. Baru sampai ke bibirnya dia melepas lagi. Dia mang sedikit menyebalkan."Kenapa adik madu? Takut jika aku kasih sesuatu?" tanyaku menantangnya. Jangan sampai ditindas dengan orang baru."Tidak juga," balasnya. Mentalnya memang tidak perlu diragukan lagi.Abang Brayen langsung minum jus buatanku juga.Sisil juga ikut minum jus yang aku buat. Ternyata dia hanya menggertakku saja, kena kan. Abang Brayen terlihat menikmati jus jeruk yang aku buat. Mereka tertawa bersama tanpa menghiraukanku. Obat pencaharnya belum bereaksi. Hebat juga si Damar cari obat. Efeknya tidak secara langsung.Sepertinya dia sengaja membuatku menjadi nyamuk ditengah-tengah mereka. Sedikit-dikit mereka tertawa bahagia, hingga lupa ada raga yang tak berhenti menatapnya. Tak ingin melihat kebersamaaan mereka, aku ke belakang meninggalkan mereka. Aku juga heran dengan perasaanku yang tidak ada cemburu melihat kebersamaan mereka.“Ma
Semua berubah drastis. Bukan hanya masalah dendam, tetapi ada masalh yang memang sudah lama dipendam oleh Mr. Roy. Brayen sama sekali tidak pernah curiga dengan semua perlakuan asisten Mr. Roy baru-baru ini. Dia masih merasa hal yang wajar. Yang tidak bisa dia terima adalah perbuatan Reza yang begitu kejam padanya. Padahal semua laporan itu tidak sepenuhnya benar.“Brayen kamu harus segera mengambil alih Adytama, lalu buang Monica.” Salah satu asisten Brayen tanpa ampun meminta secepatnya Monica disingkirkan.Monica dianggap sebagai penghalang untuk mendapatkan perusahaan Adytama. Imbasnya ke Monica memang sungguh Brayen perlihatkan.“Adytama itu kuat,” jawab Brayen. Di sisi lain Brayen merasa kali ini dia suda keliru. Dia baru tahu jika Mr.Roy adalah musuh perusahaan Adytama, Mr. Roy sudah lama mengintai sasarannya. Salah satunya menjadikan Brayen memihak pada mereka. Diberi kemewahan, jabatan dan tahta agar Brayen menjadi kacung Mr. Roy yang ternyata memang depresi karena dendamny
Aku terus tersenyum menghampiri abang Brayen yang nampak seperti patung. Melihat pelayan yang memujiku aku memasang wajah yamg tak sedikit pun ada raut kesedihan, lebih tepatnya aku tebar pesona. Tidak ada salahnya membuat dia kali ini tak berkedip. "Ayo kita berangkat, Bang," ajakku. Tak peduli dengan tatapannya yang begitu terkesima. Dia bahkan hampir tersandung jika tak dipegang Damar.Damar selalu di sampingku, tidak ingin berjauhan denganku sedikit pun."Hei, bisakah kamu jangan nempel di samping istriku," ucap abang Brayen. Diih, giliran begini baru sadar punya istri."Dia penjagaku, jadi wajar ada di sampingku," belaku. "Tapi tidak dekat-dekat," omelnyaAbang Brayen terus menatapku. Puas rasanya melihatnya seperti itu. Aku sengaja minta Damar agar di sampingku. Sekali-kali kita harus belajar dari pengalaman. Jika sudah tak sejalan, kenapa harus dipertahankan."Aku mau duduk di samping istriku," ucapnya lagi. Dia benar-benar menguji iman.Heran saja melihat tingkahnya yang aneh
"Kurasa ini memang karma karena kamu mengambil suami orang!" teriak seorang ibu yang sepertinya istri pejabat.Abang Brayen tak ada pergerakan melihat calon istrinya disindir orang banyak. Ambulance berdatangan menjemput yang keracunan. Mona dan Damar langsung tos, tanda misi berhasil. Aku maju mendekati Sisil yang sedang gugup menghadapi banyak komentar."Bagaimana, Sil? Kurasa ini permulaan. O, ya, cincinnya daripada nganggur boleh kuminta.""Enak saja, kamu! Dasar tidak bisa jaga laki sendiri!" teriaknya."Ha?! Maksudmu? Kamu saja kurasa gatelan," balasku tak mau kalah."Pergi kamu dari sini!" Dia kembali berteriak."Semoga kamu tidak stress, ya, Sil!" balasku berteriak. Huha ... pen ketawa melihat si Sisil ngamuk.Ibu-ibu mulai menyorakinya. Duh, kasihan sebenarnya melihat dia yang terzolimi. Namun, mau bagaimana lagi kita harus beri pelajaran pada wanita yang tidak tahu malu merebut suami orang."Kamu yang akan stress, karena suamimu kuambil." Dia belum menyerah."Lihat ibu-ibu
Darahku mendidih melihat Sisil yang menggendong Arvian. Dia terus tersenyum tanpa merasa bersalah sedikit pun. Dengan bangganya dia memamerkan dirinya di depan abang Brayen, dia seperti memenangkan permainan karena berhasil menggendong Arvian sebelum aku pulang. Dasar licik!"Ibu macam apa yang ninggalin anakanya," ucapnya. Dia benar-benar menguji iman. Suaranya terus memojokkanku."Ternyata kamu pintar, ya, Sil. Kalau begitu silahkan gendong Arvian sesuka hatimu." Dia kira aku akan melayaninya, tak peduli Aku berlalu meninggalkan mereka. Meski aku begitu jengkel dia menggendong Arvian.Abang Brayen tak banyak kata, dia menatapku sekilas. Namun, siapa sangka dia justru mengikutiku masuk ke kamar. Dasar aneh!"Darimana?" tanyanya pelan."Dari bunda," balasku. Daripada berbohong nanti ceritanya semakin panjang."Apa kamu tidak mendengarku?" tanyanya. Nada suaranya sedikit berbeda."Aku mendengarmu, makanya aku pulang." Aku membalas dengan nada yang sedikit nyeletuk."Apa maumu?""Menika