Kadang ... untuk bahagia saja terasa begitu sulit. Memimpikan hal yang indah nyatanya tak mudah. Aku justru merutuk diriku yang sejak dulu mencintainya tanpa batas waktu yang ditentukan. _Monica"Ada pasien, Dok." Perawat mengabariku. Pelayanan sudah mulai dibuka. perawat memberikanku beberapa rekam medis pasien yang datang hari ini."Baik, Sus. Silahkan suruh masuk."Salah satu hal yang kuhindari selama ini, menghindari tidak profesional ketika bekerja. Tak ada manusia yang tidak memiliki masalah dan aku yakin bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik.Sebagai spesialis anak, tentu banyak hal yang kudapatkan. Senyum tawa anak kecil yang biasanya kita dengar, tak sama jika melayani pasien. Tak sedikit air mata yang turun melihat anak-anak yang berjuang untuk sembuh. Hal itu kadang membuatku bersyukur memiliki Arvian yang sehat dan tak kurang satu apa pun. Melihat begitu banyaknya pasien, kadang sedikit membuatku tersadar bahwa setiap manusia diberi ujian sesuai porsinya. "Untuk mem
Wajah abang Brayen memerah melihatku yang dipegang Damar. Entahlah, aku merasa kali ini benar-benar sakit hati. Untuk apa mempertahankan pernikahan toxic ini. Pernikahan yang semkin lama menggerogot jiwa dan raga.Damar tetap pada pendiriannya, tak sedikit pun wajah ketakutan yang kulihat pada dirinya."Aku yang akan mempekerjakan Damar jika tuan pecat," ucapku sinis menatapnya."Jika aku memecatnya, maka kamu tidak perlu mempekerjakannya," jawabnya lagi."Siapa pun berhak mempekerjakan seseorang, seperti kamu yang gampang sekali membuat orang lain terluka." Kali ini dia kalah membalas ucapanku. Tanpa basa basi, dia menarikku ke ruangannya. Aku rasa dia sudah melampaui batas kali ini. Aku pun tak mau kali inj kalah dengannya, di depan orang banyak saja dia berani membela yang bukan istrinya. Tak peduli kutinggalkan dia bersama Mona. "Mau kemana?" tanyanya."Aku mau kembali ke ruangan," jawabku."Ikut denganku!" tegasnya. Dia tak menunggu jawaban dariku, dengan segera menarikku ke ru
Semakin hari kondisi Nina semakin sehat, dia terlihat lebih kuat dari sebelumnya. Ditambah dengan masalah yang menimpa Monica membuatnya semakin bijak dalam menyikapi setiap masalah. Selain itu, support dari Reza tak henti untuk Nina sendiri. "Makasih, Bang. Selalu ada untukku." Setiap sore Nina selalu dimanjakan oleh Reza. Kakinya selalu direndam dengan air hangat, walau sudah ada fasilitas lengkap di rumahnya, Reza tetap dengan sendiri merawat Nina. Seiring berjalan waktu dan semangat yang tak henti dari Reza, perlahan Nina bisa berjalan tanpa menggunakan alat bantuan."Alhamdulillah, semakin hari semakin banyak kemajuan, ya, Sayang," ucap Reza yang selalu tak henti memberi support untuk istrinya.Semakin menua Reza semakin mesra terhadap istrinya. Nina semakin mencintai suaminya, dibalik ketegasan yang dimiliki Reza, dia begitu setia dan tulus terhadap Nina. Tak pernah sedikit pun ada raut bosan atau mengeluh untuk merawat istrinya yang terkadang sedikit manja."Banyak hal yang k
Kabar Brayen yang akan menikah membuat hati Monica sedikit sakit, terlalu mendadak bagi dirinya mendengar kabar ini. Sisil pasti paling bahagia saat ini. Monica menahan napas berkali-kali tak menyangka secepat ini mereka akan menikah.“Aku tidak menyangka secepat ini, Dad.”Monica mengeluarkan isi hatinya, jujur meski dia sakit hati akibat ulah sikap Brayen yang semena-mena, tetapi didasar hatinya masih ada ruang cinta yang tak pudar meski sakit hati kerap ia rasakan.“Sabar, Nak. Bunda yakin kamu bisa melewatinya.” Nina ikut menasehati Monica.“Ini terlalu cepat, Bund.” Monica tergugu merasakan sakit hati yang luar biasa. Kabar Brayen yang akan melangsungkan pernikahan lusa dirasa begitu sangat cepat.“Aku kira tidak secepat ini, Bunda.” Monica sampai tak bisa berkata-kata, yang keluar dari mulutnya hanya ungkapan itu saja. Nina memeluk Monica sembari menenangkan putrinya. Dia pun tak menyangka Monica akan mengalami hal yang menyedihkan ini. Tidak mudah bagi sebagian perempuan untuk
Apakah aku harus mengacaukan acara pernikahan suamiku dengan Sisil hari ini? Aku merasa jika pernikahan ini setidaknya aku perjuangkan tanpa berdiam diri di sini, menunggu sesuatu yang tidak pasti. Hanya menerima kenyataan tanpa usaha sedikit pun.“Jangan Monica, itu terlalu beresiko.” Daddy melarangku. Wajar, aku akan masuk ke sarang orang yang pro dengan Sisil dan Brayen.“Lalu aku harus berdiam diri menerima kenyataan suamiku menikah, Dad. Sementara kita tahu ini bagian konspirasi dari mereka.” Aku berusaha menyakinkan daddy, walau kutahu dia pasti tak tega melihatku ke acara abang Brayen.“Iya, Bunda dukung kamu bergerak Monica, tetapi jangan sendiri.” Bunda mengingatkanku."Resikonya terlalu besar jika kamu sendiri," balas Daddy."Ajari Monica, Bang. Agar berusaha mempertahankan suaminya." Bunda tetap mendukungku, meski daddy ragu.Mendapat dukungan dari bunda semakin menguatkanku untuk merusak pernikahan abang Brayen dan Sisil. Aku tak akan menyesal seandainya gagal sekali pun.
"Monica!" "Nyonya!""Nyonya Monica, bangunlah!" Damar berteriak membuat kupingku terasa pecah.Asragfirullah, ternyata aku hanya mimpi. Aku bahkan menepuk pipiku. Begitu jelas sekali mimpi tadi ketika abang Brayen menceraikanku. Cukup lama aku termenung sendiri. Apakah itu yang akan kurasakan hari ini? Benar-benar seperti kenyataan."Astagfirullah, tidur kok pulas begitu!" tegas Mona yang ikut geram melihatku. Ternyata kami sudah sampai di lokasi. Mona sudah sedari tadi menunggu, tetapi aku tak kunjung keluar dari mobil. Mimpi itu sungguh menyeramkan menurutku."Tumben lihat orang tidur seperti itu," balas Damar."Aduh, maaf," jawabku. Kata orang mimpi buruk jangan diceritakan. Biarlah aku simpan sendiri, meski sebenarnya aku tak tahan ingin menceritakan kepada Mona. Namun, kutahan. Aku menghela napas panjang mengapa mimpi itu membuatku terasa nyata sekali."Sejak kapan aku tidur?" tanyaku pada Damar."Sejak masuk ke mobil dari butik, benar-benar menyebalkan," balas Damar. Diih, asis
Dan tembakan itu pas mengenai abang Brayen yang ada di depanku. Pelukannya terlepas begitu saja dariku. Darah mulai bercucuran dan mengenai tanganku. Aku menangis tersedu, baru saja senua seperti mimpi bagiku. Merasakan pernyataan cinta dari suamiku yang sudah lama tak seperti itu. “Minggir, Monica. Sasarannya kamu.” Suaranya melemah, aku menggeleng, tak tega melihatnya kesakitan."Bang.""Abang!" Aku terus berteriak hingga dia mulai tak sadarkan diri.Entah darimana pasukan yang mengawal gedung ini semakin banyak. Aku takut, tetapi akan lebih menakutkan jika abang Brayen kenapa-kenapa.Dengan sigap tanpa takut Damar mengangkat abang Brayen yang bersimbah darah, kami dikepung itu membuat nyaliku begitu ciut. Siapa sangka yang menembak adalah Sisil dengan banyak pengawal di sampingnya. Seisi gedung menjadi begitu riuh, beberapa tamu bahkan mundur teratur. Entah mengapa aku seperti berada di tengah-tengah orang yang bukan manusia. Mereka pergi dan berlalu begitu saja. Berkali-kali ku
Mona memegang bahuku, menguatkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku menangis tak percaya. Ini pasti rekayasa dari mereka. Aku tergugu menangis, begitu banyak cobaan dari awal pernikahan kami. “Kamu bohong Damar!” aku berteriak seperti orang gila.“Tenangkan dirimu Monica." Mona menenangkanku.Mengapa saat hati ini sudah percaya kami akan bahagia, kembali ujian ini menimpa kami. Tak mungkin abang Brayen meninggal."Jawab, Damar. Kamu bohong 'kan!" Aku kembali berteriak. Rasanya aku memang sudah gila saat ini. "Mon, Damar bohong kan?" tanyaku pada Mona yang menatapku sedih. "Mengapa hanya bahagia saja begitu sulit, Mon.""Itu informasi yang aku dengar, Nyonya," balas Damar."Aku harap informasi yang kamu dapatkan keliru, Damar." Aku tergugu menangis. "Tenangkan dirimu, Monica. Kita harus keluar dari tempat ini terlebih dahulu.” Mona mengingatkanku. Aku bahkan lupa jika terjebak di gedung ini. Ditambah berita yang begitu membuatku tak percaya. Tidak, itu pasti bohong abang Bray