Kabar Brayen yang akan menikah membuat hati Monica sedikit sakit, terlalu mendadak bagi dirinya mendengar kabar ini. Sisil pasti paling bahagia saat ini. Monica menahan napas berkali-kali tak menyangka secepat ini mereka akan menikah.“Aku tidak menyangka secepat ini, Dad.”Monica mengeluarkan isi hatinya, jujur meski dia sakit hati akibat ulah sikap Brayen yang semena-mena, tetapi didasar hatinya masih ada ruang cinta yang tak pudar meski sakit hati kerap ia rasakan.“Sabar, Nak. Bunda yakin kamu bisa melewatinya.” Nina ikut menasehati Monica.“Ini terlalu cepat, Bund.” Monica tergugu merasakan sakit hati yang luar biasa. Kabar Brayen yang akan melangsungkan pernikahan lusa dirasa begitu sangat cepat.“Aku kira tidak secepat ini, Bunda.” Monica sampai tak bisa berkata-kata, yang keluar dari mulutnya hanya ungkapan itu saja. Nina memeluk Monica sembari menenangkan putrinya. Dia pun tak menyangka Monica akan mengalami hal yang menyedihkan ini. Tidak mudah bagi sebagian perempuan untuk
Apakah aku harus mengacaukan acara pernikahan suamiku dengan Sisil hari ini? Aku merasa jika pernikahan ini setidaknya aku perjuangkan tanpa berdiam diri di sini, menunggu sesuatu yang tidak pasti. Hanya menerima kenyataan tanpa usaha sedikit pun.“Jangan Monica, itu terlalu beresiko.” Daddy melarangku. Wajar, aku akan masuk ke sarang orang yang pro dengan Sisil dan Brayen.“Lalu aku harus berdiam diri menerima kenyataan suamiku menikah, Dad. Sementara kita tahu ini bagian konspirasi dari mereka.” Aku berusaha menyakinkan daddy, walau kutahu dia pasti tak tega melihatku ke acara abang Brayen.“Iya, Bunda dukung kamu bergerak Monica, tetapi jangan sendiri.” Bunda mengingatkanku."Resikonya terlalu besar jika kamu sendiri," balas Daddy."Ajari Monica, Bang. Agar berusaha mempertahankan suaminya." Bunda tetap mendukungku, meski daddy ragu.Mendapat dukungan dari bunda semakin menguatkanku untuk merusak pernikahan abang Brayen dan Sisil. Aku tak akan menyesal seandainya gagal sekali pun.
"Monica!" "Nyonya!""Nyonya Monica, bangunlah!" Damar berteriak membuat kupingku terasa pecah.Asragfirullah, ternyata aku hanya mimpi. Aku bahkan menepuk pipiku. Begitu jelas sekali mimpi tadi ketika abang Brayen menceraikanku. Cukup lama aku termenung sendiri. Apakah itu yang akan kurasakan hari ini? Benar-benar seperti kenyataan."Astagfirullah, tidur kok pulas begitu!" tegas Mona yang ikut geram melihatku. Ternyata kami sudah sampai di lokasi. Mona sudah sedari tadi menunggu, tetapi aku tak kunjung keluar dari mobil. Mimpi itu sungguh menyeramkan menurutku."Tumben lihat orang tidur seperti itu," balas Damar."Aduh, maaf," jawabku. Kata orang mimpi buruk jangan diceritakan. Biarlah aku simpan sendiri, meski sebenarnya aku tak tahan ingin menceritakan kepada Mona. Namun, kutahan. Aku menghela napas panjang mengapa mimpi itu membuatku terasa nyata sekali."Sejak kapan aku tidur?" tanyaku pada Damar."Sejak masuk ke mobil dari butik, benar-benar menyebalkan," balas Damar. Diih, asis
Dan tembakan itu pas mengenai abang Brayen yang ada di depanku. Pelukannya terlepas begitu saja dariku. Darah mulai bercucuran dan mengenai tanganku. Aku menangis tersedu, baru saja senua seperti mimpi bagiku. Merasakan pernyataan cinta dari suamiku yang sudah lama tak seperti itu. “Minggir, Monica. Sasarannya kamu.” Suaranya melemah, aku menggeleng, tak tega melihatnya kesakitan."Bang.""Abang!" Aku terus berteriak hingga dia mulai tak sadarkan diri.Entah darimana pasukan yang mengawal gedung ini semakin banyak. Aku takut, tetapi akan lebih menakutkan jika abang Brayen kenapa-kenapa.Dengan sigap tanpa takut Damar mengangkat abang Brayen yang bersimbah darah, kami dikepung itu membuat nyaliku begitu ciut. Siapa sangka yang menembak adalah Sisil dengan banyak pengawal di sampingnya. Seisi gedung menjadi begitu riuh, beberapa tamu bahkan mundur teratur. Entah mengapa aku seperti berada di tengah-tengah orang yang bukan manusia. Mereka pergi dan berlalu begitu saja. Berkali-kali ku
Mona memegang bahuku, menguatkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku menangis tak percaya. Ini pasti rekayasa dari mereka. Aku tergugu menangis, begitu banyak cobaan dari awal pernikahan kami. “Kamu bohong Damar!” aku berteriak seperti orang gila.“Tenangkan dirimu Monica." Mona menenangkanku.Mengapa saat hati ini sudah percaya kami akan bahagia, kembali ujian ini menimpa kami. Tak mungkin abang Brayen meninggal."Jawab, Damar. Kamu bohong 'kan!" Aku kembali berteriak. Rasanya aku memang sudah gila saat ini. "Mon, Damar bohong kan?" tanyaku pada Mona yang menatapku sedih. "Mengapa hanya bahagia saja begitu sulit, Mon.""Itu informasi yang aku dengar, Nyonya," balas Damar."Aku harap informasi yang kamu dapatkan keliru, Damar." Aku tergugu menangis. "Tenangkan dirimu, Monica. Kita harus keluar dari tempat ini terlebih dahulu.” Mona mengingatkanku. Aku bahkan lupa jika terjebak di gedung ini. Ditambah berita yang begitu membuatku tak percaya. Tidak, itu pasti bohong abang Bray
"Bunda ...." Monica berlari memeluk Nina yang sudah menunggunya di depan pintu. "Mengapa begini nasib Monica." Nina membalas pelukan Monica merasa begitu kasihan terhadap anaknya. Nina juga tidak menyangka putrinya mengalami hal seperti ini. Reza tak tahan melihat Monica menangis didepan Nina, dia juga tidak menyangka kejadian ini menimpa Monica--putrinya. Ujian demi ujian tak luput Monica rasakan sejak awal menikah. "Sabar, Sayang." Nina menenangkan Monica yang sedang menangis tersedu-sedu. "Abang, Bund.""Iya, Nak. Kenapa?" tanya Monica. Nina sudah tahu kabar Brayen meninggal karena disiarkam di media. Reza pun sudah mengirim pesan sejak tadi agar Nina tidak percaya dengan berita yang beredar."Abang Brayen dinyatakan meninggal, tetapi Monica yakin jika dia tiidak mungkin meninggal.""Jika kamu yakin dia tidak meninggal, jangan ragukan itu," ucap Nina menasehati putrinya yang sedang menangis. Nina mengecup kepala Monica seraya menguatkan bahwa semua baik-baik saja."Bagaimana ag
"Astaga Irwan, kami kira siapa!" semua berteriak melihat aksi Irwan."Ni tuan Shaka yang ngajarin," balas Irwan. Suara Irwan persis mirip Brayen membuat Monica terkejut, tapi karena semua terkekeh membuat Monica ikut tertawa melihat aksi Irwan.Aksi Irwan setidaknya membuat suasana sedikit berwarna. Shaka tak berhenti tersenyum melihat aksi anak buahnya itu."Keren juga kau Irwan. Hahaha ...." Shaka tak berhenti untuk terus terkekeh."Kenapa juga aku ikut saran tuan." "Memang kamu asisten yang bisa diandalkan.""Semoga saja non Monica tidak labil karena ulah tuan," balas Irwan yang hampir memukul bahu Shaka. "Tenang saja, kali ini aktingmu terbaik. Besok lebih ditingkatkan bagian reffnya," balas Shaka."Eh, cukup kali ini saja tuan Shaka terhormat. Ente kadang-kadang, ya." Shaka yang mendengar penuturan Irwan tak henti tertawa."Bang Irwan, lain kali jangan mau diperintah ma bos somplak kayak gitu," balas Gendis. Semua yang hadir ikut tertawa, untung saja Monica tidak labil karena
"Perkenalkan saya Damar Prasetyo, putra tunggal dari pak Prasetyo." Damar memulai sambutannya. Gemuruh tepuk tangan mewarnai ruangan ini. Sementara aku terpaku tak percaya melihat pengawal yang menjagaku kemarin menjadi sorotan malam ini. Iya, dia adalah pewaris dari tuan Prasetyo.Aku hanya memasang wajah datar, tak ingin berlebihan karena terkejut melihat Damar yang menjadi pewaris presider yang begitu membanggakan. Senyumnya teus mengembang, tak lupa dia menatap kami. Jika ada Mona pasti cerita ini tak kalah heboh."Tak memyangka si Damar ternyata anaknya pak Pras," ujar daddy yang sedikit heran."Bukannya itu pengawalnya Monica?" Bunda ikut bertanya."Iya, Bund. Pantas tampilannya beda, tak seperti pengawal biasanya," balas Abang Shaka.Aku hanya menjadi penikmat saja diantara mereka yang hadir. Bahkan bunda dan daddy pun terpukau melihat sii Damar yang begitu berbeda."Kamu sudah tahu Monica?" tanya bunda yang melihatku tetap santai."Gak tau bund. Dia juga sudah tak jadi pengawa