"Kurasa ini memang karma karena kamu mengambil suami orang!" teriak seorang ibu yang sepertinya istri pejabat.Abang Brayen tak ada pergerakan melihat calon istrinya disindir orang banyak. Ambulance berdatangan menjemput yang keracunan. Mona dan Damar langsung tos, tanda misi berhasil. Aku maju mendekati Sisil yang sedang gugup menghadapi banyak komentar."Bagaimana, Sil? Kurasa ini permulaan. O, ya, cincinnya daripada nganggur boleh kuminta.""Enak saja, kamu! Dasar tidak bisa jaga laki sendiri!" teriaknya."Ha?! Maksudmu? Kamu saja kurasa gatelan," balasku tak mau kalah."Pergi kamu dari sini!" Dia kembali berteriak."Semoga kamu tidak stress, ya, Sil!" balasku berteriak. Huha ... pen ketawa melihat si Sisil ngamuk.Ibu-ibu mulai menyorakinya. Duh, kasihan sebenarnya melihat dia yang terzolimi. Namun, mau bagaimana lagi kita harus beri pelajaran pada wanita yang tidak tahu malu merebut suami orang."Kamu yang akan stress, karena suamimu kuambil." Dia belum menyerah."Lihat ibu-ibu
Darahku mendidih melihat Sisil yang menggendong Arvian. Dia terus tersenyum tanpa merasa bersalah sedikit pun. Dengan bangganya dia memamerkan dirinya di depan abang Brayen, dia seperti memenangkan permainan karena berhasil menggendong Arvian sebelum aku pulang. Dasar licik!"Ibu macam apa yang ninggalin anakanya," ucapnya. Dia benar-benar menguji iman. Suaranya terus memojokkanku."Ternyata kamu pintar, ya, Sil. Kalau begitu silahkan gendong Arvian sesuka hatimu." Dia kira aku akan melayaninya, tak peduli Aku berlalu meninggalkan mereka. Meski aku begitu jengkel dia menggendong Arvian.Abang Brayen tak banyak kata, dia menatapku sekilas. Namun, siapa sangka dia justru mengikutiku masuk ke kamar. Dasar aneh!"Darimana?" tanyanya pelan."Dari bunda," balasku. Daripada berbohong nanti ceritanya semakin panjang."Apa kamu tidak mendengarku?" tanyanya. Nada suaranya sedikit berbeda."Aku mendengarmu, makanya aku pulang." Aku membalas dengan nada yang sedikit nyeletuk."Apa maumu?""Menika
Kadang ... untuk bahagia saja terasa begitu sulit. Memimpikan hal yang indah nyatanya tak mudah. Aku justru merutuk diriku yang sejak dulu mencintainya tanpa batas waktu yang ditentukan. _Monica"Ada pasien, Dok." Perawat mengabariku. Pelayanan sudah mulai dibuka. perawat memberikanku beberapa rekam medis pasien yang datang hari ini."Baik, Sus. Silahkan suruh masuk."Salah satu hal yang kuhindari selama ini, menghindari tidak profesional ketika bekerja. Tak ada manusia yang tidak memiliki masalah dan aku yakin bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik.Sebagai spesialis anak, tentu banyak hal yang kudapatkan. Senyum tawa anak kecil yang biasanya kita dengar, tak sama jika melayani pasien. Tak sedikit air mata yang turun melihat anak-anak yang berjuang untuk sembuh. Hal itu kadang membuatku bersyukur memiliki Arvian yang sehat dan tak kurang satu apa pun. Melihat begitu banyaknya pasien, kadang sedikit membuatku tersadar bahwa setiap manusia diberi ujian sesuai porsinya. "Untuk mem
Wajah abang Brayen memerah melihatku yang dipegang Damar. Entahlah, aku merasa kali ini benar-benar sakit hati. Untuk apa mempertahankan pernikahan toxic ini. Pernikahan yang semkin lama menggerogot jiwa dan raga.Damar tetap pada pendiriannya, tak sedikit pun wajah ketakutan yang kulihat pada dirinya."Aku yang akan mempekerjakan Damar jika tuan pecat," ucapku sinis menatapnya."Jika aku memecatnya, maka kamu tidak perlu mempekerjakannya," jawabnya lagi."Siapa pun berhak mempekerjakan seseorang, seperti kamu yang gampang sekali membuat orang lain terluka." Kali ini dia kalah membalas ucapanku. Tanpa basa basi, dia menarikku ke ruangannya. Aku rasa dia sudah melampaui batas kali ini. Aku pun tak mau kali inj kalah dengannya, di depan orang banyak saja dia berani membela yang bukan istrinya. Tak peduli kutinggalkan dia bersama Mona. "Mau kemana?" tanyanya."Aku mau kembali ke ruangan," jawabku."Ikut denganku!" tegasnya. Dia tak menunggu jawaban dariku, dengan segera menarikku ke ru
Semakin hari kondisi Nina semakin sehat, dia terlihat lebih kuat dari sebelumnya. Ditambah dengan masalah yang menimpa Monica membuatnya semakin bijak dalam menyikapi setiap masalah. Selain itu, support dari Reza tak henti untuk Nina sendiri. "Makasih, Bang. Selalu ada untukku." Setiap sore Nina selalu dimanjakan oleh Reza. Kakinya selalu direndam dengan air hangat, walau sudah ada fasilitas lengkap di rumahnya, Reza tetap dengan sendiri merawat Nina. Seiring berjalan waktu dan semangat yang tak henti dari Reza, perlahan Nina bisa berjalan tanpa menggunakan alat bantuan."Alhamdulillah, semakin hari semakin banyak kemajuan, ya, Sayang," ucap Reza yang selalu tak henti memberi support untuk istrinya.Semakin menua Reza semakin mesra terhadap istrinya. Nina semakin mencintai suaminya, dibalik ketegasan yang dimiliki Reza, dia begitu setia dan tulus terhadap Nina. Tak pernah sedikit pun ada raut bosan atau mengeluh untuk merawat istrinya yang terkadang sedikit manja."Banyak hal yang k
Kabar Brayen yang akan menikah membuat hati Monica sedikit sakit, terlalu mendadak bagi dirinya mendengar kabar ini. Sisil pasti paling bahagia saat ini. Monica menahan napas berkali-kali tak menyangka secepat ini mereka akan menikah.“Aku tidak menyangka secepat ini, Dad.”Monica mengeluarkan isi hatinya, jujur meski dia sakit hati akibat ulah sikap Brayen yang semena-mena, tetapi didasar hatinya masih ada ruang cinta yang tak pudar meski sakit hati kerap ia rasakan.“Sabar, Nak. Bunda yakin kamu bisa melewatinya.” Nina ikut menasehati Monica.“Ini terlalu cepat, Bund.” Monica tergugu merasakan sakit hati yang luar biasa. Kabar Brayen yang akan melangsungkan pernikahan lusa dirasa begitu sangat cepat.“Aku kira tidak secepat ini, Bunda.” Monica sampai tak bisa berkata-kata, yang keluar dari mulutnya hanya ungkapan itu saja. Nina memeluk Monica sembari menenangkan putrinya. Dia pun tak menyangka Monica akan mengalami hal yang menyedihkan ini. Tidak mudah bagi sebagian perempuan untuk
Apakah aku harus mengacaukan acara pernikahan suamiku dengan Sisil hari ini? Aku merasa jika pernikahan ini setidaknya aku perjuangkan tanpa berdiam diri di sini, menunggu sesuatu yang tidak pasti. Hanya menerima kenyataan tanpa usaha sedikit pun.“Jangan Monica, itu terlalu beresiko.” Daddy melarangku. Wajar, aku akan masuk ke sarang orang yang pro dengan Sisil dan Brayen.“Lalu aku harus berdiam diri menerima kenyataan suamiku menikah, Dad. Sementara kita tahu ini bagian konspirasi dari mereka.” Aku berusaha menyakinkan daddy, walau kutahu dia pasti tak tega melihatku ke acara abang Brayen.“Iya, Bunda dukung kamu bergerak Monica, tetapi jangan sendiri.” Bunda mengingatkanku."Resikonya terlalu besar jika kamu sendiri," balas Daddy."Ajari Monica, Bang. Agar berusaha mempertahankan suaminya." Bunda tetap mendukungku, meski daddy ragu.Mendapat dukungan dari bunda semakin menguatkanku untuk merusak pernikahan abang Brayen dan Sisil. Aku tak akan menyesal seandainya gagal sekali pun.
"Monica!" "Nyonya!""Nyonya Monica, bangunlah!" Damar berteriak membuat kupingku terasa pecah.Asragfirullah, ternyata aku hanya mimpi. Aku bahkan menepuk pipiku. Begitu jelas sekali mimpi tadi ketika abang Brayen menceraikanku. Cukup lama aku termenung sendiri. Apakah itu yang akan kurasakan hari ini? Benar-benar seperti kenyataan."Astagfirullah, tidur kok pulas begitu!" tegas Mona yang ikut geram melihatku. Ternyata kami sudah sampai di lokasi. Mona sudah sedari tadi menunggu, tetapi aku tak kunjung keluar dari mobil. Mimpi itu sungguh menyeramkan menurutku."Tumben lihat orang tidur seperti itu," balas Damar."Aduh, maaf," jawabku. Kata orang mimpi buruk jangan diceritakan. Biarlah aku simpan sendiri, meski sebenarnya aku tak tahan ingin menceritakan kepada Mona. Namun, kutahan. Aku menghela napas panjang mengapa mimpi itu membuatku terasa nyata sekali."Sejak kapan aku tidur?" tanyaku pada Damar."Sejak masuk ke mobil dari butik, benar-benar menyebalkan," balas Damar. Diih, asis
Reza dilarikan ke rumah sakit karena ternyata Reza lemas dan mengalami sesak nafas. Kemungkinan yang terjadi karena Reza sempat emosi dan kepikiran Monica sehingga jantungnya kumat."Daddy kenapa, Bund.""Tiba-tiba lemas, padahal paginya daddy segar sekali.""Nafasnya naik turun, ya Allah bunda takut daddymu kenapa-kenapa." Nina menangis dipelukan Shaka. Monica yang mengira hanya chek up biasa ikut panik ketika dikabari abangnya jika Reza masuk ICU. Reza sampai tidak sadarkan diri menambah deretan kepanikan keluarganya."Bukannya tadi bunda bilang hanya chek up saja.""Iya, ternyata daddy lemas untung segera dilarikan ke rumah sakit.""Ya Allah Monica kira tidak separah ini." Terdengar suara serak Monica yang menangis mendengar Reza tidak sadarkan diri."Abang Brayen sudah menuju ke sana.""Iya, Dek. Kamu cepat ke sini," ucap Shaka yang meminta Monica langsung ke rumah sakit. Sementara Brayen shock melihat keadaan Reza, bayangan bersama ketika kecil membuat hati Brayen terenyuh dadd
Misiku kali ini bukan lagi untuk bersatu dengan abang Brayen, tapi memikirkan bagaimana agar abang Brayen bersama daddy seperti dulu lagi. Terkadang kita dipaksa kuat oleh keadaan dan dibuat ikhlas oleh kenyataan, jadi pandai-pandailah menjaga perasaan kita sendiri, karena disaat kita terpuruk, susah dan sedih tidak semua orang akan peduli. “Ikuti saja kata bunda, Dek. Sejauh mana kamu melangkah jika dia jodohmu pasti dia akan kembali mengejarmu.”“Iya, Bang.”“Abang yakin kamu bisa melewatinya, Dek. Demi daddy,” kata abang Shaka.“Makasih, Bang. Demi kalian semua.”Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. sakitnya daddy pasti jalan agar abang Brayen dan daddy bersatu kembali. Aku juga harus sadar jika usia daddy tidak muda lagi. Aku mau daddy di hari tuanya bahagia tanpa beban."Belajar untuk tidak terlalu berharap kepada siapapun kecuali Allah, karena harapan yang berlebihan kepada manusia hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri," ucap ababg Shaka memberi nasehat. "Saatnya kamu le
Reza kembali kumat, ternyata selama ini Reza ada riwayat jantung sehingga harus dikontrol minum obat setiap hari. Nina pun sadar semakin hari usia mereka sudah tidak muda lagi sehingga gampang sekali terkena penyakit.“Kasitahu anak-anak, Bang, kalau jantungmu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nina pada Reza yang terbaring. Nina sadar semenjak Monica gagal menikah lagi, suaminya–Reza sering sakit-sakitan. Dia merasa gagal sebagai orang tua.“Bang, coba diubah pola pikirnya bahwa tidak semua keinginan kita selalu sejalan.”“Iya, Sayang. Daddy baik-baik saja, Bund.”“Baik-baik bagaimana, kata dokter abang harus berobat intensif.” “Tenang saja, Bund. Semua pasti baik-baik saja,” kata Reza. Jauh dari lubuk hatinya sebenarnya dia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Shaka sudah bahagia dengan Gendhis. Sementara Monica masih dilema.“Apa abang memikirkan Monica?” tanya Nina. Dia penasaran akhir-akhir ini suaminya lebih pendiam.“Jangan dipendam, salah satu sumber penyakit adalah
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat