Beberapa kali Javas menengok pergelangan tangan. Sudah pukul sembilan malam, tapi Kavia belum pulang. Biasanya wanita itu selalu stand by di rumah ketika dirinya pulang. Namun, petang tadi wanita itu tidak kelihatan batang hidungnya di mana pun. Yang menyebalkan, pesan Javas belum terkirim, dan ketika menelepon Kavia di sana tidak mengangkatnya. Pikiran buruknya sudah berkeliaran sejak tadi. "Apa dia bersama lelaki brengsek itu?" gumamnya kesal. Bolak-balik dia menghubungi Kavia, tapi belum berhasil juga. "Awas aja kalau beneran lagi sama lelaki itu." Javas masih sibuk mengutak-atik ponsel ketika terdengar suara pintu dibuka. Dari ketukan kaki, dia bisa tahu kalau yang datang Kavia. Sengaja dirinya berdiam diri di sofa ruang tengah. Menunggu perempuan itu muncul. Tepat dugaannya. Kavia muncul tak lama kemudian. Namun wanita itu hanya melewatinya saja seolah dirinya yang segede gaban itu tak nampak. Kontan saja Javas berdiri dengan raut luar biasa kesal. "Dari mana aja kamu?!" tany
Javas menatap horor antrian sebuah restoran mie yang mengular hingga keluar. Dia baru saja sampai di pintu masuk parkir bersama Kavia, tapi melihat keadaan tempat yang ingin istrinya datangi membuat selera makannya lenyap. "Kavia, kamu yakin kita akan makan di sini?" tanya Javas tampak ragu. Dia tidak pernah melihat restoran yang antrinya persis seperti pembagian sembako gratis di kelurahan. "Yakin dong. Mie di sini enak. Levelnya banyak. Dan yang penting harganya sangat terjangkau." Kavia mengulum senyum dengan mata mengerling jahil. Untuk orang yang serba diberi kemudahan macam Javas, mengantri seperti ini pasti menjadi hal yang sangat menyebalkan. Dalam hati dia terkikik geli melihat tampang suaminya.Javas tidak ada pilihan lain selain mengikuti wanita itu. Dia sudah terlanjur berjanji akan menghabiskan waktu seharian untuk menemani Kavia. "Sayang, aku punya rekomendasi restoran mie terhebat yang nggak perlu antri kayak gini. Kamu pasti suka."Sembari tersenyum lebar Kavia mengg
"Kamu nggak mau bilang aku bego?" tanya Kavia ketika selesai menceritakan yang menjadi sebab kesedihannya. Dia masih merebahkan kepala di dada bidang Javas setelah percintaan hebatnya usai satu jam lalu. Ya, akhirnya keduanya mencari hotel terdekat setelah senja bergulung.Javas tidak memberi reaksi apa pun selama Kavia bercerita. Dia setia mendengar segala keluh kesah sang istri. Tidak ada tangisan seperti kemarin. Itu sudah membuktikan bahwa Kavia bisa cepat melalui ini. "Kenapa aku harus bilang kamu gitu?" tanya Javas balik. Hal yang baru dia suarakan setelahnya. "Soalnya Dian bilang begitu. Goblok, bego, bodoh." Kavia bisa merasakan usapan lembut tangan Javas pada punggungnya. "Hm. Dian hanya belum pernah merasakan apa yang kamu rasa.""Aku pikir juga gitu. Tapi... Aku emang bodoh sih. Bisa-bisanya tertipu begini." Javas bergerak mengecup puncak kepala Kavia. "Pria, sekalinya brengsek akan tetap brengsek. Setelah ini apa kamu mau percaya dia lagi seandainya kembali menghiba da
"Kamu mau makan sesuatu?" "Kamu butuh sesuatu?" "Kamu mau minum?" Hrrrgh~! Telinga Kavia rasanya mau pecah mendengar Athar terus menawarkan sesuatu padanya. Setelah keluar dari kamar tindakan dengan hasil CT scan yang mencengangkan, Kavia terpaksa harus menjalani operasi lantaran ada bagian tulang lengan yang mengalami keretakan. Dia baru dipindah ke ruang rawat inap ketika senja menjelang. Sialnya sampai sekarang Javas belum muncul juga. Sehingga Athar-lah yang terus menungguinya. Kavia sudah mengusir pria itu secara halus, tapi usahanya selalu gagal. "Aku cuma mau istirahat dengan tenang. Kamu bisa pergi kalau nggak mau diam." Kavia membuang napas kesal. Lalu bergerak miring ke sisi lengan yang tidak sakit. "Oke, kamu bisa istirahat. Aku duduk di sana. Kalau pengin sesuatu tinggal panggil." Kavia tidak menjawab. Dia tidak peduli. Mau seperhatian apa pun pria itu padanya, Kavia tetap menempatkan Athar ke daftar orang yang harus dihindari. Dia mencoba memejamkan mata setelah tida
Kavia menelan ludah saat ujung jarinya menyentuh sebuah garis tepat di bawah pusar sang suami. Garis yang dipenuhi bulu halus memanjang lurus hingga ke area intim. Ujung jarinya berlama-lama menyentuh di sana dan sedikit menggoda. Membuat Javas mengerang menahan sensasi geli. Dia masih menunggu apa yang akan wanita itu lakukan. Namun beberapa detik lamanya Kavia tak kunjung bertindak. Wanita itu sukses membuat Javas frustrasi. "Lama-lama ngilu kalau cuma kamu pandang begitu, Kavia." Bola mata biru itu melirik ke atas. Melihat wajah Javas yang memerah Kavia terkekeh. "Aku masih trauma," ujarnya lantas berdiri. Dia meminta Javas untuk membantu memakaikan arm sling kembali. Setelah itu dia membalikkan badan, menghadap dinding. Kepalanya menoleh melewati bahu ketika Javas menarik pinggulnya dan mendekat. "Sial, kamu benar-benar menggodaku, Kavia," umpat Javas menepuk kencang bokong Kavia, sebelum menggesek-gesekkan kejantanannya yang sudah mengacung sempurna. "Sebentar lagi dokter vi
Meski masih dalam kondisi sebelah tangan digips, Kavia tidak melewatkan jadwal treatment bulanannya. Saat ini saja dua orang tengah melakukan menicure dan pedicure ketika dirinya menunggu masker wajahnya kering. Daripada bergabung dengan anggota geng sosialita seperti saran Dian waktu itu, lebih baik menyenangkan diri sendiri. Seperti mengundang para terapis ke rumah misalnya. Kavia tidak perlu pengakuan dunia luar bahwa dirinya kaya. "Bu, ada tamu," beritahu suster yang merawat dirinya pasca keluar dari rumah sakit. "Siapa?" tanya Kavia seminimal mungkin menggerakkan bibir agar masker wajahnya tidak retak. "Katanya teman kuliah Ibu." Kalau tidak sedang memakai masker wajah, sudah pasti keningnya berkerut. Kecuali Dian tidak ada lagi teman kuliah yang tersisa saat ini. "Suruh masuk aja." "Baik, Bu." Kavia terpaksa meminta terapis itu membasuh mukanya. Padahal kalau itu beneran Dian, seharusnya wanita itu bisa langsung masuk saja. Terapis sedang menyeka wajahnya dengan handuk ker
Kavia menatap nanar ambulans yang bergerak menjauhi rumah. Sebuah handuk besar menutupi tubuhnya yang basah. Sementara lengan kokoh Javas merangkul bahunya begitu erat. Ambulans baru saja membawa Jemma pergi. Wanita itu mengalami pendarahan yang lumayan hebat akibat jatuh terpeleset. Kavia sendiri hampir saja kehabisan napas jika Javas tidak segera datang di saat yang tepat. Javas baru saja menginjak lantai rumah ketika jeritan Bi Rami terdengar. Secepat kilat pria itu menerjang pintu dan langsung melesat ke taman belakang rumah. Jika tidak segera meloncat ke kolam renang entah apa yang terjadi pada istrinya. Dalam keadaan normal wanita itu bisa saja menyelamatkan diri. Kemampuan renang Kavia tidak diragukan lagi. Hanya saja syok dan ditambah kondisi lengan yang masih belum boleh banyak bergerak membuatnya tidak bisa berenang secara maksimal. Di saat dirinya kehabisan tenaga, sebuah lengan merangkulnya. Kondisi Kavia makin lemah ketika melihat Jemma terbujur tidak sadarkan diri. Rem
Kontras dengan Kavia yang tetap diam, Javas sebaliknya. Di mobil dalam perjalanan pulang, pria itu terus saja mengomel dan mengutuk kelakuan mantan pacar istrinya. Javas kesal luar biasa. Jika tidak mengingat mereka ada di rumah sakit, mungkin Fabby sudah babak belur. Pukulannya yang tadi belum seberapa. Tapi Javas yakin tulang hidung si brengsek itu pasti berhasil dia patahkan. "Kenapa kamu diam? Jangan bilang kamu lagi mikirin kata-kata bajingan itu," tanya Javas lantas berdecih sambil membuang muka. Kavia tidak menjawab, keningnya berkerut tak suka. "Kamu masih mau balikan sama dia? Sulit dipercaya." Javas menggeleng tak habis mengerti. "Cinta buta benar-benar ada ternyata.""Ngomong apa sih?" Kavia mendengus kesal. Sejak tadi dia sedang berusaha menulikan telinga mendengar Javas mengomel. "Siapa juga yang mau balikan sama dia?" Seringai kecil Javas terbit. Matanya bergerak meremehkan. "Bisa-bisanya dia memberitahu akan bercerai di saat istrinya sedang butuh pendampingan. Bajin