"Kamu mau makan sesuatu?" "Kamu butuh sesuatu?" "Kamu mau minum?" Hrrrgh~! Telinga Kavia rasanya mau pecah mendengar Athar terus menawarkan sesuatu padanya. Setelah keluar dari kamar tindakan dengan hasil CT scan yang mencengangkan, Kavia terpaksa harus menjalani operasi lantaran ada bagian tulang lengan yang mengalami keretakan. Dia baru dipindah ke ruang rawat inap ketika senja menjelang. Sialnya sampai sekarang Javas belum muncul juga. Sehingga Athar-lah yang terus menungguinya. Kavia sudah mengusir pria itu secara halus, tapi usahanya selalu gagal. "Aku cuma mau istirahat dengan tenang. Kamu bisa pergi kalau nggak mau diam." Kavia membuang napas kesal. Lalu bergerak miring ke sisi lengan yang tidak sakit. "Oke, kamu bisa istirahat. Aku duduk di sana. Kalau pengin sesuatu tinggal panggil." Kavia tidak menjawab. Dia tidak peduli. Mau seperhatian apa pun pria itu padanya, Kavia tetap menempatkan Athar ke daftar orang yang harus dihindari. Dia mencoba memejamkan mata setelah tida
Kavia menelan ludah saat ujung jarinya menyentuh sebuah garis tepat di bawah pusar sang suami. Garis yang dipenuhi bulu halus memanjang lurus hingga ke area intim. Ujung jarinya berlama-lama menyentuh di sana dan sedikit menggoda. Membuat Javas mengerang menahan sensasi geli. Dia masih menunggu apa yang akan wanita itu lakukan. Namun beberapa detik lamanya Kavia tak kunjung bertindak. Wanita itu sukses membuat Javas frustrasi. "Lama-lama ngilu kalau cuma kamu pandang begitu, Kavia." Bola mata biru itu melirik ke atas. Melihat wajah Javas yang memerah Kavia terkekeh. "Aku masih trauma," ujarnya lantas berdiri. Dia meminta Javas untuk membantu memakaikan arm sling kembali. Setelah itu dia membalikkan badan, menghadap dinding. Kepalanya menoleh melewati bahu ketika Javas menarik pinggulnya dan mendekat. "Sial, kamu benar-benar menggodaku, Kavia," umpat Javas menepuk kencang bokong Kavia, sebelum menggesek-gesekkan kejantanannya yang sudah mengacung sempurna. "Sebentar lagi dokter vi
Meski masih dalam kondisi sebelah tangan digips, Kavia tidak melewatkan jadwal treatment bulanannya. Saat ini saja dua orang tengah melakukan menicure dan pedicure ketika dirinya menunggu masker wajahnya kering. Daripada bergabung dengan anggota geng sosialita seperti saran Dian waktu itu, lebih baik menyenangkan diri sendiri. Seperti mengundang para terapis ke rumah misalnya. Kavia tidak perlu pengakuan dunia luar bahwa dirinya kaya. "Bu, ada tamu," beritahu suster yang merawat dirinya pasca keluar dari rumah sakit. "Siapa?" tanya Kavia seminimal mungkin menggerakkan bibir agar masker wajahnya tidak retak. "Katanya teman kuliah Ibu." Kalau tidak sedang memakai masker wajah, sudah pasti keningnya berkerut. Kecuali Dian tidak ada lagi teman kuliah yang tersisa saat ini. "Suruh masuk aja." "Baik, Bu." Kavia terpaksa meminta terapis itu membasuh mukanya. Padahal kalau itu beneran Dian, seharusnya wanita itu bisa langsung masuk saja. Terapis sedang menyeka wajahnya dengan handuk ker
Kavia menatap nanar ambulans yang bergerak menjauhi rumah. Sebuah handuk besar menutupi tubuhnya yang basah. Sementara lengan kokoh Javas merangkul bahunya begitu erat. Ambulans baru saja membawa Jemma pergi. Wanita itu mengalami pendarahan yang lumayan hebat akibat jatuh terpeleset. Kavia sendiri hampir saja kehabisan napas jika Javas tidak segera datang di saat yang tepat. Javas baru saja menginjak lantai rumah ketika jeritan Bi Rami terdengar. Secepat kilat pria itu menerjang pintu dan langsung melesat ke taman belakang rumah. Jika tidak segera meloncat ke kolam renang entah apa yang terjadi pada istrinya. Dalam keadaan normal wanita itu bisa saja menyelamatkan diri. Kemampuan renang Kavia tidak diragukan lagi. Hanya saja syok dan ditambah kondisi lengan yang masih belum boleh banyak bergerak membuatnya tidak bisa berenang secara maksimal. Di saat dirinya kehabisan tenaga, sebuah lengan merangkulnya. Kondisi Kavia makin lemah ketika melihat Jemma terbujur tidak sadarkan diri. Rem
Kontras dengan Kavia yang tetap diam, Javas sebaliknya. Di mobil dalam perjalanan pulang, pria itu terus saja mengomel dan mengutuk kelakuan mantan pacar istrinya. Javas kesal luar biasa. Jika tidak mengingat mereka ada di rumah sakit, mungkin Fabby sudah babak belur. Pukulannya yang tadi belum seberapa. Tapi Javas yakin tulang hidung si brengsek itu pasti berhasil dia patahkan. "Kenapa kamu diam? Jangan bilang kamu lagi mikirin kata-kata bajingan itu," tanya Javas lantas berdecih sambil membuang muka. Kavia tidak menjawab, keningnya berkerut tak suka. "Kamu masih mau balikan sama dia? Sulit dipercaya." Javas menggeleng tak habis mengerti. "Cinta buta benar-benar ada ternyata.""Ngomong apa sih?" Kavia mendengus kesal. Sejak tadi dia sedang berusaha menulikan telinga mendengar Javas mengomel. "Siapa juga yang mau balikan sama dia?" Seringai kecil Javas terbit. Matanya bergerak meremehkan. "Bisa-bisanya dia memberitahu akan bercerai di saat istrinya sedang butuh pendampingan. Bajin
"Kamu bisa membedakan mereka?" tanya Kavia menunjuk para wanita yang berjalan di depannya dengan kedikan dagu. Mereka para turis asia seperti dirinya dan Javas. Para wanita cantik di luar nalar itu hanya mengenakan bikini tanpa kain apa pun. Berhaha-hihi sambil tebar pesona saat berpapasan dengan pria-pria bule Amerika Latin di pantai eksotik yang saat ini Kavia kunjungi. Meski begitu Kavia sangat tahu mereka itu bukan wanita tulen. "Hampir sulit dibedakan. Temanku bahkan pernah tertipu. Dia hampir menikahi seorang transgender dari Kamboja," timpal Javas. Kacamata hitam terpasang sempurna di hidungnya yang bangir. "Katanya sih servis di ranjang lebih sangar daripada wanita tulen." "Kamu percaya?" Kavia menengok suaminya. Seperti halnya para wanita lain di pantai ini, dia pun mengenakan bikini. Bikini berwarna kuning yang membuat Javas sempat hampir tersandung kaki sendiri saat pertama kali melihatnya. Hanya saja, ada kain yang menyampir di bagian pinggangnya."Nggak sih. Sejauh in
Ujung mata Kavia cuma melirik kedatangan Javas. Tanpa berniat menyapa apalagi mengajak ngobrol wanita itu beringsut mengubah posisi tidur menjadi miring ke samping. Dia masih kesal dengan kejadian sore kemarin. Si brengsek itu membuatnya terpaksa menyenangkan diri sendiri. Berjuta permohonan maaf yang Javas udarakan semalaman, dia abaikan begitu saja. Bahkan Kavia beranjak lebih dulu tidur. Kavia merasakan sisi tempat tidurnya yang kosong melesak. Wanita itu tidak peduli dengan pergerakan Javas yang menganggu itu."Nggak baik loh marah sama suami lama-lama." Bodo amat! Kavia memejamkan mata. Pura-pura tidak dengar. Lalu ketika lengan Javas menyusup untuk memeluk pinggangnya, wanita itu menyentaknya. "Aku janji hari ini bakal ngasih kamu performa yang terbaik." Kembali Javas mengulurkan tangan, memeluk. Namun lagi-lagi Kavia menyentaknya. Javas menghela napas panjang, lalu mengembuskannya dengan kasar. Semalam pun, dia tidak diizinkan menyentuh wanita itu. Ketika masih tidak ada re
"Masih tetep lebih cantik yang asli." Javas masih sibuk melihat hasil bidikan kameranya. Entah sudah berapa foto Kavia yang diambil hari ini. Hobi baru yang menyenangkan. Kadang dia pun mengambil foto istrinya secara diam-diam agar tampak natural. Namun sialnya Kavia selalu saja terlihat cantik meskipun sedang tidur dengan mulut terbuka. "Coba aku lihat. Dari kemarin kamu foto-foto apaan sih." Kavia mendekati Javas yang duduk di bawah payung lebar. "Ya foto kamulah, foto apa lagi?" Kavia duduk berdekatan dengan Javas. Ikut melihat yang sejak tadi suaminya tekuri. Saking dekatnya lengan mereka saling bergesekan. "Buat apa sih ngambil foto aku sebanyak itu?" "Suka aja. Kamu cantik jadi wajib diabadikan," sahut Javas sambil terus scrolling gambar."Lugas banget ngatain aku cantik." Javas orang yang terlalu terus terang kalau memuji. Tidak segan sama sekali. Namun Kavia cukup kebal soal pujian mengenai fisiknya. "Asal nggak jadi bahan fantasi aja." "Mungkin iya kalau kita lagi jauh
Selagi Karel tenang bermain bersama Kakek Javendra dan para asisten, Kavia dan Javas melipir ke arena berkuda. Kavia kangen menunggangi Evelyn. Kuda betina putih itu terawat dengan sangat baik saat Kavia melihatnya. Hewan tangguh berkaki empat itu ternyata masih mengenali wanita itu dengan baik. "Sayang! Ayo cepat!" teriak Javas di atas kudanya. Kavia melambaikan tinggi tangannya ke arah Javas, lalu bergerak menaiki pelana kuda. "Evelyn, kita susul suamimu sekarang," ujar Kavia sambil mengusap pelan leher betina tangguh yang dia tunggangi. Dengan cepat dia pun memacu kudanya menyusul Javas. Keduanya mengendarai kuda-kuda itu mengelilingi tanah lapang. Melewati penangkaran rusa milik Kakek, dan sebuah danau buatan yang dipenuhi angsa putih. Pohon-pohon rindang masih tumbuh dengan subur di beberapa area. Setelah beberapa lama saling berkejaran dengan Javas, Kavia menghentikan kudanya di dekat pepohonan yang tumbuh di tepi danau. "Kayak udah lama banget nggak ke sini. Aku kangen men
"Semua yang ada di sini kelak akan menjadi milikmu, Nak." Mata tua Javendra mengedar. Melihat betapa luasnya tanah yang dia miliki. Belum lagi rumah yang dia huni. Rumah kebanggaannya yang sampai saat ini masih eksis di pinggiran kota. Rumah masa depan yang sebenarnya dulu dia siapkan untuk putranya, Ravendra. "Mau bagaimana lagi? Papamu nggak mau menempati rumah ini dan memiliki rumah sendiri. Jadi rumah ini akan kakek wariskan padamu." Javendra terus mengajak Karel ngobrol. Seolah bayi sembilan bulan itu paham apa yang dia bicarakan. "Malah sekarang papamu beli rumah baru. Padahal apa salahnya tinggal di sini sama kakek. Iya kan? Toh rumah ini nanti bakal jadi milik kamu." Tidak jauh dari tempat pria tua itu, Kavia menggeser duduk memepet suaminya dan berbisik. "Kakek kenapa?" "Dia lagi jadi pemeran utama drama keluarga," sahut Javas asal, yang langsung mendapat pukulan ringan di lengan kanannya. Dia mengaduh sambil mengusap lengannya. "Apa sih, Yang? Aku ngomong bener kok."
"Dia sudah nggak bekerja di anak cabang HYOT lagi." Kabar itu membuat Kavia yang sudah merebah segera mengangkat badannya lagi. "Sejak kapan?" Javas mengangkat bahu. "Kamu peduli banget?" Alis tebalnya tertaut. Agak tidak suka istrinya makin kepo. "Bukan peduli, tapi setahuku dia dulu berjuang banget buat dapat posisi bagus di perusahaan tempatnya bekerja." "Mungkin dia dapat tawaran yang lebih bagus." "Mungkin gara-gara dia dimutasi ke luar pulau." Javas menghela napas panjang lalu menarik tangan Kavia agar bergerak memeluknya. "Kenapa sih bahas mantan terus? Kamu nggak ada rencana buat ketemuan lagi kayak dulu kan?" Kavia mesem-mesem tak jelas mendengar pertanyaan Javas. Ekpresi dan cara bicara pria itu membuat Kavia makin merasa dicintai. Mungkin jika pertanyaan itu terlontar saat mereka masih belum menyadari perasaan masing-masing, Kavia bakal jawab iya-iya aja. Javas menjauhkan diri dan menatap Kavia. "Kok malah senyum-senyum?" Matanya refleks memelotot. "Jangan bilang ka
"Aku di farmer market. Kalian langsung ke sini aja ntar." "Oke. Kami masih di jalan. Tungguin kami ya, Macan.... " Kavia tersenyum mendengar suara Javas di seberang sana. Tangannya masih sibuk memilih buah pear di rak. "Oke, aku tutup dulu ya. Hati-hati, nggak usah ngebut." Tidak lama, dia mematikan panggilan dari suaminya itu dan kembali melanjutkan memilih buah segar yang tertata rapi di rak. Akhir-akhir ini Kavia senang membuat salad buah. Stok salad di kulkas cepat habis karena ternyata Javas juga menyukai salad buatannya itu. Senyumnya kembali merekah saat melihat rak bagian apel. Apel adalah buah yang wajib ada di rumah lantaran buah itu menjadi salah satu favoritnya. Mata Kavia tertarik dengan apel bulat yang terletak di tumpukan paling atas. Kulitnya mengkilat dan terlihat besar. Namun saat tangannya terjulur untuk meraih buah tersebut, tangan lain lebih dulu melakukannya. Sehingga tanpa sengaja tangannya menangkup tangan orang itu. Kavia refleks menarik tangannya. "Maaf.
"Astagfirullah, suami orang ganteng banget!" Jeritan tertahan itu keluar dari bibir mungil wanita gemoy saat melihat Javas turun dari anak tangga sambil membawa Karel di gendongannya. Kavia di sebelahnya hanya menggeleng melihat muka mupeng sahabatnya itu. Sementara tangannya masih sibuk mempreteli buah anggur dari tangkainya. Javas tanpa atasan memang menggoda iman. Belum lagi tato besar di bahu hingga lengannya, menambah kesan maskulinnya yang menonjol. Memamerkan bentuk tubuhnya yang seksi itu sudah menjadi kebiasaannya jika berada dalam rumah. Kavia saja yang tiap hari melihat masih bisa terbuai, apalagi Dian? "Laki lo benar-benar hot daddy banget.""Ck!" Kavia melirik sekilas dengan tatapan sebal, namun yang ditatap malah terkikik. "Dia kelihatan sayang banget sama Karel. Gue mau dong satu yang begitu." Bibir Dian mencebik memandang Javas dengan tatapan penuh damba. "Cari coba di pasar loak," sahut Kavia asal. Sejurus kemudian dia mengaduh karena dapat cubitan manis dari Dia
"Sofa baru?" Kavia dan Javas saling pandang sesaat ketika melihat orang-orang suruhan Daniel mengangkut sebuah sofa yang masih terbungkus rapi dengan plastik. Orang-orang itu membawa sofa dengan kelir merah hati itu ke dalam rumah. "Pas kan diletakkan di ruang tamu kalian?" Daniel tersenyum bangga. "Ini papi impor langsung dari Italy loh. Masih satu produk sama sofa di rumah papi." "Harusnya papi nggak perlu repot-repot begini," ujar Javas meringis. Insiden sofa masih menjadi momok buat pria itu. Gara-gara itu pula, Kavia belum mau mengisi ruang tamu barunya. "Sama sekali nggak repot. Anggap aja ini hadiah buat rumah baru kalian. Iya kan, Baby?" Daniel tersenyum sambil menatap istrinya. "Iya. Toh kami nggak bisa ngasih apa-apa selain ini," timpal Delotta sambil mengusap lengan Daniel. "Memang aku nggak tau kalau papi ngasih harga diskon rumah ini sampe 50 persen?" tukas Kavia yang langsung membuat mata Javas melebar. "Harga rumah ini sebenarnya 10M kan? Aku sempat nanya kok sama
Kecuali barang-barang yang ada di kamar Karen, tidak ada lagi barang yang Kavia bawa dari rumah Javas. Rumah dan isinya ditinggalkan begitu saja seolah sudah tidak berguna lagi. Bahkan ketika Javas meminta alat-alat gym untuk ikut dipindahkan, Kavia menolak tegas. "Nggak bisa. Siapa yang jamin alat-alat itu streril dari kalian?" Penolakan Kavia membuat Javas menganga tak percaya. "Ya ampun, Sayang. Kami nggak melakukan sampai sejauh itu. Rumah itu masih dalam keadaan kosong waktu itu. Ak—" Ucapan Javas kontan terhenti ketika dengan cepat Kavia mengangkat tangannya. "Aku nggak mau dengar dongeng jadul percintaan kamu lagi. Oh ya, soal sofa di ruang tamu itu, udah aku bakar." "Apa? Itu sofa bisa kita jual buat beli yang baru kalau kamu nggak mau pake lag—" Kembali Javas merapatkan mulut saat Kavia melotot padanya. "Oke, terserah kamu," lanjutnya pasrah. Benar-benar sudah tidak ada lagi yang bisa dia selamatkan. Dia menatap rumah besar kebanggaannya dengan pandangan merana. Ruma
Mata Kavia berbinar saat melihat Javas sudah ada di kamar ketika dia datang. Seperti malam kemarin, pria itu masih membaca buku yang sama sebelum tidur. Buku tentang ilmu parenting. Alih-alih Kavia, malah Javas yang gencar belajar soal parenting, padahal siangnya pria itu masih berjibaku dengan tumpukan pekerjaan. Kavia mengambil sebuah flyer dari dalam tas. Flyer yang sengaja dia bawa dari kantor papinya. Dengan senyum yang dibuat semelengkung mungkin, wanita itu menghampiri Javas yang masih terlihat fokus. "Pa," panggilnya lirih sembari beranjak duduk di sisi Javas. "Hm." "Lihat ini deh."Pandangan Javas langsung teralihkan sesaat. Matanya melirik benda yang Kavia bawa. "Apa tuh?" tanya dia sebelum balik lagi ke bacaannya. "Ini flyer perumahan elite terbarunya Blue Jagland. Proyek milik Mas Gyan."Javas hanya mengangguk-angguk. Matanya masih lurus menatap barisan huruf di depannya. "Hunian kelas atas yang cuma ada 10 unit. Lokasinya juga nggak jauh dari kantor kamu. Strategis
Kavia membuka pintu kamar dengan pelan. Takut mengganggu dua anak dan ayah yang sedang terlelap dengan tenang. Hampir-hampir dia tertawa melihat posisi Karel yang tidur terlentang dengan tangan dan kaki yang merentang. Salah satu kakinya bahkan mengenai wajah Javas lantaran posisi tidurnya berlawanan arah dengan papanya. Javas sendiri terlihat sangat lelah. Mukanya kucel, ada beberapa stiker yang menempel di wajahnya. Rambutnya bahkan acak-acakan tak karuan. Kavia mendekati pria itu dengan hati-hati lantas berjongkok tepat di dekatnya. Tangannya terulur, mengusap wajah Javas. "Sayang, banguuun," bisiknya pelan, tepat di dekat telinga Javas. Hanya satu kali tiupan ringan, mata Javas langsung memicing. Pria itu terjaga dengan segera, dan agak terkejut menemukan kaki Karel ada di depan mulutnya. "Astaga," desahnya lirih. Membuat Kavia kontan terkikik pelan. Dengan hati-hati, Javas menyingkirkan kaki Karel sebelum beringsut. "Kamu baru pulang?" tanyanya setelah berhasil bangkit dari a