Ujung mata Kavia cuma melirik kedatangan Javas. Tanpa berniat menyapa apalagi mengajak ngobrol wanita itu beringsut mengubah posisi tidur menjadi miring ke samping. Dia masih kesal dengan kejadian sore kemarin. Si brengsek itu membuatnya terpaksa menyenangkan diri sendiri. Berjuta permohonan maaf yang Javas udarakan semalaman, dia abaikan begitu saja. Bahkan Kavia beranjak lebih dulu tidur. Kavia merasakan sisi tempat tidurnya yang kosong melesak. Wanita itu tidak peduli dengan pergerakan Javas yang menganggu itu."Nggak baik loh marah sama suami lama-lama." Bodo amat! Kavia memejamkan mata. Pura-pura tidak dengar. Lalu ketika lengan Javas menyusup untuk memeluk pinggangnya, wanita itu menyentaknya. "Aku janji hari ini bakal ngasih kamu performa yang terbaik." Kembali Javas mengulurkan tangan, memeluk. Namun lagi-lagi Kavia menyentaknya. Javas menghela napas panjang, lalu mengembuskannya dengan kasar. Semalam pun, dia tidak diizinkan menyentuh wanita itu. Ketika masih tidak ada re
"Masih tetep lebih cantik yang asli." Javas masih sibuk melihat hasil bidikan kameranya. Entah sudah berapa foto Kavia yang diambil hari ini. Hobi baru yang menyenangkan. Kadang dia pun mengambil foto istrinya secara diam-diam agar tampak natural. Namun sialnya Kavia selalu saja terlihat cantik meskipun sedang tidur dengan mulut terbuka. "Coba aku lihat. Dari kemarin kamu foto-foto apaan sih." Kavia mendekati Javas yang duduk di bawah payung lebar. "Ya foto kamulah, foto apa lagi?" Kavia duduk berdekatan dengan Javas. Ikut melihat yang sejak tadi suaminya tekuri. Saking dekatnya lengan mereka saling bergesekan. "Buat apa sih ngambil foto aku sebanyak itu?" "Suka aja. Kamu cantik jadi wajib diabadikan," sahut Javas sambil terus scrolling gambar."Lugas banget ngatain aku cantik." Javas orang yang terlalu terus terang kalau memuji. Tidak segan sama sekali. Namun Kavia cukup kebal soal pujian mengenai fisiknya. "Asal nggak jadi bahan fantasi aja." "Mungkin iya kalau kita lagi jauh
Meskipun pernah tinggal di Benua Amerika, Kavia belum pernah menginjakkan kakinya ke negara ini. Negara nyentrik yang di dalamnya terdapat banyak mobil klasik. Termasuk mobil yang sekarang sedang dia naiki bersama Javas. Sejauh mata memandang bangunan khas kolonial Spanyol mendominasi kota yang sedang dia singgahi ini. Sebenarnya Havana tidak ada dalam itinerary liburan mereka, tapi beberapa hari setelah sampai, Javas tiba-tiba mengajak mampir ke sana. Ada seseorang yang ingin dia kenalkan kepada Kavia katanya. Namun begitu, alih-alih langsung bertemu orangnya Javas membawa Kavia ke hotel tua di kota La Habana. Hotel dengan bangunan klasik yang dia bilang sudah berumur 150 tahun, tapi fasadnya masih terlihat begitu indah. Bangunan di dalamnya sangat terawat. Dan begitu masuk, Kavia merasa tengah berada di jaman abad ke-18. "Aku kira kita bakal langsung ketemu teman kamu itu," ujar Kavia sambil meletakkan tasnya di atas ranjang tidur. Warna kuning gading mendominasi kamar yang dia t
Tinggi ala-ala model Amerika, hidung lancip dengan dagu runcing. Memiliki bola mata bulat dan pupil legam. Jika Kavia berkulit putih bersih, Ameera Woods memiliki tone kulit eksotis. Kavia yakin itu dihasilkan dari taning alami. Tapi tidak dia pungkiri, Ameera Woods cantik. Benar-benar cantik. Tidak heran kalau Javas tidak mau berhubungan dengan siapa pun setelah putus dari wanita itu. "Berapa tahun kita nggak bertemu?" tanya Ameera kepada Javas. Setelah pertunjukan fashionnya selesai dan dinobatkan menjadi model paling trendy malam ini, Ameera langsung menemui Javas. "Five years maybe." "Dan aku benar-benar nggak nyangka kamu memenuhi undanganku malam ini." "Kebetulan kami sedang ada di dekat sini. Jadi, sekalian." Kavia hanya memperhatikan keduanya berinteraksi tanpa bereaksi. Dan sepertinya Ameera juga tidak peduli dengan kehadirannya. Dia lebih fokus kepada Javas. Mungkin wanita itu pikir yang di samping Javas itu patung. "Kamu tahu seberapa kangen aku sama kamu? Well, kita
"Javas!" Jeritan itu terdengar lagi kala Javas menghujamkan dirinya begitu dalam dan liar. Bahu dan punggung pria itu memerah akibat cakaran kuku-kuku tajam wanita itu. Malam ini dia seakan tidak memberi ampun. Emosinya menggelegak dan dia melampiaskan pada wanita itu. "Aku capek. Aku nggak kuat lagi."Rintihan itu sama sekali tidak membuat Javas iba. Dia malah makin mengentak dan membenamkan diri. Seakan-akan dahaganya belum cukup terobati. "Sebentar lagi, Sayang," erang Javas seraya terus mengecup basah area leher dan dada wanita itu. Meninggalkan banyak bercak merah sebagai tanda kepemilikan. "Masih ada hari esok." Wanita di bawahnya terus memohon. Sebenarnya dia menikmati ini, tapi tubuhnya benar-benar lelah. Puncaknya dia tidak melakukan gerakan apa pun selain menerima apa yang Javas lakukan. Entah tepatnya kapan permainan hebat itu berakhir. Yang jelas ketika dia bangun siang harinya, lengan kokoh Javas masih melingkari perutnya dengan erat. Sementara tubuhnya benar-benar
Sebelum kembali ke Indonesia, Javas menyempatkan diri mampir ke Doha. Beberapa hari menginap di sana untuk menikmati canggihnya negara timur tengah itu. Sayang jika hadiah liburan Doha dari Athar tidak dimanfaatkan dengan baik. "Apa HYOT ada di salah satu gedung megah itu?" tanya Kavia ketika mereka jalan-jalan sore di Corniche—kawasan pejalan kaki tepi laut di Doha yang membentang sepanjang Teluk Persia. Deretan gedung megah pencakar langit bersanding dengan perairan Arab yang tenang membuat tempat itu ramai dikunjungi. "Kantornya ada di sana. Tapi pabrik kami ada di Ar-Rayyan Mau berkunjung ke sana?" Kavia menggeleng. "Cukup melihatnya dari jauh kayak gini aja. Aku nggak mau lihat kamu dalam mode kerja," ujar Kavia sambil mengulum senyum. Dia menggaet lengan Javas. "Aku lapar." "Huum, aku perhatikan kamu sekarang jadi sering lapar." "Mau gimana lagi? Energiku terkuras habis buat muasin kamu terus." Mata biru Kavia melirik pria di sebelahnya sehingga membuat Javas tak tahan untuk
"Mamiiiii~" Seruan bernada itu terdengar di ruang tengah rumah besar Daniel Jagland. Ketukan heels yang menyentuh lantai marble ikut menggema nyaring. Kavia yang tengah menenteng banyak tas belanjaan celingukan menyaksikan ruang tengah yang biasanya riuh tampak kosong. "Ke mana perginya semua orang? Mi! Pi! Olaaa! Mbak datang nih." Tidak berapa lama dari lantai dua gadis cantik dengan warna rambut legam muncul. Senyumnya menyungging amat lebar ketika melihat Kavia dari atas. "Mbak!" serunya girang, membuat Kavia refleks mendongak ke atas. Kavia melihat Ola ada di lantai dua. Menyusul kemudian Bumi yang dikenal sebagai asisten pribadi Daniel ikut muncul. "Dek! Turun sini! Mbak sama Mas Javas bawa banyak oleh-oleh nih!" Tanpa pikir panjang putri bungsu Daniel itu segera turun. "Ayo, Kak Bumi, kita turun!" Ola menggaet lengan asisten Daniel sampai yang empunya lengan terkejut dan gugup. Gadis itu menuruni anak tangga sembari menyeret lengan Bumi. "Cieee, yang baru pulang dari hon
"Kapan Papi akan berhenti ngobrolin kerjaan sama Javas?" Dua pria beda generasi yang tengah terlibat obrolan serius itu menoleh ketika mendapati suara bernada kesal itu. Daniel tersenyum ketika dengan wajah bersungut-sungut anak keduanya mendekat. Sementara Javas di depannya hanya sedikit mengangkat sudut bibir begitu melihat sang istri datang. "Ini soal serius, Baby," sahut Daniel menyambut Kavia. Tangannya terulur, meminta putrinya itu duduk di sebelahnya. "Baby lagi." Kavia memutar bola mata. Biasanya yang selalu protes dipanggil 'baby' itu Ola. Lantaran tidak mau disamakan dengan panggilan ke ibunya. "Proyek apa yang sedang kalian bahas?" "Papi lagi membahas proyek pembangunan gedung perkantoran baru dan juga apartemen milik HYOT." Mata biru Kavia melirik ke arah suaminya. "Kamu mau jadi developer?" "Nggak juga sih. Aku cuma investasi doang. Semuanya tetap milik papi kamu." "Sahamnya?" "Jelas ada dong, Sayang," sambut Daniel seraya melirik menantunya sembari melempar senyu