Sebelum kembali ke Indonesia, Javas menyempatkan diri mampir ke Doha. Beberapa hari menginap di sana untuk menikmati canggihnya negara timur tengah itu. Sayang jika hadiah liburan Doha dari Athar tidak dimanfaatkan dengan baik. "Apa HYOT ada di salah satu gedung megah itu?" tanya Kavia ketika mereka jalan-jalan sore di Corniche—kawasan pejalan kaki tepi laut di Doha yang membentang sepanjang Teluk Persia. Deretan gedung megah pencakar langit bersanding dengan perairan Arab yang tenang membuat tempat itu ramai dikunjungi. "Kantornya ada di sana. Tapi pabrik kami ada di Ar-Rayyan Mau berkunjung ke sana?" Kavia menggeleng. "Cukup melihatnya dari jauh kayak gini aja. Aku nggak mau lihat kamu dalam mode kerja," ujar Kavia sambil mengulum senyum. Dia menggaet lengan Javas. "Aku lapar." "Huum, aku perhatikan kamu sekarang jadi sering lapar." "Mau gimana lagi? Energiku terkuras habis buat muasin kamu terus." Mata biru Kavia melirik pria di sebelahnya sehingga membuat Javas tak tahan untuk
"Mamiiiii~" Seruan bernada itu terdengar di ruang tengah rumah besar Daniel Jagland. Ketukan heels yang menyentuh lantai marble ikut menggema nyaring. Kavia yang tengah menenteng banyak tas belanjaan celingukan menyaksikan ruang tengah yang biasanya riuh tampak kosong. "Ke mana perginya semua orang? Mi! Pi! Olaaa! Mbak datang nih." Tidak berapa lama dari lantai dua gadis cantik dengan warna rambut legam muncul. Senyumnya menyungging amat lebar ketika melihat Kavia dari atas. "Mbak!" serunya girang, membuat Kavia refleks mendongak ke atas. Kavia melihat Ola ada di lantai dua. Menyusul kemudian Bumi yang dikenal sebagai asisten pribadi Daniel ikut muncul. "Dek! Turun sini! Mbak sama Mas Javas bawa banyak oleh-oleh nih!" Tanpa pikir panjang putri bungsu Daniel itu segera turun. "Ayo, Kak Bumi, kita turun!" Ola menggaet lengan asisten Daniel sampai yang empunya lengan terkejut dan gugup. Gadis itu menuruni anak tangga sembari menyeret lengan Bumi. "Cieee, yang baru pulang dari hon
"Kapan Papi akan berhenti ngobrolin kerjaan sama Javas?" Dua pria beda generasi yang tengah terlibat obrolan serius itu menoleh ketika mendapati suara bernada kesal itu. Daniel tersenyum ketika dengan wajah bersungut-sungut anak keduanya mendekat. Sementara Javas di depannya hanya sedikit mengangkat sudut bibir begitu melihat sang istri datang. "Ini soal serius, Baby," sahut Daniel menyambut Kavia. Tangannya terulur, meminta putrinya itu duduk di sebelahnya. "Baby lagi." Kavia memutar bola mata. Biasanya yang selalu protes dipanggil 'baby' itu Ola. Lantaran tidak mau disamakan dengan panggilan ke ibunya. "Proyek apa yang sedang kalian bahas?" "Papi lagi membahas proyek pembangunan gedung perkantoran baru dan juga apartemen milik HYOT." Mata biru Kavia melirik ke arah suaminya. "Kamu mau jadi developer?" "Nggak juga sih. Aku cuma investasi doang. Semuanya tetap milik papi kamu." "Sahamnya?" "Jelas ada dong, Sayang," sambut Daniel seraya melirik menantunya sembari melempar senyu
"Lagi pula, selama Anda menjalani pernikahan dengan Nyonya apa tidak ada perasaan yang muncul? Kalian sudah sering bersama. Bahkan saya lihat Anda dan Nyonya jarang sekali ribut meskipun pernikahan ini sebenarnya tidak Anda inginkan. Nyonya juga bukan wanita biasa. Dia cantik, energik, dan menarik. Siapa yang bisa menolak pesona Nyonya? Apa Anda tidak memiliki ketertarikan itu pada Nyonya?"Kursi Javas masih berputar-putar. Dia juga masih mendengar ucapan asistennya itu. Mata cokelatnya bergeser ke sebuah pigura kecil di mejanya. Tidak ada foto Kavia dia sana. Tempat itu sudah lama kosong. Terakhir foto Ameera yang ada di sana. "Aku jelas tertarik. Tapi soal perasaan yang kamu sebutkan... kurasa aku belum sampai ke tahap itu. Selama menjadi suaminya aku akan bertanggungjawab penuh atas hidupnya. Hanya sebatas itu.""Tapi Anda dan Nyonya... Kalian sudah..." Javas tersenyum kecil. Dia tahu maksud pria itu. "Kami orang dewasa yang normal, Phil. Seks tanpa melibatkan cinta itu hal biasa
Kavia meraih pergelangan tangan Javas ketika pria itu menyisir rambutnya setelah menggunakan hair dryer. Dia juga belum merespons apa pun segala ucapan Javas. Dari dalam pantulan cermin, tatapan mereka beradu. Keduanya melihat satu sama lain. "Ada apa?" tanya Javas. Dua pangkal alisnya nyaris bersentuhan. Wanita itu tidak menjawab dan malah berdiri lalu memutar badan menghadap Javas. Dua lengannya terjulur melingkari leher Javas, sementara kakinya berjinjit berusaha menjajarkan tingginya dengan pria itu. Kavia sedikit membuat kepala Javas menunduk, lantas mendaratkan ciuman di bibir lelaki itu. "Kita lakukan sekali lagi," ucapnya tanpa ekspresi. Tangannya lantas turun dan menarik lilitan handuk Javas, dan membiarkan kain putih itu jatuh ke lantai. Setelahnya dia kembali merengkuh leher Javas, menariknya hingga bibirnya bisa menjangkau bibir pria itu. Sentuhan itu tentu saja langsung Javas sambut tanpa tapi. Bahkan pria itu dengan segera mengangkat Kavia ke dalam gendongannya. Lang
"Sori, sori, gue telat." Kavia menoleh lalu berdecak melihat kedatangan Dian. Wanita bertubuh gemoy itu nyengir bak kuda sambil menarik kursi di depan Kavia. "Lo belum pesen?" tanya Dian melihat meja cuma diisi secangkir kopi. "Ya belumlah, gue kan nunggunin lo." Alis Kavia mengeriting sebal, tapi Dian di depannya cuma terkekeh. "Sori ya udah nunggu lama. Maklum bestie lo ini sekarang jadi orang sibuk." Kavia hanya mencibir. Tangannya lantas terangkat, memanggil pelayan kafe. "Klien gue kali ini agak bawel makanya lama. Mana jalanan tadi macet lagi. Untung gue naik ojek," terang Dian sambil membolak-balik buku menu. Keduanya lantas memesan beberapa menu camilan dan kopi. Yang merupakan cangkir kedua bagi Kavia. "Eh iya, Vi. Gue tadi juga ketemu Javas," cetus Dian begitu pelayan yang mencatat pesanan mereka pergi. Mendengar nama Javas disebut Kavia berusaha tampak biasa saja. "Oh ya, di mana?" "Ya di sana juga. Kayaknya mereka lunch meeting agak gedean deh. Soalnya satu meja p
Kavia menengok jam di atas nakas, lalu kalender yang tertera di bagian kiri jam digital itu. Helaan napasnya terdengar berat. Matanya terpejam sementara punggungnya terhempas ke sandaran kursi yang dia duduki. Dia tahu Javas sedang menunggunya di ruang kerja, tapi dengan sengaja dirinya mengulur waktu. Hari ini akhirnya tiba. Hari di mana Kavia harus meninggalkan rumah ini. Tidak banyak yang dia bawa. Semua barang yang dia beli dengan uang Javas selama satu tahun menjadi istri pria itu sengaja dia tinggal. Kavia hanya membawa barang-barang lamanya saja, yang memang dari awal miliknya. Mbak Rami kembali memanggil. Wanita yang sudah menemani harinya di rumah ini tampak murung. "Ditunggu Pak Javas, Nyonya." Itu udah panggilan ketiga yang dibalas Kavia hanya dengan anggukan. Setelah Mbak Rami mundur, Kavia bangkit dari kursi seraya menyeret kopernya keluar kamar. Dia bergerak melangkah menuju ruang kerja Javas di lantai satu. Sebisa mungkin dia memasang wajah sedatar biasanya. Berusaha
Sebuah tangan menangkap botol yang sedang Kavia tenggak isinya. Kavia tahu pemilik tangan itu, maka dari itu dia hanya perlu menyentak tanpa melihat wajah orangnya. Sejak satu jam lalu pria itu memang terus mengawasinya dari balik meja bar. "Udah cukup, Pretty. Malam ini kamu terlalu banyak minum." Kavia berkelit ketika Erland berusaha merebut botol minumnya lagi. "Aku harus banyak minum. Kamu jangan terus melarangku, Erland. Dan sebaiknya kamu lanjutkan pekerjaanmu di bar itu." "Udah ada yang gantiin aku." Erland kembali merebut botol itu lagi, dan kali ini berhasil. Yang Erland lakukan jelas membuat Kavia jengkel. Wanita itu berkacak pinggang seraya menuding pria itu dengan sengit. "Erland, aku nggak pernah ganggu kerjaan kamu. Kenapa kamu ganggu aku terus?!" "What's going on with you? Where's Javas?" Bukannya menjawab, Kavia malah bergerak menyandarkan punggung dengan malas ke sofa. Wajahnya menengadah, sementara matanya terpejam. "Aku nggak tau. Mungkin dia udah tidur." "A