Kavia menengok jam di atas nakas, lalu kalender yang tertera di bagian kiri jam digital itu. Helaan napasnya terdengar berat. Matanya terpejam sementara punggungnya terhempas ke sandaran kursi yang dia duduki. Dia tahu Javas sedang menunggunya di ruang kerja, tapi dengan sengaja dirinya mengulur waktu. Hari ini akhirnya tiba. Hari di mana Kavia harus meninggalkan rumah ini. Tidak banyak yang dia bawa. Semua barang yang dia beli dengan uang Javas selama satu tahun menjadi istri pria itu sengaja dia tinggal. Kavia hanya membawa barang-barang lamanya saja, yang memang dari awal miliknya. Mbak Rami kembali memanggil. Wanita yang sudah menemani harinya di rumah ini tampak murung. "Ditunggu Pak Javas, Nyonya." Itu udah panggilan ketiga yang dibalas Kavia hanya dengan anggukan. Setelah Mbak Rami mundur, Kavia bangkit dari kursi seraya menyeret kopernya keluar kamar. Dia bergerak melangkah menuju ruang kerja Javas di lantai satu. Sebisa mungkin dia memasang wajah sedatar biasanya. Berusaha
Sebuah tangan menangkap botol yang sedang Kavia tenggak isinya. Kavia tahu pemilik tangan itu, maka dari itu dia hanya perlu menyentak tanpa melihat wajah orangnya. Sejak satu jam lalu pria itu memang terus mengawasinya dari balik meja bar. "Udah cukup, Pretty. Malam ini kamu terlalu banyak minum." Kavia berkelit ketika Erland berusaha merebut botol minumnya lagi. "Aku harus banyak minum. Kamu jangan terus melarangku, Erland. Dan sebaiknya kamu lanjutkan pekerjaanmu di bar itu." "Udah ada yang gantiin aku." Erland kembali merebut botol itu lagi, dan kali ini berhasil. Yang Erland lakukan jelas membuat Kavia jengkel. Wanita itu berkacak pinggang seraya menuding pria itu dengan sengit. "Erland, aku nggak pernah ganggu kerjaan kamu. Kenapa kamu ganggu aku terus?!" "What's going on with you? Where's Javas?" Bukannya menjawab, Kavia malah bergerak menyandarkan punggung dengan malas ke sofa. Wajahnya menengadah, sementara matanya terpejam. "Aku nggak tau. Mungkin dia udah tidur." "A
"Kavia, aku nggak akan membiarkanmu pergi." Suara itu terdengar jelas dan familier. Kavia mencoba mencari sumber suara berasal. Kepalanya celingukan, tubuhnya berputar-putar. Hingga tatapnya kemudian jatuh pada sosok samar yang muncul dari kejauhan. Seorang pria dengan tangan terulur berjalan mendekat. Memperlihatkan senyum manis yang mampu membuat Kavia terpaku. Kavia menyambut tangan pria itu dan menyentuhnya dengan dada berdebar. "Javas..." Seperti nyata tangan itu benar-benar menggenggamnya. Menggenggam erat seolah takut terlepas. Hanya saja, bukankah semua sudah berakhir? Kenyataan ini seakan menghantam kesadaran Kavia seutuhnya. Lalu tiba-tiba matanya terbuka, dadanya berdebar kencang, dan napasnya naik turun begitu cepat. "Itu cuma mimpi," gumamnya lirih seraya mengatur napas. Namun sejurus kemudian, rasa sakit di kepala menyerang. Membuat wanita itu refleks meringis. Sebelah tangannya terangkat dan meremas rambut. Dia ingat segalanya. Perpisahan dengan Javas, lalu mabuk
"Ada apa?" Erland yang sedang sibuk di dapur mendongak saat Kavia muncul dari kamarnya. Wanita itu mengenakan jubah mandi. Rambutnya setengah basah. Hanya saja wajahnya terlihat lebih pucat. "Kamu muntah lagi?" tanya Erland saat wanita itu mendekat. Kavia hanya mengangguk dan memperhatikan apa yang Erland masak. Bau bawang putih goreng sudah tercium dari kamar beberapa saat lalu. "Kamu bikin apa?" tanya Kavia yang malah tambah pusing ketika mendekat. Dia terpaksa menutup hidungnya. "Garlic toast bread kesukaan kamu." "Masa sih? Kok baunya bikin enek." Hampir-hampir spatula Erland melayang. Dia memang sudah tidak pernah memasak garlic toast bread sejak putus dari Kavia, tapi tidak menyangka saja wanita itu akan blak-blakan mengejeknya. "Ini enak, Pretty. Rasanya masih sama kok kayak dulu.""Oh ya?""Sebentar lagi matang. Kamu duduk dan tunggu. Oke?" Kavia mengangguk dan menuruti ucapan Erland. Kakinya bergerak menuju meja makan. Namun, ketika hidungnya mencium aroma bawang berca
"Bubur polos as you want, My Pretty." Kavia melirik pintu yang baru saja terbuka. Erland muncul lengkap dengan senyum lebar. Wajahnya segar dan ganteng seperti biasanya. Di tangannya menenteng sebuah paper bag berwarna cokelat. "Aku bawa bubur kacang ijo juga. Kali aja tengah malam kamu lapar. Bumil kan sering lapar," ujar pria itu sembari membongkar isi paper bag. "Mau aku suapin apa makan sendiri?" "Berisik. Udah sini mana buburnya," sahut Kavia sebal. Dia memesan bubur polos karena tidak tahan dengan bumbu kuahnya yang menyengat. Padahal kata Erland itu biasa saja. Erland meninggikan posisi tempat tidur Kavia lalu membuka meja lipat yang terselip di sisi tempat tidur tersebut. Dengan hati-hati dia meletakkan bubur hangat di meja itu. Dia sendiri lantas mengambil satu cup bubur kacang hijau dan makan bersama wanita itu. "Kamu nggak ngasih tau siapa pun soal kondisiku kan?" tanya Kavia di tengah kegiatan makannya. Kunyahan Erland melambat. Sebenarnya dia masih tidak habis menge
Dibandingkan beberapa hari lalu, wajah Kavia saat ini terlihat lebih segar. Warna kemerahan juga sudah terlihat di pipinya. Erland menjaganya dengan baik. Terlebih soal makanan, sebisa mungkin Erland menuruti semua apa yang Kavia inginkan. Ujung mata Kavia melirik sosok Javas yang berjalan mendekat padanya. Sejujurnya dia merindukan pria itu. Sekuat tenaga dia menahan diri untuk tidak menghambur ke pelukan pria yang sudah beberapa hari lalu tidak dia lihat. "Mau aku kupasin buah?" tanya Javas, membuka suara terlebih dulu lantaran Kavia masih terlihat diam dan memasang wajah datar tanpa ekpresi. Tangannya terjulur mengambil sebuah apel di keranjang buah dan pisau kecil di sana. "Aku nggak mau apa-apa," sahut Kavia tanpa menatap pria itu. Tubuhnya bergerak ke samping dan mengubah posisi membelakangi pria itu. "Aku mau tidur." "Hm, oke." Javas meletakkan kembali apel dan pisau itu, lalu beranjak membenarkan selimut milik Kavia. Namun, tanpa diduga wanita itu menyentaknya hingga selim
Keesokan pagi ketika Kavia sedang sarapan bubur buatan Erland lagi—lantaran dia menolak makanan dari rumah sakit—Daniel dan Delotta berkunjung. Kavia agak terkejut melihat kedua orang tuanya muncul. Setelah Javas, sekarang mami dan papi. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Erland. Namun pria itu pura-pura tidak melihat ketika Kavia melotot padanya. "Sayang, kenapa nggak cepet bilang sih kalau kamu masuk rumah sakit?" tanya Delotta dengan wajah menyesal lantaran baru tahu sang putri dirawat. "Maaf, Mam. Aku nggak mau bikin papi sama mami khawatir." Tidak ada jawaban lain yang bisa Kavia pikirkan. Niat awal akan memberi kabar orang tuanya setelah keluar dari rumah sakit gagal. Kavia tidak tahu sejak kapan Erland jadi ember begini. Dia yakin sebentar lagi Gyan pun akan menyusul datang. "Kamu kan putri kami meskipun udah nikah. Kami masih berhak tahu keadaan kamu, Nak." "Iya, iya, Aku minta maaf, Mam." Kavia buru-buru memeluk pinggang sang mami, mencegah wanita itu mengomel lebih banyak
"Gila lo ya!" Kavia menjauhkan ponsel dari telinga mendengar jeritan Dian di ujung telepon sana. "Kavia! Lo anggap gue apa?!" Kembali teriakan Dian menggelegar. Suaranya benar-benar berbanding lurus dengan badannya. "Masa gue tau lo masuk RS dari orang lain? Mana baru taunya pagi tadi lagi. Yang bener aja!" "Nggak usah lebay! Gue juga baru pegang ponsel sekarang. Makanya gue langsung telepon lo.""Gue baru bisa jenguk lo pulang kerja ntar, Vi. Lo baik-baik aja kan?" Di ujung sana suara Dian berubah lembut. "Gue baik kok. Gue—" "Apa bener yang Erland bilang kalau lo hamil?" potong Dian cepat. "Hm ya." Mata Kavia melirik pintu. Sudah beberapa menit lalu Javas pergi. Ini kesempatan bagi Kavia untuk membahas suatu hal yang tertunda dengan Dian. "Lo udah nemu apartemen yang gue mau?" "Sebenarnya udah ada. Tapi, Vi. Lo kan hamil.""Emang kenapa kalau gue hamil? Gue nggak mungkin balik ke rumah Javas meskipun gue hamil." "Emang Javas bakal biarin?"Kavia menarik napas panjang. Kehami