Keesokan pagi ketika Kavia sedang sarapan bubur buatan Erland lagi—lantaran dia menolak makanan dari rumah sakit—Daniel dan Delotta berkunjung. Kavia agak terkejut melihat kedua orang tuanya muncul. Setelah Javas, sekarang mami dan papi. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Erland. Namun pria itu pura-pura tidak melihat ketika Kavia melotot padanya. "Sayang, kenapa nggak cepet bilang sih kalau kamu masuk rumah sakit?" tanya Delotta dengan wajah menyesal lantaran baru tahu sang putri dirawat. "Maaf, Mam. Aku nggak mau bikin papi sama mami khawatir." Tidak ada jawaban lain yang bisa Kavia pikirkan. Niat awal akan memberi kabar orang tuanya setelah keluar dari rumah sakit gagal. Kavia tidak tahu sejak kapan Erland jadi ember begini. Dia yakin sebentar lagi Gyan pun akan menyusul datang. "Kamu kan putri kami meskipun udah nikah. Kami masih berhak tahu keadaan kamu, Nak." "Iya, iya, Aku minta maaf, Mam." Kavia buru-buru memeluk pinggang sang mami, mencegah wanita itu mengomel lebih banyak
"Gila lo ya!" Kavia menjauhkan ponsel dari telinga mendengar jeritan Dian di ujung telepon sana. "Kavia! Lo anggap gue apa?!" Kembali teriakan Dian menggelegar. Suaranya benar-benar berbanding lurus dengan badannya. "Masa gue tau lo masuk RS dari orang lain? Mana baru taunya pagi tadi lagi. Yang bener aja!" "Nggak usah lebay! Gue juga baru pegang ponsel sekarang. Makanya gue langsung telepon lo.""Gue baru bisa jenguk lo pulang kerja ntar, Vi. Lo baik-baik aja kan?" Di ujung sana suara Dian berubah lembut. "Gue baik kok. Gue—" "Apa bener yang Erland bilang kalau lo hamil?" potong Dian cepat. "Hm ya." Mata Kavia melirik pintu. Sudah beberapa menit lalu Javas pergi. Ini kesempatan bagi Kavia untuk membahas suatu hal yang tertunda dengan Dian. "Lo udah nemu apartemen yang gue mau?" "Sebenarnya udah ada. Tapi, Vi. Lo kan hamil.""Emang kenapa kalau gue hamil? Gue nggak mungkin balik ke rumah Javas meskipun gue hamil." "Emang Javas bakal biarin?"Kavia menarik napas panjang. Kehami
"Jadi, ini rumah kita sekarang?" Javas mengekori Kavia melangkah masuk ke tempat tinggal barunya. Ya, akhirnya Kavia dengan teramat sangat terpaksa membiarkan Javas tinggal bersamanya dengan beberapa syarat. Lagi pula, wanita itu yakin Javas tidak akan bisa bertahan lama tinggal di tempat sekecil ini setelah terbiasa tinggal di rumah yang luas dan mewah. Apartemen yang dicarikan Dian itu hanya memiliki satu kamar. Luasnya tak kurang dari 70 meter persegi. Ada satu kamar mandi di luar dan dapur kecil di dalamnya. Begitu membuka pintu mata kita akan langsung bertumbukan dengan living room yang sekaligus menjadi family room. Di sana terdapat sebuah sofa panjang berwarna abu dan satu set LCD TV yang berada di seberangnya. Di sofa itulah Javas akan tidur. Itu kesepakatannya. Kavia tidak mau tidur satu ranjang lagi dengan pria itu. Dan ajaibnya Javas setuju tanpa tapi. "Kamu istirahat aja. Biar aku yang beresin baju-bajunya," ujar Javas sambil menarik dua travel bag besar milik dirinya
Bibir Javas berkerut ketika mendapati seorang kurir tersenyum padanya ketika dirinya membuka pintu. Tanpa bertanya, dia sudah tahu paket yang dibawa kurir tersebut di pagi hari begini. Apalagi kalau bukan bubur buatan Erland. Hampir tiap pagi ada kiriman bubur dari pria itu untuk Kavia. Pasalnya, wanita itu belum mau makan nasi sejak keluar dari rumah sakit. Padahal bukankah bubur itu juga nasi? Nasi lembek. "Bilangin sama orang yang kirim ini, suruh stop kirim-kirim ini mulai besok," ujar Javas agak menahan sebal. Dia langsung menutup pintu tanpa menunggu sang kurir merespons. Masih dengan raut kesal dia meletakkan paket bubur tersebut ke meja. "Apa enaknya sih? Gue juga bisa bikin beginian," gerutunya. Dia melirik kamar Kavia yang masih tertutup. Dia berpikir untuk membongkar wadah bubur dan mencicipi isinya sebelum wanita itu keluar. Dengan hati-hati Javas mengambil mealbox dari dalam paper bag berwarna cokelat paket tersebut. Ada dua mealbox. Mealbox pertama berisi bubur polos,
Dengan bangga Javas mempersembahkan semangkok bubur buatannya di depan Kavia. Sebelumnya pria itu membangunkan sang istri yang masih tertidur pulas sementara dirinya sudah uprek di dapur dari subuh buta. Selain bubur, dia juga membuat jamur krispi dengan mengandalkan resep dari internet. Dari penampilannya tidak buruk, pun soal rasa menurut dia lumayan. "Kamu bikin sendiri?" tanya Kavia ragu. Bahkan Javas sudah menggiringnya untuk duduk di kursi meja makan yang sudah pria itu siapkan. "Iya. Spesial buat kamu." Tidak ada yang beda dari bubur buatan Erland secara penampilan. Namun, Kavia masih terlihat ragu ketika Javas memintanya untuk mencoba. Untuk menghargai kerja keras pria itu, Kavia akhirnya meraih sendok dan menyentuh nasi lembek bertabur ayam suwir itu. Di depannya Javas menahan napas ketika Kavia menyuap satu sendok ke mulut. Selama beberapa saat dia menunggu reaksi wanita itu. Dia sangat yakin usahanya kali ini berhasil. Ada bumbu spesial yang sengaja Javas masukan sebaga
"Sarapannya udah aku siapin. Aku berangkat dulu." Suara itu masuk begitu saja ke telinga Kavia. Seperti sebuah mimpi yang menyelinap di tidur panjangnya. Perlahan wanita itu membuka mata. Tubuhnya langsung beringsut, lalu tatapnya meneliti keadaan sekitar. Kavia memicing ketika sinar matahari menembus jendela kamar, memapar wajahnya. Refleks tangannya meraba nakas, menggapai jam tangan kesayangannya, lalu mengintip angka yang tertera di sana. "Pukul sepuluh?" Dia bergerak duduk dengan perlahan. Jelas dia kesiangan setelah semalam kesulitan tidur. Kavia melakukan peregangan otot tangan dan leher. Rasanya dia sudah kenyang tidur. Semalam itu.... Kegiatan peregangan itu kontan terhenti ketika kejadian tadi malam berkelebat. Kavia meraba bibirnya sendiri. Semalam dia dan Javas berciuman. Oh, bukan. Tepatnya Javas menciumnya. Ciuman yang cukup singkat, tapi sanggup mengguncang jiwanya selama beberapa saat. Niatnya mencari makanan pun terlupakan. Lantaran rasa malu segera menyerbu. Malam
"Apa Javas memperlakukan kamu dan calon bayimu dengan baik, Nak?" Pertanyaan Kakek membuat Javas mengangkat wajah dengan cepat. Namun Kavia di sebelahnya malah tersenyum. "Iya, Kek. Seperti biasanya Javas baik," sahut Kavia tersenyum tipis tanpa melirik Javas sama sekali. Dan entah kenapa itu membuat Javas merasa tak nyaman. Karena sepertinya yang Kavia ucapkan tidak tulus. Pria itu menunduk lagi, menekuri piringnya. "Baguslah." Kakek mengangguk. "Biar gimana pun kalian sepasang suami istri dan sebentar lagi kalian akan menjadi orang tua. Sudah sepatutnya satu sama lain saling memperlakukan dengan baik. Setelah anak kalian lahir, tanggung jawab kalian menjadi lebih besar. Kavia..." Kakek menatap cucu menantunya. "Kelak kamu akan menemani Javas mengemban tugasnya sebagai pewaris Wirahardja. Kakek yakin kamu mampu. Kakek percaya sama kamu. Kalian berdua akan saling menguatkan dan menghadapi tantangan bersama. Kakek harap, apa pun kondisi suami kamu, kamu akan selalu tetap berada di
"Kavia... Aku mau kamu..." Bersamaan dengan itu tubuh Kavia terdorong ke belakang lantaran pintu kamar tiba-tiba terbuka. Kelopak mata wanita itu spontan terbuka lebar mendapati dirinya mungkin saja akan terjatuh. Namun lengan Javas dengan cekatan meraih pinggangnya. Tidak hanya itu, pria itu bahkan sengaja mendorong pintu semakin terbuka, lalu dirinya melangkah masuk membawa Kavia turut serta. Kejadiannya begitu cepat. Hingga tanpa sadar Kavia sudah berada di ranjang tidurnya. Terlentang dengan posisi Javas di atasnya. Dia masih agak syok saat pinuu terbuka tadi. Jika Javas tidak meraihnya dengan cepat sudah pasti dirinya akan jatuh terperenyak. "Ja-Javas, ini---" Baru saja Kavia membuka suara bibir lembut Javas membungkamnya. Pria itu seolah tidak memberinya waktu untuk bicara. Kavia yang kembali dibuat terkejut tidak berusaha mendorong pria itu menjauh. Dua tangannya bahkan refleks meremas jas yang Javas pakai ketika ciuman pria itu terasa makin menuntut. Pun matanya lantas terp
Selagi Karel tenang bermain bersama Kakek Javendra dan para asisten, Kavia dan Javas melipir ke arena berkuda. Kavia kangen menunggangi Evelyn. Kuda betina putih itu terawat dengan sangat baik saat Kavia melihatnya. Hewan tangguh berkaki empat itu ternyata masih mengenali wanita itu dengan baik. "Sayang! Ayo cepat!" teriak Javas di atas kudanya. Kavia melambaikan tinggi tangannya ke arah Javas, lalu bergerak menaiki pelana kuda. "Evelyn, kita susul suamimu sekarang," ujar Kavia sambil mengusap pelan leher betina tangguh yang dia tunggangi. Dengan cepat dia pun memacu kudanya menyusul Javas. Keduanya mengendarai kuda-kuda itu mengelilingi tanah lapang. Melewati penangkaran rusa milik Kakek, dan sebuah danau buatan yang dipenuhi angsa putih. Pohon-pohon rindang masih tumbuh dengan subur di beberapa area. Setelah beberapa lama saling berkejaran dengan Javas, Kavia menghentikan kudanya di dekat pepohonan yang tumbuh di tepi danau. "Kayak udah lama banget nggak ke sini. Aku kangen men
"Semua yang ada di sini kelak akan menjadi milikmu, Nak." Mata tua Javendra mengedar. Melihat betapa luasnya tanah yang dia miliki. Belum lagi rumah yang dia huni. Rumah kebanggaannya yang sampai saat ini masih eksis di pinggiran kota. Rumah masa depan yang sebenarnya dulu dia siapkan untuk putranya, Ravendra. "Mau bagaimana lagi? Papamu nggak mau menempati rumah ini dan memiliki rumah sendiri. Jadi rumah ini akan kakek wariskan padamu." Javendra terus mengajak Karel ngobrol. Seolah bayi sembilan bulan itu paham apa yang dia bicarakan. "Malah sekarang papamu beli rumah baru. Padahal apa salahnya tinggal di sini sama kakek. Iya kan? Toh rumah ini nanti bakal jadi milik kamu." Tidak jauh dari tempat pria tua itu, Kavia menggeser duduk memepet suaminya dan berbisik. "Kakek kenapa?" "Dia lagi jadi pemeran utama drama keluarga," sahut Javas asal, yang langsung mendapat pukulan ringan di lengan kanannya. Dia mengaduh sambil mengusap lengannya. "Apa sih, Yang? Aku ngomong bener kok."
"Dia sudah nggak bekerja di anak cabang HYOT lagi." Kabar itu membuat Kavia yang sudah merebah segera mengangkat badannya lagi. "Sejak kapan?" Javas mengangkat bahu. "Kamu peduli banget?" Alis tebalnya tertaut. Agak tidak suka istrinya makin kepo. "Bukan peduli, tapi setahuku dia dulu berjuang banget buat dapat posisi bagus di perusahaan tempatnya bekerja." "Mungkin dia dapat tawaran yang lebih bagus." "Mungkin gara-gara dia dimutasi ke luar pulau." Javas menghela napas panjang lalu menarik tangan Kavia agar bergerak memeluknya. "Kenapa sih bahas mantan terus? Kamu nggak ada rencana buat ketemuan lagi kayak dulu kan?" Kavia mesem-mesem tak jelas mendengar pertanyaan Javas. Ekpresi dan cara bicara pria itu membuat Kavia makin merasa dicintai. Mungkin jika pertanyaan itu terlontar saat mereka masih belum menyadari perasaan masing-masing, Kavia bakal jawab iya-iya aja. Javas menjauhkan diri dan menatap Kavia. "Kok malah senyum-senyum?" Matanya refleks memelotot. "Jangan bilang ka
"Aku di farmer market. Kalian langsung ke sini aja ntar." "Oke. Kami masih di jalan. Tungguin kami ya, Macan.... " Kavia tersenyum mendengar suara Javas di seberang sana. Tangannya masih sibuk memilih buah pear di rak. "Oke, aku tutup dulu ya. Hati-hati, nggak usah ngebut." Tidak lama, dia mematikan panggilan dari suaminya itu dan kembali melanjutkan memilih buah segar yang tertata rapi di rak. Akhir-akhir ini Kavia senang membuat salad buah. Stok salad di kulkas cepat habis karena ternyata Javas juga menyukai salad buatannya itu. Senyumnya kembali merekah saat melihat rak bagian apel. Apel adalah buah yang wajib ada di rumah lantaran buah itu menjadi salah satu favoritnya. Mata Kavia tertarik dengan apel bulat yang terletak di tumpukan paling atas. Kulitnya mengkilat dan terlihat besar. Namun saat tangannya terjulur untuk meraih buah tersebut, tangan lain lebih dulu melakukannya. Sehingga tanpa sengaja tangannya menangkup tangan orang itu. Kavia refleks menarik tangannya. "Maaf.
"Astagfirullah, suami orang ganteng banget!" Jeritan tertahan itu keluar dari bibir mungil wanita gemoy saat melihat Javas turun dari anak tangga sambil membawa Karel di gendongannya. Kavia di sebelahnya hanya menggeleng melihat muka mupeng sahabatnya itu. Sementara tangannya masih sibuk mempreteli buah anggur dari tangkainya. Javas tanpa atasan memang menggoda iman. Belum lagi tato besar di bahu hingga lengannya, menambah kesan maskulinnya yang menonjol. Memamerkan bentuk tubuhnya yang seksi itu sudah menjadi kebiasaannya jika berada dalam rumah. Kavia saja yang tiap hari melihat masih bisa terbuai, apalagi Dian? "Laki lo benar-benar hot daddy banget.""Ck!" Kavia melirik sekilas dengan tatapan sebal, namun yang ditatap malah terkikik. "Dia kelihatan sayang banget sama Karel. Gue mau dong satu yang begitu." Bibir Dian mencebik memandang Javas dengan tatapan penuh damba. "Cari coba di pasar loak," sahut Kavia asal. Sejurus kemudian dia mengaduh karena dapat cubitan manis dari Dia
"Sofa baru?" Kavia dan Javas saling pandang sesaat ketika melihat orang-orang suruhan Daniel mengangkut sebuah sofa yang masih terbungkus rapi dengan plastik. Orang-orang itu membawa sofa dengan kelir merah hati itu ke dalam rumah. "Pas kan diletakkan di ruang tamu kalian?" Daniel tersenyum bangga. "Ini papi impor langsung dari Italy loh. Masih satu produk sama sofa di rumah papi." "Harusnya papi nggak perlu repot-repot begini," ujar Javas meringis. Insiden sofa masih menjadi momok buat pria itu. Gara-gara itu pula, Kavia belum mau mengisi ruang tamu barunya. "Sama sekali nggak repot. Anggap aja ini hadiah buat rumah baru kalian. Iya kan, Baby?" Daniel tersenyum sambil menatap istrinya. "Iya. Toh kami nggak bisa ngasih apa-apa selain ini," timpal Delotta sambil mengusap lengan Daniel. "Memang aku nggak tau kalau papi ngasih harga diskon rumah ini sampe 50 persen?" tukas Kavia yang langsung membuat mata Javas melebar. "Harga rumah ini sebenarnya 10M kan? Aku sempat nanya kok sama
Kecuali barang-barang yang ada di kamar Karen, tidak ada lagi barang yang Kavia bawa dari rumah Javas. Rumah dan isinya ditinggalkan begitu saja seolah sudah tidak berguna lagi. Bahkan ketika Javas meminta alat-alat gym untuk ikut dipindahkan, Kavia menolak tegas. "Nggak bisa. Siapa yang jamin alat-alat itu streril dari kalian?" Penolakan Kavia membuat Javas menganga tak percaya. "Ya ampun, Sayang. Kami nggak melakukan sampai sejauh itu. Rumah itu masih dalam keadaan kosong waktu itu. Ak—" Ucapan Javas kontan terhenti ketika dengan cepat Kavia mengangkat tangannya. "Aku nggak mau dengar dongeng jadul percintaan kamu lagi. Oh ya, soal sofa di ruang tamu itu, udah aku bakar." "Apa? Itu sofa bisa kita jual buat beli yang baru kalau kamu nggak mau pake lag—" Kembali Javas merapatkan mulut saat Kavia melotot padanya. "Oke, terserah kamu," lanjutnya pasrah. Benar-benar sudah tidak ada lagi yang bisa dia selamatkan. Dia menatap rumah besar kebanggaannya dengan pandangan merana. Ruma
Mata Kavia berbinar saat melihat Javas sudah ada di kamar ketika dia datang. Seperti malam kemarin, pria itu masih membaca buku yang sama sebelum tidur. Buku tentang ilmu parenting. Alih-alih Kavia, malah Javas yang gencar belajar soal parenting, padahal siangnya pria itu masih berjibaku dengan tumpukan pekerjaan. Kavia mengambil sebuah flyer dari dalam tas. Flyer yang sengaja dia bawa dari kantor papinya. Dengan senyum yang dibuat semelengkung mungkin, wanita itu menghampiri Javas yang masih terlihat fokus. "Pa," panggilnya lirih sembari beranjak duduk di sisi Javas. "Hm." "Lihat ini deh."Pandangan Javas langsung teralihkan sesaat. Matanya melirik benda yang Kavia bawa. "Apa tuh?" tanya dia sebelum balik lagi ke bacaannya. "Ini flyer perumahan elite terbarunya Blue Jagland. Proyek milik Mas Gyan."Javas hanya mengangguk-angguk. Matanya masih lurus menatap barisan huruf di depannya. "Hunian kelas atas yang cuma ada 10 unit. Lokasinya juga nggak jauh dari kantor kamu. Strategis
Kavia membuka pintu kamar dengan pelan. Takut mengganggu dua anak dan ayah yang sedang terlelap dengan tenang. Hampir-hampir dia tertawa melihat posisi Karel yang tidur terlentang dengan tangan dan kaki yang merentang. Salah satu kakinya bahkan mengenai wajah Javas lantaran posisi tidurnya berlawanan arah dengan papanya. Javas sendiri terlihat sangat lelah. Mukanya kucel, ada beberapa stiker yang menempel di wajahnya. Rambutnya bahkan acak-acakan tak karuan. Kavia mendekati pria itu dengan hati-hati lantas berjongkok tepat di dekatnya. Tangannya terulur, mengusap wajah Javas. "Sayang, banguuun," bisiknya pelan, tepat di dekat telinga Javas. Hanya satu kali tiupan ringan, mata Javas langsung memicing. Pria itu terjaga dengan segera, dan agak terkejut menemukan kaki Karel ada di depan mulutnya. "Astaga," desahnya lirih. Membuat Kavia kontan terkikik pelan. Dengan hati-hati, Javas menyingkirkan kaki Karel sebelum beringsut. "Kamu baru pulang?" tanyanya setelah berhasil bangkit dari a