"Jadi, ini rumah kita sekarang?" Javas mengekori Kavia melangkah masuk ke tempat tinggal barunya. Ya, akhirnya Kavia dengan teramat sangat terpaksa membiarkan Javas tinggal bersamanya dengan beberapa syarat. Lagi pula, wanita itu yakin Javas tidak akan bisa bertahan lama tinggal di tempat sekecil ini setelah terbiasa tinggal di rumah yang luas dan mewah. Apartemen yang dicarikan Dian itu hanya memiliki satu kamar. Luasnya tak kurang dari 70 meter persegi. Ada satu kamar mandi di luar dan dapur kecil di dalamnya. Begitu membuka pintu mata kita akan langsung bertumbukan dengan living room yang sekaligus menjadi family room. Di sana terdapat sebuah sofa panjang berwarna abu dan satu set LCD TV yang berada di seberangnya. Di sofa itulah Javas akan tidur. Itu kesepakatannya. Kavia tidak mau tidur satu ranjang lagi dengan pria itu. Dan ajaibnya Javas setuju tanpa tapi. "Kamu istirahat aja. Biar aku yang beresin baju-bajunya," ujar Javas sambil menarik dua travel bag besar milik dirinya
Bibir Javas berkerut ketika mendapati seorang kurir tersenyum padanya ketika dirinya membuka pintu. Tanpa bertanya, dia sudah tahu paket yang dibawa kurir tersebut di pagi hari begini. Apalagi kalau bukan bubur buatan Erland. Hampir tiap pagi ada kiriman bubur dari pria itu untuk Kavia. Pasalnya, wanita itu belum mau makan nasi sejak keluar dari rumah sakit. Padahal bukankah bubur itu juga nasi? Nasi lembek. "Bilangin sama orang yang kirim ini, suruh stop kirim-kirim ini mulai besok," ujar Javas agak menahan sebal. Dia langsung menutup pintu tanpa menunggu sang kurir merespons. Masih dengan raut kesal dia meletakkan paket bubur tersebut ke meja. "Apa enaknya sih? Gue juga bisa bikin beginian," gerutunya. Dia melirik kamar Kavia yang masih tertutup. Dia berpikir untuk membongkar wadah bubur dan mencicipi isinya sebelum wanita itu keluar. Dengan hati-hati Javas mengambil mealbox dari dalam paper bag berwarna cokelat paket tersebut. Ada dua mealbox. Mealbox pertama berisi bubur polos,
Dengan bangga Javas mempersembahkan semangkok bubur buatannya di depan Kavia. Sebelumnya pria itu membangunkan sang istri yang masih tertidur pulas sementara dirinya sudah uprek di dapur dari subuh buta. Selain bubur, dia juga membuat jamur krispi dengan mengandalkan resep dari internet. Dari penampilannya tidak buruk, pun soal rasa menurut dia lumayan. "Kamu bikin sendiri?" tanya Kavia ragu. Bahkan Javas sudah menggiringnya untuk duduk di kursi meja makan yang sudah pria itu siapkan. "Iya. Spesial buat kamu." Tidak ada yang beda dari bubur buatan Erland secara penampilan. Namun, Kavia masih terlihat ragu ketika Javas memintanya untuk mencoba. Untuk menghargai kerja keras pria itu, Kavia akhirnya meraih sendok dan menyentuh nasi lembek bertabur ayam suwir itu. Di depannya Javas menahan napas ketika Kavia menyuap satu sendok ke mulut. Selama beberapa saat dia menunggu reaksi wanita itu. Dia sangat yakin usahanya kali ini berhasil. Ada bumbu spesial yang sengaja Javas masukan sebaga
"Sarapannya udah aku siapin. Aku berangkat dulu." Suara itu masuk begitu saja ke telinga Kavia. Seperti sebuah mimpi yang menyelinap di tidur panjangnya. Perlahan wanita itu membuka mata. Tubuhnya langsung beringsut, lalu tatapnya meneliti keadaan sekitar. Kavia memicing ketika sinar matahari menembus jendela kamar, memapar wajahnya. Refleks tangannya meraba nakas, menggapai jam tangan kesayangannya, lalu mengintip angka yang tertera di sana. "Pukul sepuluh?" Dia bergerak duduk dengan perlahan. Jelas dia kesiangan setelah semalam kesulitan tidur. Kavia melakukan peregangan otot tangan dan leher. Rasanya dia sudah kenyang tidur. Semalam itu.... Kegiatan peregangan itu kontan terhenti ketika kejadian tadi malam berkelebat. Kavia meraba bibirnya sendiri. Semalam dia dan Javas berciuman. Oh, bukan. Tepatnya Javas menciumnya. Ciuman yang cukup singkat, tapi sanggup mengguncang jiwanya selama beberapa saat. Niatnya mencari makanan pun terlupakan. Lantaran rasa malu segera menyerbu. Malam
"Apa Javas memperlakukan kamu dan calon bayimu dengan baik, Nak?" Pertanyaan Kakek membuat Javas mengangkat wajah dengan cepat. Namun Kavia di sebelahnya malah tersenyum. "Iya, Kek. Seperti biasanya Javas baik," sahut Kavia tersenyum tipis tanpa melirik Javas sama sekali. Dan entah kenapa itu membuat Javas merasa tak nyaman. Karena sepertinya yang Kavia ucapkan tidak tulus. Pria itu menunduk lagi, menekuri piringnya. "Baguslah." Kakek mengangguk. "Biar gimana pun kalian sepasang suami istri dan sebentar lagi kalian akan menjadi orang tua. Sudah sepatutnya satu sama lain saling memperlakukan dengan baik. Setelah anak kalian lahir, tanggung jawab kalian menjadi lebih besar. Kavia..." Kakek menatap cucu menantunya. "Kelak kamu akan menemani Javas mengemban tugasnya sebagai pewaris Wirahardja. Kakek yakin kamu mampu. Kakek percaya sama kamu. Kalian berdua akan saling menguatkan dan menghadapi tantangan bersama. Kakek harap, apa pun kondisi suami kamu, kamu akan selalu tetap berada di
"Kavia... Aku mau kamu..." Bersamaan dengan itu tubuh Kavia terdorong ke belakang lantaran pintu kamar tiba-tiba terbuka. Kelopak mata wanita itu spontan terbuka lebar mendapati dirinya mungkin saja akan terjatuh. Namun lengan Javas dengan cekatan meraih pinggangnya. Tidak hanya itu, pria itu bahkan sengaja mendorong pintu semakin terbuka, lalu dirinya melangkah masuk membawa Kavia turut serta. Kejadiannya begitu cepat. Hingga tanpa sadar Kavia sudah berada di ranjang tidurnya. Terlentang dengan posisi Javas di atasnya. Dia masih agak syok saat pinuu terbuka tadi. Jika Javas tidak meraihnya dengan cepat sudah pasti dirinya akan jatuh terperenyak. "Ja-Javas, ini---" Baru saja Kavia membuka suara bibir lembut Javas membungkamnya. Pria itu seolah tidak memberinya waktu untuk bicara. Kavia yang kembali dibuat terkejut tidak berusaha mendorong pria itu menjauh. Dua tangannya bahkan refleks meremas jas yang Javas pakai ketika ciuman pria itu terasa makin menuntut. Pun matanya lantas terp
Tidak seperti biasanya yang pulang menjelang senja, hari ini Javas pulang ke apartemen cukup larut. Pekerjaan mengharuskannya untuk tinggal di kantor lebih lama. Dan mengharapkan Kavia masih terjaga di jam selarut ini jelas mustahil. Ketika memasuki unit, dia langsung mengarah ke kamar. Lampu utama kamar sudah padam dan di atas ranjang, Kavia terlihat begitu lelap tertidur. Javas menghela napas, lantas kembali menutup pintu kamar. Tidak mungkin dia mengganggu tidur istrinya untuk melanjutkan yang tertunda siang tadi. Tidak ada pilihan lain, dia pun memutuskan tidur setelah membersihkan diri. Javas merentangkan selimut sebelum merebah pelan ke atas sofa. Ya, meskipun Kavia terlihat sudah menerima dirinya lagi, belum tentu wanita itu membolehkannya tidur satu ranjang. Salah-salah bisa diusir secara tidak terhormat nanti. Rasanya baru beberapa menit lalu dia tertidur pulas, tapi sebuah pergerakan membuatnya kembali terjaga seketika. Dia membuka mata saat melihat bayangan seseorang sep
Ini mengherankan. Makin terlihat buncit perut Kavia, dia makin terlihat cantik di mata Javas. Wanita itu memang luar biasa. Hanya saja Javas belum menyadari jika dirinya menginginkan lebih dari yang dia perkirakan. Dia selalu menganggap apa yang dia rasakan bukan hal yang perlu diperjuangkan. Jika suatu saat Kavia akan pergi darinya, dia tidak akan mencegah. Namun dia bisa menjamin. Selama kehamilan Kavia, dia akan bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhan dan keperluan wanita itu. "Coba aku liat anakku lagi ngapain?" Kavia tertawa ketika dari belakang tangan Javas memeluk perut sambil menggelitikinya. Dia menepuk punggung tangan pria itu, lalu menarik lepas. Namun Javas malah menarik kembali dan membawanya duduk di sofa. "Adek, kamu lagi apa di sana? Kangen nggak sama papa?" tanya Javas sambil mendekatkan bibir ke perut Kavia. Dia lantas menempelkan telinga. Dan ketika mendengar ada reaksi di dalam sana dia berseru girang. "Wah ternyata kamu kangen papa!" Kavia yang memperhatik